Suara si Kecil, Suara Intisari Kehidupan

DEDE SUHERLAN

Redaktur Senior Jabartoday.com

KONON, bila ingin mengetahui kondisi masyarakat yang sebenar-benarnya, seriil-riilnya, dan seutuh-utuhnya, terjun langsunglah berbicara dengan masyarakat yang kehidupannya memang serbakesulitan, serbatermarginalkan, dan serba-serbi dengan beragam kesusahan hidup. Dari sanalah, intisari persoalan kehidupan yang jujur bisa digali.

Ya, penilaian itu memang penilaian yang jujur terhadap kehidupan yang memang dijalani dengan jujur. Kejujuran yang menjadi barang langka di negeri ini, justru ditemukan saat berbincang dengan kalangan yang kerap dipandang sebelah mata. Dibandingkan dengan para petinggi di negeri ini, apatah keberpentingan dari seorang pedagang kupat tahu?

Secara kebetulan, di tengah hiruk pikuk demonstrasi penolakan masyarakat terhadap rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), beberapa waktu lalu, ngobrol dengan seorang pedagang kupat tahu terasa sangat indah. Suara seorang pedagang kupat tahu yang mangkal di depan Rancaekek Trade Center (RTC), Rancaekek, Kabupaten Bandung, terdengar begitu tulus dibandingkan dengan gemerincing tontonan paduan suara sumbang yang ditunjukkan oleh anggota dewan dan pejabat pemerintahan.

Kata Mang Ahmad (45), pedagang kupat tahu asal Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, yang mangkal di depan RTC itu, dia sudah tidak bisa berpikir sehat lagi. Pertunjukkan yang

diperlihatkan para petinggi yang mengelola hukum, ekonomi, pendidikan, dan semua seluk-beluk soal kehidupan lainnya sangat menjemukan.

“Bagi saya si kecil ini, hanya samar-samar melihat persoalan kenegaraan. Namun, coba saja Akang lihat, kini korupsi ibarat jadwal makan. Ada korupsi pagi, siang, dan korupsi malam.

Semuanya dilakukan bareng-bareng, berombongan. Siapa yang jujur tak akan dapat. Yang pintar bersilat lidah, pasal-pasal dalam KUHP pun bisa dibeli,” kata Mang Ahmad.

Lalu, obrolan pun berlanjut. Dalam pandangan Mang Ahmad, zaman Soeharto lebih enak dibandingkan zaman sekarang. Harga-harga kebutuhan pokok tak semelambung seperti saat ini.

Harga BBM stabil. Hidup aman tanpa perasaan was-was akan muncul bom secara tiba-tiba. Dan yang terpenting, kata Mang Ahmad, hidup rukun sesama warga terlihat jelas.

“Tidak seperti sekarang, polisi dan tentara terkesan dihadap-hadapkan dengan rakyat yang marah karena pemerintah ngotot ingin menaikkan harga BBM. Sangat menyedihkan, antara warga dengan warga akhirnya disuasanakan untuk saling timpuk-timpukkan,” ujar Mang Ahmad. Terdengar sangat jujur dibandingkan dengan politisi yang kerap bersilat lidah di layar televisi.

Wah, kalau sudah begini bagaimana? Ternyata, rakyat yang termarginalkan dan katanya suka berbicara jujur dari hati yang terdalam itu, sudah demikian prustasi menghadapi hidup.

Mang Ahmad sudah tidak lagi berpikir untuk persediaan makan besok atau lusa. Yang penting, perut dia dan keluarganya bisa terisi untuk hari ini.

Semuanya sudah sedemikian kalang kabut. Miris saat mendengar perkataan Mang Ahmad yang menyebutkan, korupsi sudah seperti jadwal makan dan pasal dalam KUHP pun bisa dibeli. Dan yang lebih mengenaskan, prustasi terhadap hidup sudah sedemikian membubung. Soeharto yang banyak dicerca karena kediktatorannya justru menjadi pahlawan di mata Mang Ahmad.

Kalau begitu, semuanya semakin tidak jelas.Apakah sudah tidak ada lagi ruang bagi rakyat seperti Mang Ahmad ini untuk sekadar bisa tersenyum lepas saat menikmati terbitnya matahari di pagi hari? (***)

Related posts