PSI, Gajah Baru di Medan Politik Kurukshetra

Gravatar Image

Oleh: Ageng Sutrisno

Dalam dunia branding politik, logo bukan sekadar gambar—ia adalah pusaka. Dan saat PSI mengganti bunga mawar menjadi gajah berkepala merah, mereka seolah meletakkan tombak baru di gelanggang Bharatayudha.

Gajah bukan sekadar binatang besar. Dalam kavya India, gajah adalah lambang:

  • kekuatan sabar,
  • keteguhan hati,
  • dan kendaraan para raja.

Namun kita tahu, dalam kisah Mahabharata, gajah juga hadir dalam ironi paling menyayat: Ashwathama, si gajah yang dibunuh, untuk menipu Drona. Maka gajah pun jadi simbol kehilangan kejujuran di medan penuh siasat.

PSI dan Branding Gajah

Dari sisi branding, memilih gajah menandai pergeseran besar:

  • Dari “idealisme muda” (mawar) menuju “kebijaksanaan kuasa” (gajah).
  • Dari kelembutan menuju ketegasan.
  • Dari “gerakan sosial” menjadi “kekuatan politik”.

Ini bukan sekadar pergeseran simbol. Ini adalah deklarasi:

PSI bukan lagi bunga di tangan demonstran. Ia kini gajah di medan kekuasaan.

Namun seperti dalam Mahabharata, setiap gajah yang turun ke gelanggang butuh pawang. Tanpa pawang, kekuatan menjadi kebrutalan. Maka pertanyaannya: siapa pawang gajah dalam PSI? Kaesang? Jokowi di belakang layar? Atau waktu?

Gajah di Tengah Bharatayudha

Mari kita bayangkan ulang gelanggang politik hari ini sebagai Kurukshetra.

  • Banteng (PDI-P) adalah Bhima: kuat, meledak-ledak, tapi juga sentimental terhadap warisan Pandawa.
  • Garuda (Gerindra) adalah Arjuna: cerdas, strategis, didukung langit kekuasaan.
  • Gajah (PSI)? Ia bisa menjadi Abimanyu : muda, berani masuk ke medan cakrabyuha, tapi belum tentu bisa keluar.

Dalam cerita, Abimanyu tewas karena dikepung. Tapi ia juga dikenang sebagai lambang keberanian muda yang menerobos sistem lama. Maka jika PSI ingin jadi Abimanyu, ia harus siap:

  • Masuk ke pusaran kekuasaan,
  • Dikepung oleh sistem tua yang berlapis-lapis,
  • Namun tetap menyala sebagai simbol idealisme yang bersenjata.

Strategi Marketing: Antara Nostalgia dan Novelty

Secara pemasaran, PSI sedang bermain dua kartu:

  1. Nostalgia historis: dengan warna merah-hitam, PSI menyapa massa marhaen yang selama ini digenggam PDI-P.
  2. Novelty visual: logo gajah memberi kesan baru, kontras, dan lebih “berisi” dibanding bunga mawar yang terkesan lembut dan liris.

Namun risiko branding ini juga besar:

  • Jika terlalu mirip banteng, mereka akan dituduh hanya meniru.
  • Jika terlalu gagah, mereka bisa kehilangan identitas “anak muda” yang selama ini mereka jual.

Gajah yang Tak Ingin Hanya Dikenang

Dalam Mahabharata, gajah adalah kendaraan Baladewa. Tapi bukan Baladewa yang menentukan arah perang. Ia hanya mengamati dari jauh.

Jika PSI tak ingin sekadar jadi kendaraan simbolik atau alat gempuran anak kekuasaan, maka mereka harus menjawab satu hal penting:

Apakah kekuatan gajah akan mereka arahkan untuk menerobos benteng lama?
Atau justru hanya menjadi ornamen baru di medan lama yang sudah penuh darah tipu daya?

Dan seperti Abimanyu, mereka bisa gugur.
Tapi jika cerita mereka kuat, mereka tak akan pernah benar-benar mati.
Karena di dunia politik, branding sejati adalah narasi yang bertahan di ingatan publik, bahkan setelah tubuhnya hilang dari parlemen. []

 

Related posts