Suka-Duka Warga Jamuresi Lintasi Sungai Cijolang

Djaja Mihardja, tokoh masyarakat penggagas pembangunan jembatan Jamuresi yang menghubungkan Sukajaya-Ciamis dan Selajambe-Kuningan (JABARTODAY.COM/FZF)
Djaja Mihardja, tokoh masyarakat penggagas pembangunan jembatan Jamuresi yang menghubungkan Sukajaya-Ciamis dan Selajambe-Kuningan (JABARTODAY.COM/FZF)

JABARTODAY.COM-CIAMIS. Sebelum dibangun jembatan Jamuresi yang menghubungkan Sukajaya-Ciamis dengan Selajambe Kuningan pada 2012 lalu, banyak suka-duka yang dialami kedua warga di wilayah perbatasan dua Kabupaten di Jawa Barat itu.

“Pada tahun 1950, pernah dibangun jembatan bambu gombong tanpa kawat dan besi, dan hanya menggunakan tambang ijuk. Padahal panjang jembatan darurat itu lebih dari 50 meter. Tapi berhubung tidak kuat, diterjang banjir langsung hancur,” kisah salah seorang tokoh masyarakat Sukajaya, Djaja Mihardja ditemui di kediamannya di dusun Jamuresi, desa Sukajaya, Kabupaten Ciamis akhir pekan lalu.

Kala itu, ungkap Djaja, masyarakat nekat membuat jembatan bambu, tapi karena rusak, masyarakat membuat rakit eretan dari bambu berukuran 2 x 7 meter dan 2 x 8 meter.

“Jasa menggunakan rakit untuk menyeberangi sungai Cijolang bervariasi.  Bagi orang dewasa dua ribu, anak sekolah seribu. Motor  lima ribu. Dulu, bahkan ada yang  bayar dengan singkong bagi warga Sukajaya yang memiliki kebon di Selajambe. Dulu, anak-anak di dusun Jamuresi ini banyak sekolah di SR (Sekolah Rakyat) atau SD yang berlokasi di desa Selajambe Kuningan karena lokasinya dekat,” tuturnya.

Bila rakit rusak, anak-anak sering di-punggu atau digendong orang tuanya agar bisa menyeberangi Sungai Cijolang.  Apalagi bila terjadi banjir atau hujan besar, masyarakat sama sekali tidak bisa menyeberang.   “Walaupun setinggi dada orang dewasa, arusnya cukup  deras. Apalagi bila musim hujan, dan terjadi banjir, anak-anak tidak bisa sekolah, selalu malas. Dan, itu berlangsung selama lebih dari 60 tahun,” kisah Djaja.

Bila hujan deras, dan warga tidak bisa menggunakan rakit, masyarakat yang hendak menuju Dusun Jamuresi, tidak bisa menyeberangi Sungai Cijolang. “Salah satu korbannya saya, mau menengok anak dan istri tidak bisa, akhirnya menginap di rumah orang yang berdiri di pinggiran sungai,” ujar Yani Khalil salah seorang warga Jamuresi yang sehari-harinya bekerja di Jakarta.

Suka-duka menyeberangi Sungai Cijolang juga dialami Dr. Nahadi, salah satu menantu Djaja yang menetap di Bandung.

“Kira-kira tahun 1997an, saat mau menyeberang sungai Cijolang pada malam hari, kira-kira pukul 8 malam, tukang rakit tidak ada. Terpaksa saya menarik rakit sendiri dan jatuh ke sungai, sempet terseret air deras sungai. Alhamdulillah bisa menyeberang walaupun dengan bayah kuyup,” ujar Dosen FPMIPA UPI ini mengenang. (zam)

Related posts