Kasus PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) adalah kasus perdata, bukan korupsi, seperti yang dituduhkan Penuntut Umum kepada mantan Direktur Utama Ronny Wahyudi. Pernyataan itu diutarakan oleh Ahli Hukum Pidana Universitas Parahyangan, J. Samosir, dalam keterangannya sebagai saksi ahli.
“Melanggar AD/ART (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) korporasi. Bukanlah sebuah tindak pidana. Tapi, perkara perdata,” jelasnya kepada majelis hakim di Ruang Sidang I Pengadilan Negeri Bandung, Kamis (20/9).
Saat disinggung mengenai kerugian negara, Samosir menerangkan, bahwa yang dapat menyatakan negara merugi adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bila BPK menyebutkan tidak ada kerugian negara, berarti tidak ada tindak pidana korupsi yang terjadi. “Bila menyebutkan seorang merugikan keuangan negara, harus ada bukti dari BPK,” tegasnya.
Kasus ini berawal saat Ronny menjabat sebagai Direktur Utama PT KAI, dan Kuncoro selaku Direktur Keuangan. Keduanya melakukan kerjasama investasi dengan PT OKCM senilai Rp 100 miliar. Dalam perjanjiannya, PT OKCM berjanji akan memberikan keuntungan 11 persen kepada PT KA dalam periode enam, yaitu hingga Desember 2008. Dan pada akhir perjanjian PT OKCM harus mengembalikan dana pokok sebesar Rp 100 miliar. Namun pada kenyataannya, PT OKCM tak bisa mengembalikan uang tersebut. Hal itulah yang dianggap oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat sebagai tindak pidana korupsi. (AVILA DWIPUTRA)