Politik Hantu

Oleh M. Rizal Fadillah

Ketua Maung Institute, Bandung.

Ceritera hantu sering diangkat untuk menakut-nakuti, biasanya anak anak. Orang tua juga kadang suka dengan tayangan hantu, menaku-nakuti dirinya sendiri.

Dalam politik untuk mempertahankan atau merebut atau pun untuk memperluas kekuasaan, sering membuat hantu hantu pula. Tujuannya untuk menaku-nakuti publik agar ia akhirnya berlindung atau bergantung pada penguasa pembuat ‘horor’ tersebut.

Dalam skala global, munculnya ‘teroris’ Al Qaida pimpinan Osama bin Laden yang tak lain adalah hantu buatan Amerika untuk menakuti dunia. Demikian juga dengan ‘ISIS’. Lalu dunia ikut koor bersama dalam nyanyian keseraman dan ketakutan itu. Dirigen nya Amerika. Semua berkoalisi.

Di negeri kita juga politik hantu ikut menghantui. Dulu waktu PKI mencoba kudeta dibuat hantu ‘dewan jenderal’. Di masa Orde Baru ada ‘komando jihad’ dan ‘kelompok ekstrim’ lalu rezim kemudian memunculkan hantu ‘intoleransi’ dan ‘radikal’. Soal hantu ‘teroris’ lebih universal, walau itu efektif juga untuk isu nasional . Proyeknya menarik dan bisa berkelanjutan.

Undang-undang dibuat untuk kebaikan dan ketertiban, kita semua setuju. Tapi Jika UUseperti itu dijadikan hantu, kita tidak setuju. UU yang esensinya anti terorisme, anti radikalisme, anti diskriminasi, atau anti ujaran kebencian itu baik, tapi jika tak jelas batasan, multi tafsir, atau digunakan untuk membungkam sikap kritis masyarakat maka UU itu telah berubah menjadi hantu.

Peristiwa pembakaran bendera tauhid menyadarkan kita, politik hantu sedang dimainkan rezim. Ketika yang disalahkan adalah pembawa bendera, lalu berdalih bahwa di beberapa tempat juga ada ‘penyusupan’ pengibaran, timbul pertanyaan siapa, apa maksud, serta efek apa yang ingin dikehendaki. Dan ketika ada bendera (dan atribut lain) yang dibakar, maka hantu itu telah dimunculkan yaitu HTI.

Umat Islam terluka bendera tauhid dibakar, bendera Rosulullah Al Liwa dan Ar Rayah dinistakan. Berbagai penjuru negeri umat bereaksi. Sementara penanganan disederhanakan. Ancaman perbuatan hanya tiga minggu penjara. Mestinya pasal penodaan agama yang dikenakan. Cuma ya itu alasannya bendera yang dibakar adalah bendera HTI. Organisasi terlarang. Ini disosialisasikan dan didoktrinkan. HTI bahkan disuarakan sebagai ‘berbahaya’ sehingga setiap gerak pengkritisan umat terhadap rezim sangat mungkin di HTI kan.

Tak peduli bahwa tak ada vonis HTI sebagai organisasi terlarang, bendera semestinya bertuliskan ‘Hizbut Tahrir Indonesia’, tidak ada bendera HTI yang terdaftar, banyak pihak tegaskan bendera yang dibakar adalah bendera kalimat tauhid. Namun tetap saja hantu harus dibuat. HTI yang katanya anti ideologi bisa dijadikan alat politik hantu baru.

Hanya sayang umat Islam yang berakidah kuat tak takut hantu. Jika itu adalah jin, maka sama saja dengan manusia makhluk Allah yang diperintahkan beribadah. Apalagi jika hantu itu dedemit sejenis pocong, kuntilanak, suster ngesot, buto ijo, atau lainnya yang harus disesajeni, maka musyrik hukum meyakininya.

Karenanya, jika HTI dijadikan bagian politik hantu untuk menakut-nakuti umat Islam, maka itu salah besar. Umat faham secara obyektif siapa HTI. Berbeda pandangan bisa saja. Tak setuju dengan cara perjuangannya boleh boleh, tapi menjadikan HTI seperti PKI yang mesti ditakuti adalah berlebihan.

Janganlah umat Islam Indonesia dianggap seperti anak kecil yang menjadi gemetar karena tayangan film hantu. Malah sebaliknya bisa saja akhirnya sutradara dianggap sedang membuat film lucu-lucuan yang tidak membuat tertawa, hanya nyengir saja ‘mengasihani’ sambil berujar….dasar sontoloyo…!

Bandung, 31 Oktober 2019

Related posts