
JABARTODAY.COM – BANDUNG
Memasuki 2015, pemerintah menaikkan dua harga komoditi vital, yaitu tarif dasar listrik (TDL) dan elpiji 12 kilogram. Hasilnya, hampir seluruh lapisan masyarakat terkena dampak, yaitu harus merogoh kocek lebih dalam. Bagi dunia usaha, utamanya sektor perhotelan dan restoran, kenaikan TDL dan elpiji 12 kilogram merupakan sebuah pukulan telak.
Bagaimana tidak, kenaikan tersebut menyebabkan terjadinya multiplayer effect. Pasalnya, kenaikan tersebut tidak hanya dirasakan pelaku usaha hotel dan restoran, tetapi juga hal yang berkaitan dengannya. Untuk pelaku bisnis perhotelan dan restoran, kenaikan tersebut menyebabkan biaya operasional perhotelan dan restoran menjadi meninggi. Sedangkan hal lain yang berkaitan dengan sektor tersebut, yaitu karyawan, terancam pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ketua DPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jabar, Herman Muchtar, mengakui bahwa kenaikan elpiji 12 kilogram danTDL sangat memberatkan. “Karenanya, tidak sedikit pelaku perhotelan di Jabar melakukan efisiensi. Misalnya, perampingan pekerjanya. Secara kasarnya, melakukan PHK. Perampingan itu berlangsung sejak awal 2015,” tandas Herman, belum lama ini.
Herman berpendapat, khusus perhotelan, kenaikan TDL berdampak lebih besar daripada elpiji 12 kilogram. Itu karena, jelasnya, pemakaian energi listrik yang besar. Sedangkan kenaikan elpiji 12 kilogram tidak terlalu besar. Pasalnya, jelas dia, hal itu bergantung pada pemakaian. “Tapi, bagi pelaku kuliner, jelas, kenaikan harga elpiji 12 kilogram sangat terasa,” sambungnya.
Ironisnya, imbuh dia, putusan kenaikan TDL dan elpiji 12 kilogram terjadi saat tingkat hunian kamar (occupancy) mengalami drop. Terlebih, ucap dia, income bisnis MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) juga anjlok, karena adanya pelarangan bagi instansi pemerintah melakukan berbagai agenda, seperti pertemuan atau rapat, di hotel-hotel.
Herman mengatakan, data Badan Pusat Statistik (BPS) Jabar menunjukkan, rata-rata, occupancy hotel di Jabar periode November 2014 mencapai 44,75 persen. Biasanya, sambung dia, periode November-Desember, occupancy hotel di Jabar mencapai 80 persen. Bulan ini, Herman memprediksi occupancy lebih kecil lagi, sekitar 30 persen. Kondisi ini, bagi perhotelan, jelas hal yang sangat berat. Situasi tersebut, imbuh dia, yang membuat para pebisnis perhotelan melakukan upaya-upaya efisiensi, yang satu di antaranya, dalam bentuk perampingan karyawan.
Sementara itu, Ketua DPD Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jabar, Dedy Widjaja, mengakui bahwa kenaikan TDL juga menjadi sebuah hantaman bagi dunia industri. Menurutnya, kenaikan TDL membuat naiknya biaya operasional 25-30 persen. Untuk itu, sahut Dedy, para pelaku usaha dan industri melakukan efisiensi. Hal itu, jelas dia, supaya industri lokal dan domestik dapat tetap berdaya saing. (ADR)