Aktifis Mahasiswa UPI
Ada sesuatu yang baru dan terkesan ganjil di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ketika jadwal perkuliahan kembali bergulir, yakni direnovasinya selasar mesjid Al-Furqan. Hal ini saya sebut ganjil, bila merujuk pada komentar para mahasiswa yang rajin mengunjungi mesjid tersebut untuk melakukan berbagai macam aktivitas, seperti shalat, diskusi, atau sekedar berteduh.
“Setahu saya, selasar ini masih layak, dan tak perlu diperbaiki”, tutur salah seorang diantara mereka.
Berdasarkan keterangan dari beberapa mahasiswa yang sudah sejak lama menjalani studi di UPI, diperoleh keterangan bahwa mesjid Al-Furqan berikut selasarnya telah berdiri sejak 2009 (saya baru secara resmi manjadi mahasiswa UPI sejak tahun 2011). Artinya, baru kurang dari empat tahun sejak bangunan ini rampung_waktu yang relatif pendek bagi sebuah bangunan untuk diperbaiki.
Hal ini kemudian mengingatkan saya pada pemberitaan di berbagai media beberapa waktu lalu, mengenai adanya dugaan korupsi dalam perbaikan atau renovasi jalur Pantai Utara Jawa (Pantura). Alasan adanya dugaan korupsi ini, menurut Masyarakat Anti Korupsi (MAKI), didasarkan pada terlalu seringnya Pantura diperbaiki, bahkan hampir tiap tahun dengan menghabiskan anggaran yang tak sedikit.
Menurut saya, dugaan tersebut sangat rasional, mengingat bahwa sebuah gedung, jalan, jembatan, dan lain-lain tentu dibangun berdasarkan perencanaan yang matang, sehingga memiliki jangka waktu renovasi yang bisa diperhitungkan secara matematis_terkecuali bila kontraktor pembangunannya adalah kontraktor yang tidak profesional atau sebagian dana pembangunannya telah masuk ke dalam kantong oknum-oknum proyek sehingga kualitas bahan bangunannya menjadi berkurang. Oleh karena itu, jangka waktu satu tahun (Pantura) atau empat tahun (Selasar mesjid Al-Furqan), rasanya terlalu pendek. Dengan demikian, dugaan semacam itu bukanlah sesuatu yang mengada-ada.
Lantas kemudian, tentu anda bertanya, apa hubungan antara renovasi dengan korupsi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, akan saya paparkan sebuah cerita yang sangat ‘lucu’.
Di sebuah sekolah, hendak dibangun gedung kelas yang baru. Sumber dananya tentu dari APBN. Pada saat hendak diselenggarakan acara peletakan batu pertama, kepala sekolah di sekolah itu sedikit berbisik kepada kontraktor bangunan. Sial baginya, sebab bisikannya itu terdengar oleh teman saya yang bekerja sebagai pengaduk semen. Bisik kepala sekolah itu,”Bangunannya jangan dibuat terlalu bagus. Biarkan saja cepat rusak, agar saya dapat proyek lagi”.
Nah, para pembaca sekalian, hal semacam inilah yang saya khawatirkan. Renovasi memang harus dilakukan, bila sebuah bangunan memang benar-benar sudah tidak layak, sehingga membahayakan para penggunanya. Akan tetapi, bila sebuah bangunan yang masih sangat layak kemudian direnovasi, salahkah saya bila mencurigainya sebagai akal-akalan untuk “berwirausaha secara kreatif” demi proyek pembangunan yang biasanya “mencipratkan” komisi?
Para pemangku kebijakan pembangunan di negeri ini saya rasa mesti belajar dari ibu saya. Mengapa ibu saya? Memang apa hebatnya beliau? Hebatnya beliau adalah menerapkan prinsip lebih baik lebih asal awet, daripada pas atau kurang tapi terus digonta-ganti. Karena saya berasal dari keluarga yang tidak terlalu kaya, maka setiap kali membelikan seragam sekolah untuk saya, ibu selalu memilih yang sangat longgar. Atas pilihannya ini, lantas saya memprotes. Akan tetapi, jawab beliau,”Biarin, supaya kepake sampe lulus”. Andai prinsip ini diterapkan di segala jenis pembangunan, negara tak akan repot mengurusi perbaikan.