Profesor Bahtiar Soroti Nihilnya Intoleransi di Bidang Ekonomi Nasional

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri, Prof. Dr. Bahtiar Effendy (dok.JT)

JABARTODAY.COM – Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri, Prof. Dr. Bahtiar Effendy menegaskan urgensi membangun sikap toleransi dalam bidang ekonomi dan sosial yang kini dinilainya sedang berada dititik nadir. Toleransi yang selama ini dipropagandakan hanya sebatas toleransi dibidang keagamaan yang sesungguhnya relatif tidak ada masalah yang serius.

“Yang perlu kita kembangkan dan kita propagandakan sekarang ini adalah toleransi di bidang ekonomi, yang kaya tidak boleh terus menerus bersikap rakus, mereka harus toleran bahwa masyarakat lainnya juga butuh akses terhadap ekonomi. Masa ekonomi nasional hanya berada di segelintir orang-orang itu. Kita sebagai bangsa juga berhak atas kesempatan untuk memiliki akses yang luas terhadap ekonomi,” jelas Profesor Bahtiar di Jakarta, Rabu (22/11).

Bahtiar mengingatkan para elite agar isu intoleransi ekonomi ini menjadi topik yang harus disuarakan secara lebih keras lagi mengingat jurang pemisah antara si kaya dan si miskin sudah terlalu lebar. Jangan sampai masalah intoleransi ekonomi ini terpendam dibawah karpet yang kemudian melahirkan suatu yang tidak kita harapkan.

Masalah kesenjangan ekonomi dalam masyarakat dapat berpotensi melahirkan instabilitas jika elite penguasa tidak peka bahwa hal itu merupakan masalah yang serius. “Oleh karena itu elite harus sadar bahwa ini bukan masalah yang remeh temeh, karena pada saatnya akan muncul sebagai api yang membakar bangunan demokrasi yang sedang kita bangun,” jelas doktor lulusan Ohio State University itu mengingatkan.

Demokrasi dalam beberapa negara Islam, lanjut Bahtiar, tidak langsung bisa diserap secara baik dalam masyarakat. Hal ini karena demokrasi yang dikembangkan oleh negara-negara barat memiliki akar budaya yang berbeda dengan yang berkembang dalam negara Islam. Oleh karena itu, unsur-unsur demokrasi tersebut harus terlebih dahulu mengalami proses adaptasi kultural yang membutuhkan waktu yang relatif panjang.

“Warna kultural dalam masing-masing negara Islam akan tetap memiliki pengaruh yang lebih dominan ketimbang semangat demokrasi yang cenderung sekuler sekaligus liberal,” jelas Profesor Bahtiar.

Dalam banyak negara Islam pula, lanjut Bahtiar, demokrasi dinilai tidak bisa sejalan dengan semangat dan nilai-nilai Islam. Kasus di Indonesia sebagaimana yang ditunjukkan oleh gerakan 212, hal itu sesungguhnya cermin bahwa Islam ‘tidak boleh ditinggalkan begitu saja’ oleh kekuasaan atas nama demokrasi.

“Dahulu kaum modernis Islam berkeyakinan bahwa ada kompatibilitas antara Islam dan demokrasi, itu saya tidak menolak, namun sekarang saya mulai meragukan. Artinya, pandangan kompatibilitas islam dan demokrasi itu harus dikoreksi,” ajak Bahtiar. (jos)

 

Related posts