
JAJA JAMALUDIN
Penulis adalah alumnus jurusan pendidikan fisika UPI dan program Magister Ilmu Fisika universitas Indonesia dan Praktisi Human Resources Management Harapan Ibu Learning Center, Jakarta
Kita mengetahui, dalam interaksi sosial sudah pasti terdapat friksi-friksi sosial yang sering kita sebut sebagai konflik. Seringkali dalam komunitas sosial seperti partai politik, lembaga sosial, organisasi, dunia kerja, konflik atau hubungan disharmoni amat signifikan mengancam hilangnya energi positif internal sebagai representasi keutuhan komunitas sosial yang bersangkutan. Jika hal itu terus berkembang, maka kemungkinan tertinggi adalah jumlah energi internal positif yang inhern dalam komunitas sosial itu akan bernilai nol. Kondisi ini akan terlihat dari seluruh performance dan kinerja para pelakunya secara jelas sebagai kekacauan iklim dan kinerja setiap individu dalam komunitasnya. Akibat langsungnya, akan ada anggota komunitas tersebut yang hengkang dari organisasi, komintas atau sejenisnya atau kalau dalam dunia kerja si pemilik perusahaan mem-PHK pegawainya.
Pertanyanya adalah pertama: apa faktor yang dapat membantu kita mengurai dan menganalisa konflik yang kemudian mampu membantu mencari way-out dari konflik tersebut? Kedua, siapa yang bertanggungjawab menyelesaikan konflik itu? Tulisan ini akan mencoba menawarkan analisa sekaligus gagasan dalam menjawab dua pertanyaan di atas.
Eksistensi manusia sebagai makhluk biologis dan makhluk sosial akan menampilkan entitas-eksistensinya dalam dua matra. Matra pertama adalah matra fisik dan matra kedua adalah matra non-fisik. Didalam matra non-fisik ada aspek psiko-sosial dari setiap eksistensi manusia. Dalam matra fisik, kita tahu, di antara individu-individu sebagai anggota comunitas memiliki jarak-fisik. Namun, dalam perspektif interaksi manusia jarak fisik tidaklah banyak memberi data yang mendalam untuk menjelaskan kualitas interaksi antar individu tidak seperti dalam ilmu fisika. Sebaliknya, pada saat yang sama, dalam perspektif matra kedua, justru jarak non-fisik termasuk jarak psiko-social (psycho-social distance) amat membantu menjelaskan tentang kualitas dan dinamika interaksi antar-individu manusia. Bahkan kita akan mampu memprediksi, mengelola dan menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi.
Psiko-sosial sebagai Besaran Vektor
Penulis mendefinisikan psiko-sosial dari seorang individu mirip dengan konsep vektor Medan gravitasi, medan listik atau medan magnet dalam konsep físika. Sebagai besaran vektor, Medan baik Medan gravitasi, Medan listrik atau Medan magnet, bukan saja memiliki besar (nilai) namun juga memiliki arah. Begitupun dengan psiko-sosial, ia (sebut saja) merupakan besaran psikis berkategori vektor yang memiliki besar (magnitude) dan arah (direction). Ini berarti kita dapat mendefinisikan Medan psiko-sosial sebagai wilayah atmosfir psikologis dan social seseorang yang masih terdapat pengaruh “gaya interaksi psiko-sosial” dari seorang individu tadi. Dalam terminologi ini, setiap individu akan memiliki vektor Medan psiko-social yang berbeda satu sama lain. Faktor penentu besar dan arah medan psiko-social ditentukan oleh kualitas diri, jati diri, integritas atau personaliti-nya.
Perhatikan gambar di samping. Bayangkan sebuah titik yang berwarna abu-abu tua dan di sekitar titik tersebut secara konsentris ada daerah berwarna abu-abu muda. Daerah abu-abu tua kita misalkan sebagai eksistensi individu seseorang dan daerah abu-abu muda adalah medan psiko-sosial diri seseorang tersebut. Luas jangkuan medan psiko-sosial setiap orang hampir dipastikan berbeda, oleh karena kita mengetahui tidak ada dua individu yang sama.
Di atas dasar proposisi bahwa tidak ada dua individu yang sama, kita dapat berkesimpulan di antara individu senantiasa terdapat selisih kualitas psiko-sosial. Selisih psiko-sosial diantara dua individu inilah yang kita sebut sebagai jarak psiko-sosial (psycho-social distance). Oleh karena psiko-sosial adalah analog sebagai besaran vektor (memiliki nilai (besar) dan arah), maka kemungkinannya ada 3 (tiga) jenis jarak psiko-sosial. Pertama, jenis jarak psiko-sosial pada tataran nilai/besar saja (baca: kualitas dan kuantitas psiksosial). Kedua, jarak psiko-sosial pada tataran arah saja (direction). Ketiga, jarak psiko-sosial pada tataran besar dan arah. Artinya baik besar maupun arah memiliki selisih /perbedaan diantara dua atau banyak individu orang.
Bilamana Konflik terjadi?
Sering kita mendengar istilah perbedaan pendapat acapkali menjadi akar konflik atau penyebab konflik. Atau perbedaan kepentingan juga dipercaya sebagai akar konflik antarindividu, kelompok atau komunitas sosial. Sesungguhnya, jauh dikedalaman pendapat atau kepentingan terdapat keadaan psiko-sosial seseorang. Sumber pendapat dan kepentingan seseorang dipastikan berdiri diatas dasar psiko-sosial orang tersebut. Dengan demikian, perbedaan (baca : selisih atau jarak) psiko-sosial sesungguhnya sebagai penyebab mendasar terjadinya konflik. Akan tetapi, tidak setiap terjadi selisih psiko-sosial terjadi konflik. Jarak psiko-sosial bernilai kecil pada umumnya tidak menimbulkan konflik. Oleh karena, dalam diri seseorang terdapat potensi sikap untuk bersikap toleran. Pada dasarnya, sikap toleran dimiliki oleh setiap orang, yang berbeda hanya pada kadar atau derajatnya saja.
Jika jarak psiko-sosial antarindividu lebih besar dari potensi sikap toleran yang dimiliki salah satu individu maka terjadilah apa yang disebut konflik. Jadi, konflik akan terjadi bila jarak psiko-sosial lebih besar daripada potensi sikap salah satu individu. Sebaliknya, jika jarak psiko-sosial antarindividu lebih kecil daripada potensi sikap salah satu individu yang bersangkutan, maka tidak akan terjadi konflik. Ini berarti terdapat batas ambang nilai jarak psiko-sosial dan potensi sikap toleran, yakni pada saat dimana nilai jarak psiko-sosial dan potensi sikap toleran bernilai sama atau kongruen.
Mengendalikan dan Mengelola Konflik
Dalam perspektif jarak psiko-sosial tentu saja kita dapat mengatakan bahwa agar tidak terjadi konflik, maka kita perlu mengendalikan dan mengelola nilai jarak psiko-sosial antarindividu dan potensi sikap toleran. Mengendalikan nilai jarak psiko-sosial artinya memperkecil nilai jarak psiko-sosial antarindividu. Kalau mungkin ke tingkat yang paling ekstrim minimum yakni mendekati nilai nol. Tentu saja kita tahu tidaklah mungkin tercapai kondisi dimana jarak psiko-sosial bernilai nol, oleh kerena akan kontradiktif dengan proposisi tidak ada dua individu yang sama. Disinilah kita dapat memahami kemustahilan monolitikasi atau penyeragaman kultur sebuah masyarakat. Yang mungkin kita lakukan adalah mengelola konflik. Mengelola konflik artinya disamping mengendalikan nilai jarak psiko-sosial, pada saat yang sama kita dapat mengendalikan nilai potensi sikap toleran, dalam arti meningatkan nilai potensi toleran. Penumbuhan nilai potensi sikap toleran sebenarnya dapat terjadi bila setiap individu terbiasa dalam kultur yang memiliki nilai jarak psiko-sosial antar individu yang terkendali secara stasioner.*