
JABARTODAY.COM – JATINANGOR
Anggota Dewan Pers, M. Ridlo Eisy mengkritik pemberitaan media yang kerap tidak akurat saat mewartakan bencana. Realitas itu justru jadi pemicu ketegangan di tengah warga yang jadi korban bencana.
Ridlo mengungkapkan, saat liputan meletusnya Gunung Merapi, di Yogyakarta, di salah satu media disebutkan bahwa berbarengan dengan meletusnya Gunung Merapi keluar awan panas dan lahar yang jangkauannya muncul di kilometer 5.
“Padahal, berita yang harusnya dilansir oleh media itu adalah awan panas dan lahar yang keluar sepanjang jalur sejauh lima kilometer. Berdasarkan realitas itu, akan muncul bias informasi. Antara kilometer lima dengan lima kilometer, maknanya berlainan,” Ridlo, saat berbicara dalam workshop “Peran Media dalam Penyebaran Informasi Kebencanaan Geologi”, di Bandung Giri Gahana Golf & Resort, Jatinangor, Senin (24/9).
Menurut Ridlo, agar informasi tentang bencana tidak bias, wartawan dituntut menampilkan berita yang akurat. Langkah untuk mengkonfirmasi serta cek dan recek harus dilakukan oleh wartawan.
“Berita yang akan dilansir oleh media datanya harus betul-betul akurat. Itu menjadi kunci bahwa berita yang disampaikan wartawan berdasarkan data konkret di lapangan,” ujarnya.
Pembicara lain dalam kegiatan yang digelar oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi ini, Deni Yudiawan, wartawan Pikiran Rakyat, menuturkan, saat wartawan terjun meliput bencana kerap tidak dibekali pengetahuan yang cukup seputar peliputan bencana.
“Seharusnya, dalam peliputan, wartawan jangan larut terbawa emosi saat melihat kondisi bencana. Namun, itu sulit dihindari. Saat bencana tsunami di Aceh 2008 lalu misalnya, ada salah seorang wartawan yang mengalami trauma berat. Selepas meliput tsunami, si wartawan itu mengalami depresi selama tiga bulan lebih,” kata Deni. (DEDE SUHERLAN)