Politik Bumi Hangus Jokowi

M. Rizal Fadillah, Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Barat, juga Ketua Masyarakat Unggul (Maung) Institute Bandung

M. Rizal Fadillah

Ketua Masyarakat Unggul (Maung)
Institute Bandung

Kaget dan sungguh tak masuk akal ada Presiden pribumi orang Solo, yang mengaku wong deso dan di momen yang semestinya mencari simpati, bisa mengambil kebijakan yang a-nasionalis begini.

Asing dapat menguasai 100% saham 54 sektor industri. UKM dan Koperasi pun bisa ‘dilepas’ pada asing. Apakah Jokowi tersandera, tertekan, terdikte atau ia sedang frustrasi cari bantuan asing untuk sukses pilpres. Luar biasa teganya melakukan politik bumi hangus.

Politik bumi hangus dilakukan biasanya saat kondisi sudah tak berdaya dan menghadapi probabilitas tinggi akan kekalahan. Daripada dikuasai, dikalahkan, atau dihinakan ke depan, maka lebih baik buat suasana sulit bagi si pemenang, bumi hanguskan.

Dengan kondisi ekonomi yang terpuruk, hutang luar negeri besar, nilai tukar dollar tinggi, penganggur pribumi diganti sejumlah besar tenaga kerja Cina, program BPJS amburadul, dana haji disimpangkan untuk infrastruktur, pajak digenjot ke rakyat, pengusaha non pri lebih menikmati, hoax 51 % saham Freeport hingga kegagalan reklamasi, Meikarta dan lainnya, semuanya menukik. Bangkit itu sulit, meski dengan segala cara, kemudian berhasil menang untuk jabatan kedua.

Sudahlah, negara ini dibuat kacau dan bahaya. Kini rakyat kita harus berani ambil sikap. Tak ada harapan bangsa dipimpin Jokowi, kerusakan demi kerusakan terjadi, kebijakan nekad diambil, asing diundang dengan berendah diri. Martabat bangsa dijual. Aset kita dibumihanguskan. Pak Jokowi stop saja, ga perlu cape-cape menjuluki mereka yang memprihatinkan keadaan negara sebagai Genderuwo. Justru teman teman Bapak yang sedang menjulur julurkan lidah menjilat, mengejek, atau lapar kekuasaan itu sebagai Genderuwo.

Dulu ada fatwa haram memilih Jokowi-Jk, lalu ada ulama pula yang menghukumkan ‘wajib’ mengganti Presiden. Maka mungkin lebih dalam lagi hukum yang pas kini adalah ‘Rukun’. Artinya pilihan kita hanya dua, ganti atau negara ini meluncur hancur.

“Wa tilka’l ayyamu nudawiluha bainan nas”–hari kejayaan itu dipergilirkan di antara manusia– “Kejayaan” Pak Jokowi, sudah selesai.

Semoga perjalanannya tidak berawal dari blusukan ke got dan berakhir di got pula.

Bandung, 19 November 2018

Related posts