Reformasi di Senjakala Jokowi

Fahrus Zaman Fadhly

Fahrus Zaman Fadhly

Aktifis mahasiswa 98, Penulis dan editor Buku “Mahasiswa Menggugat: Potret Gerakan Mahasiswa 98” Pustaka Hidayah, 1999)

Saat reformasi digaungkan pada 1998 lalu, tujuannya bukan sekedar menjatuhkan rezim Pemerintahan Orde Baru, Soeharto. Tetapi, mendorong agar cita-cita negara sebagaimana termaktub dalam Mukaddimah UUD 1945, bisa terealisasi. Para pejuang bangsa di bawah panji Bapak Reformasi HM. Amien Rais, tidak memilih revolusi sebagai metode perubahan sosial. Padahal momentumnya tepat untuk melakukan perubahan fundamental atas seluruh sendi-sendi negara. Mantan Ketua Umum Muhammadiyah itu memilih “jalan lunak” dalam mentransformasi kehidupan berbangsa: reformasi. Jalan lunak ini, kemudian dibajak oleh mereka yang memiliki akses pada asing dan menyelundupkan klausul-klausul pro asing.

Amandemen UUD 1945 dinilai kebablasan. Diperparah oleh UU Minerba, UU Air, UU Tanah, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal Asing, seluruhnya membuka seluas-luasnya bagi dominasi asing. Ada elemen bangsa ini yang membelokkan cita-cita reformasi dengan memanfaatkan euforianya dengan memasukkan kepentingan asing dalam sejumlah kebijakan dan regulasi.

Waktu pun bergerak. Reformasi makin mengalami disorientasi. Reformasi tak lagi bertaji. Spiritnya kian luntur. Elan vitalnya tak lagi bernyali. Harapan hadirnya “Indonesia Baru” kian pupus ditelan waktu.

Sebagai pengganti Soeharto, Habibie sesungguhnya berjasa mengantarkan proses transisi ke arah yang lebih demokratis dan beradab. Habibie pun amat piawai mengelola perekonomian negara. Dolar yang saat itu bertengger tinggi di atas punggung rupiah, mampu diturunkan secara dramatis hingga Rp. 6000 per USD. Kebebasan pers menemukan iklimnya yang ideal.

Di era Gus Dur, cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratusy Syaikh, KH. Hasyim Asy’ari, reformasi kembali bertaji. Militer berhasil kembali ke barak. Namun, Gus Dur dianggap gagal memulihkan ekonomi.

Gus Dur pun dilengserkan, Megawati menggantikan. Saat Megawati berkuasa, Indosat dan BCA dijual ke asing. Bahkan, puteri biologis Bung Karno itu mengeluarkan kebijakan Release and Discharge (R & D) debitur-debitur BLBI yg merugikan negara ratusan triliun. Wong Cilik kian menanggung perih. Perjuangan atas Wong Cilik hanya berhenti di bibir. Nol besar di tindakan.

SBY menggantikan Megawati melalui proses pemilihan presiden secara langsung pertama kali dalam sejarah politik Indonesia. Di era SBY, reformasi berjalan mandeg. Tetapi ekonomi relatif stabil. Bahkan utang luar negeri RI secara berangsur berkurang. Namun, SBY dianggap sosok pemimpin yang lamban dan undecisive. Skandal bailout Bank Century mewarnai pasang-surut pemerintahan SBY dalam dua periode berurut-turut.

Di era Jokowi, terutama di pekan pertama hingga medio Mei 2018, rupiah tersungkur hingga Rp. 14.052 per USD. Inflasi tak bisa hindari. Harga-harga bahan pokok di pasar tradisional menaik tajam. Subsidi BBM dicabut. Premium susah dicari rakyat. Impor meroket. Neraca perdagangan tidak seimbang. Fundamental ekonomi kian rapuh. Politik gaduh, masyarakat terbelah.

Di era bekas Walikota Solo ini, nasib reformasi semakin menjauhkan kita dari cita-cita bernegara. Reformasi semakin kehilangan orientasi. Bangsa ini mengalami masa paling suram dalam sejarah Indonesia modern. Marwah bangsa kian tak berharga di mata dunia. Ancaman imperialisme di balik investasi asing kian mengkhawatirkan. TKA asing terutama asal Tiongkok kian membanjir. Aksi terorisme terjadi secara beruntun. Mulai kasus rusuh di rutan Brimob sampai bom di 3 gereja di Surabaya. Masyarakat kian terbelah merespons kasus terorisme. Sebagian melihatnya sebagai aksi riil terorisme, sebagian lainnya melihatnya sebagai bagian dari “Ghost War” yang dirancang Amerika Serikat.

Di Era Jokowi, konstitusi negara tidak berjalan sebagaimana mestinya. Agama yang suci dinista, ulama dikriminalisasi, aktifis dipersekusi, cendekiawan dikebiri, mahasiswa dipecah-belah.

Tidak heran bila, pengamat menyebut Jokowi sebagai presiden terlemah di dunia dan di sepanjang sejarah politik Indonesia. Terlebih, ia dinilai tidak kapabel dalam kancah pergaulan antar bangsa. Gagap dalam menghadapi gempita riak diplomasi internasional. Kontrol wajah sang presiden pun, tak memenuhi standar etika diplomasi internasional.

Dilihat dari berbagai perspektif ini, wajar jika banyak yang khawatir reformasi akan mati secara total dan tak akan bangkit lagi. Alih-alih mampu melanjutkan reformasi yang diserukan mahasiswa 20 tahun lalu,  dari lisan Jokowi pun tak pernah keluar kata reformasi. Alih-alih mampu mewujudkan cita-cita proklamasi,  satu janjinya saat kampanye pun tak ada yang ia tunaikan.

Wajar saja bila kalangan oposisi membidani “gerakan kaos” berlabel #2019GantiPresiden. Kendati demikian, kita semua berharap reformasi kembali bertaji, kendati di masa-masa senjakala Jokowi. Semoga api perubahan terus menafasi spirit transformasi Indonesia sesuai cita-cita proklamasi. Aamiin. ***

Related posts