Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina, MS.i menilai bahwa dunia pendidikan di Indonesia yang terang-terangan menerapkan sistem pasar menimbulkan perubahan yang sangat signifikan, yakni berkembangnya suatu habitus yang baru di kalangan mahasiswa.
“Kalau meminjam istilah Jawa, yakni sistem `kulakan` (jualan). Realitas di tingkat mikronya kita bisa melihat berkembangnya suatu habitus yang baru di kalangan mahasiswa, yakni jualan untuk mendanai unit kegiatan mahasiswa (UKM),” katanya di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan, jualan untuk mendanai UKM itu, mulai dari badan eksekutif mahasiswa (BEM) sampai ke UKM-UKM lainnya.
Menurut dia, tidak bisa ditampik ketika ke kampus, misalnya ke Universitas Indonesia (UI), banyak berjumpa dengan mahasiswa yang menjajakan makanan-makanan kudapan.
Kondisi tersebut, kata Sekretaris Program Sosiologi Unas itu, juga berlaku di beberapa universitas lain.
“Yang lebih memprihatinkan lagi, akibat sistem ini adalah berkembangnya habitus yang lain, yakni datang ke acara-acara `talk show` televisi, motifnya untuk mendapatkan dana tambahan untuk UKM mereka,” kata anggota peneliti Kelompok Studi Perdesaan UI itu.
“Jadi asumsi kita jika `talk show` dihadiri oleh mahasiswa karena mereka ingin memperluas pengetahuan, tidak berlaku dalam hal ini. Orientasi utama mereka adalah `fee` yang diberikan oleh stasiun TV yang menayangkan acara tersebut,” tambahnya.
Menurut penilaiannya, sistem pendidikan yang sekarang tidak menstimulan para siswa atau mahasiswa untuk melakukan tindakan yang inovatif, dan berpikir yang kreatif.
“Saya kira, sebaiknya sistem `kulakan` tersebut harus segera dieliminir dalam sistem pendidikan kita. Kita
terapkan sistem pendidikan yang sesuai dengan konstitusi kita,” katanya.
“Ideologi kita adalah Pancasila. Seharusnya ideologi yang diterapkan dalam sistem pendidikan kita, ya Pancasila. Bukan sistem `kulakan`. Jika tidak bangsa kita akan sulit mencapai kemajuan,” demikian Nia Elvina.