Laporan Diskusi Pendidikan Bincang Isola “Pendidikan Jangan Dikorupsi!”
Bangsa ini boleh dibilang tumbuh dalam cengkeraman budaya korupsi. Korupsi tumbuh subur di semua lini, di sekitar kita. Pun dalam dunia pendidikan. Alih-alih menjadi garda depan pencegahan, sekolah malah menjadi tempat tumbuh dan bersemainya benih korupsi. Tentu, selalu ada harapan baru. Kesadaran dan partisipasi publik yang makin meningkat menjadi modal besar melepaskan diri dari lorong gelap korupsi.
Demikian rangkuman pendapat sejumlah narasumber diskusi pendidikan Bincang Isola bertajuk “Pendidikan Jangan Dikorupsi!” yang dihelat di Teater Terbuka Museum Pendidikan Nasional Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Jalan Setiabudhi Nomor 229 Bandung, Jumat (18/12) malam. Diskusi bulanan yang diprakarsai Unit Pers Mahasiswa (UPM) UPI ini menghadirkan Direktur Pembinaan Antar Jaringan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dedi Rachim, Manajer Program Monitoring dan Evaluasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Sely Martini, Ketua Komisi D DPRD Kota Bandung Achmad Nugraha, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan UPI Asep Kadarohman, Kepala Bidang Pendidikan Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan (PSMAK) Dinas Pendidikan Kota Bandung Rita Hardyani, Koordinator Rumpun Indonesia Sri Aryani Murcahyani, Sekretaris Komite Sekolah SMA Negeri 5 Bandung Agus Setia Mulyadi, aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung Tri Joko Her Riadi, dosen Pendidikan Antikorupsi UPI Muhammad Iqbal, dan sejumlah pentolan Gerakan Masyarakat Peduli Pendidikan (GMPP).
Sekolah Sarang Korupsi
Achmad Nugraha yang telah 12 tahun menjadi anggota DPRD Kota Bandung mengaku menemukan banyak kejanggalan ketika melakukan pengawasan ke sekolah-sekolah. Guru yang sejatinya menjadi panutan murid malah terjebak dalam praktik-praktik yang dekat dengan tindak korupsi. Guru terbiasa dengan memanipulasi nilai maupun praktik jual-beli buku yang seharusnya dilarang.
“Bahkan, saya harus bilang bahwa lembaga pendidikan menyuburkan perilaku korupsi. Saya ambil contoh, mengapa guru-guru lebih suka memberikan les tambahan bagi siswa daripada memperbaiki cara mengajar? Saya pikir ini salah satu awal dari perilaku tidak terbuka, mencari tambahan pendapatan dari yang tidak seharusnya. Bagaimana bisa guru mengajarkan pencegahan korupsi bila sekolah justru akrab dengan praktik tidak transparan itu,” kata Achmad berapi-api.
Kader partai moncong putih ini mempertanyakan kinerja Dinas Pendidikan yang dianggapnya tutup mata terhadap praktik-praktik “korupsi” di sektor pendidikan Kota Bandung. Dia juga menyayangkan tidak segera digratiskannya pendidikan dasar 12 tahun. Padahal, anggaran pendidikan di Kota Bandung cukup untuk menanggung biaya pendidikan selama 12 tahun.
“Jangan-jangan biar tetap ada pungutan di sekolah. Dengan begitu, terbuka peluang untuk memanipulasi pungutan dari masyarakat tersebut. Disdik ke mana saja?” ujarnya sambil menunjuk ke arah Kepala Bidang PSMAK Dinas Pendidikan Kota Bandung Rita Hardyani.
Kritik serupa juga datang dari Mansurya Manik, salah satu orang tua siswa di Kota Bandung. Manik menuding sekolah atau berupaya memanipulasi pungutan liar dengan aneka bentuk. Salah satunya kegiatan berenang. Hampir bisa dipastikan guru olahraga mewajibkan siswa untuk berenang setiap bulan. Meski sebenarnya pengelola kolam renang memberikan potongan harga, siswa harus membayar 100 persen tiket masuk.
“Diskon kolam renang itu sampai 40 persen. Bayangkan kalau setiap bulan siswa harus renang, berapa duit yang bisa diambil guru dari diskon tadi. Hasil renang tadi apa? Apakah siswa jadi pintar renang? Saya tidak yakin,” tandas Manik.
Tanpa menyebut nama sekolah yang dimaksud, Manik menengarai adanya “tarif” yang dipatok bagi seorang guru untuk menjadi kepala sekolah tertentu. Tidak tanggung-tanggung, “tarif” kepala sekolah ini mencapai Rp 500 juta.
“BEP (break event point, Red) tidak sampai satu tahun, lho! Sudah bisa dibayangkan berapa besarnya dana yang bisa ‘dimainkan’ di sekolah,” tegas pria asal Sumatera Utara tersebut.
Koordinator GMPP Hary Santoni berpendapat sekolah belum bisa dijadikan kawah candradimuka penanaman nilai-nilai antikorupsi. Tak ada budaya transparan dalam pengelolaan dana pendididikan di sekolah. Padahal, masyarakat dan orang tua berhak mendapatkan informasi pengelolaan dana pendidikan.
“Belum lama ini anak saya minta uang Rp 3,5 juta untuk acara studi wisata di sekolah. Saya tanya, ‘Kak, tahu tidak rincian uang tersebut dipakai apa saja?’ Anak saya jawab tidak tahu. Inilah potret pendidikan kita. Tidak ada transparansi sama sekali. Termasuk dalam penerimaan siswa baru,” ujar Hary yang beberapa waktu lalu mengirim surat terbuka kepada Wali Kota Bandung berisi tuntutan transparansi dalam proses penerima siswa baru di Kota Bandung.
Pengadaan Barang dan Jasa
Modus tindak pidana korupsi boleh dibilang umum, begitu-begitu saja. Aksi rasuah ini sangat dengan pengadaan barang dan jasa. Sama seperti sektor lainnya, pengadaan barang dan jasa menjadi lumbung tindak pidana korupsi. Modusnya bervariasi, mulai permainan fee hingga titipan proyek. Sektor pendidikan makin kental nuansa korupsi karena mengelola anggaran luar biasa besar.
Catatan KPK menunjukkan, lebih dari setengah dari anggaran pendidikan di Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta bentuknya berupa pengadaan barang dan jasa. Dengan anggaran superjumbo DKI, setiap sekolah mendapat alokasi tidak kurang dari Rp 100 miliar. Konyolnya, banyak sekolah menganggarkan duit tersebut untuk renovasi bangunan. Padahal, nyaris tidak ada sekolah yang harus direnovasi di DKI.
“Kita tentu belum lupa dengan kasus UPS (Uninterruptible Power Supply, Red) yang menghebohkan di DKI. Anggaran sekolah akhirnya diada-adakan, padahal tidak sesuai kebutuhan. Angkanya juga tidak masuk akal. Harus diakui anggaran yang besar ini rawan dimanfaatkan koruptor,” kata Dedi Rachim.
Sayangnya, Rita Hardyani yang memang belum lama dilantik menjadi pejabat eselon III di Dinas Pendidikan Kota Bandung mengaku tidak mengetahui dengan pasti anggaran pendidikan yang dikelolanya. Dia hanya mengungkapkan bahwa 80 persen anggaran pendidikan di Kota Bandung langsung didistribusikan ke sekolah-sekolah.
“Disdik sendiri hanya mengelola 20 persen. Kami juga mencoba mengelolanya secara optimal. Kemarin kami baru saja mengembalikan dana ke Pemerintah Kota karena memang tidak terserap. Kalau memang tidak digunakan, Kepala Dinas (Pendidikan Kota Bandung) mengeluarkan kebijakan untuk dikembalikan,” kata Rita.
Riset ICW selama bertahun-tahun menemukan adanya praktik korupsi sistematis di sektor pendidikan. Sely Martini menyebutnya by diesign, sudah diatur sejak awal. Ketika anggaran disusun, maka pada saat itu pula siasat rasuah dilakukan. Bentuknya umum, seperti penggelembungan biaya, anggaran ganda, dan aneka bentuk kongkalikong lainnya.
“Sektor pendidikan yang semestinya menjadi alat untuk menyejahterakan rakyat, malah diwarnai oleh praktik korupsi. Praktik ini sangat sistematis dan melibatkan semua komponen yang berkepentingan,” sesal Sely.
Di sisi lain, Martin menuding tidak ada itikad baik dari Dinas Pendidikan maupun pihak sekolah untuk membuka informasi kepada masyarakat. Padahal, seharusnya Rencana Kerja Anggaran Sekolah (RKAS) menjadi hak publik untuk mengetahuinya. Dan, hasil pertanggungjawaban RKAS harus diaudit akuntan publik.
“Sekarang mana ada sekolah yang diaudit akuntan publik? Padahal, kalau kita teliti lebih jauh, banyak mata anggaran yang sebenarnya dialokasikan dalam dana BOS tetapi pihak sekolah memungut kembali kepada orang tua siswa. Gara-gara ada klausul bahwa sekolah boleh memungut dengan syarat RKAS lebih besar dari BOS, sekarang tiap sekolah menaikkan anggaran mereka. Ini kacau,” kritik Martin.
Awasi, Laporkan!
Transparansi menjadi mantra mujarab melawan korupsi. Publik pun menjadi kekuatan utama. Semakin banyak pihak sadar dan peduli terhadap tata kelola pendidikan, maka semakin kecil peluang terjadinya tindak pidana korupsi. Sely membuktikan, sejumlah lembaga pemerintah yang secara intens diawasi kelompok masyarakat terbukti semakin sepi praktik korupsi. Karena itu, dia mengajak masyarakat terlibat aktif dalam pengawasan tata kelola pemerintahan.
“Sekarang kita bisa mengawasi dan melaporkan dengan beragam cara. Banyak instrumen itu itu. Banyak lembaga mengembangkan pengadaan barang dan jasa secara online, open tender, aplikasi laporan pemerintah, dan lain-lain. Tugas kita mengontrol penyelenggara pemerintahan,” ungkap Sely.
Di tingkat sekolah, Sekretaris Komite Sekolah SMAN 5 Bandung Agus Setia Mulyadi mengklaim tengah merintis upaya transparansi pengelolaan dana sekolah. Sebagai representasi masyarakat, Komite Sekolah terlibat aktif dalam penyusunan RKAS maupun evaluasi. Dengan begitu, pihak sekolah tidak bisa semena-mena atau kongkalikong dalam mengelola dana sekolah.
Pegiat Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) Kota Bandung ini bahkan sesumbar untuk membuka RKAS kepada masyarakat. Ini bakal dilakukan ketika dia menjadi kepala sekolah dalam beberapa bulan ke depan. “Saya menawarkan diri untuk menjadi pilot project transparansi pengelolaan dana pendidikan di sekolah. Tahun depan saya dilantik menjadi kepala di salah satu sekolah,” kata Agus.
Benih-benih kesadaran publik itu kini terus bermunculan. Ruang Media Perempuan (Rumpun) Indonesia belum lama ini menggulirkan kampanye kreatif berupa cap tangan di atas kain perca dengan tagar #percaintegritas. Cap tangan ini merupakan simbol komitmen diri untuk tidak melakukan korupsi dan menjalankan sifat-sifat integritas yang merupakan dasar dari nilai-nilai baik. Sifat itu antara lain berperilaku jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggungjawab, kerja keras, sederhana, berani, dan adil.
“Rumpun Indonesia menggunakan media seni sebagai alat kampanye,” ujar Sri Aryani Murcahyani.
Bagi Aryani, perempun senantiasa memiliki sifat feminitas yang dominan. Kelembutan, kesabaran, kebaikan, dan ketenangan merupakan sebagian dari sifat yang dimaksud Aryani. Bingkai itu pula yang kemudian melahirkan cap tangan di atas kain berukuran A3 dengan nama #percaintegritas. Pada awal 2015, cap tangan ini dinamakan cap tangan #KainPercaKPK atau Kain Perca Keluarga Pemberantas Korupsi.
Rumpun Indonesia menilai adanya peran penting keluarga sebagai unit terkecil di masyarakat sebagai elemen pencegah tindakan korupsi. Selain itu, disadari atau tidak, perempuan juga berada dalam pusaran korupsi, baik sebagai aktor utama maupun sekadar pemeran pembantu. Perempuan juga sering dituding sebagai penyebab kaum pria atau suaminya melakukan korupsi.
Pada akhirnya, pendidikan menjadi penanggung paling besar dalam upaya-upaya penyadaran dalam melawan tindak korupsi. Dalam beberapa tahun terakhir, KPK aktif memberikan pelatihan materi antikorupsi kepada guru dan dosen. Di tingkat perguruan tinggi, KPK telah melakukan training of trainers (TOT) untuk calon pengampu mata kuliah pendidikan antikorupsi.
”Kami sudah melakukan TOT kepada 3.000 dosen dari 1.500 perguruan tinggi negeri dan swasta,” kata Dede Rachim.
Muhammad Iqbal yang menjadi pengampu pendidikan antikorupsi di Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) UPI menilai upaya membangun jiwa antikorupsi perlu dimulai melalui pembiasaan diri, bukan hanya mendelegasikan kepada orang lain untuk melakukan itu. Sayangnya, sejauh ini belum ada upaya serius untuk menggulirkan pendidikan antikorupsi di semua program studi.
Pentingnya kesadaran pribadi juga menjadi catatan Asep Kadarohman. Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan UPI ini mengklaim, secara kelembagaan, UPI sangat concern dalam pengembangan nilai-nilai antikorupsi. UPI juga senantiasa menerapkan tata kelola universitas secara transparan dan akuntabel.(NJP)