Plagiarisme di UPI: Ketiadaan Entitas Jatidiri Insan Akademik

Oleh Jaja Jamaludin
Penulis adalah alumni Pendidikan Fisika UPI Bandung tahun 1998 dan Praktisi Pendidikan di Jakarta

Jika menelaah dalam perspektif definisi tekstual tentang plagiarism sebagaimana yang dikemukakan situs wikipedia.org yakni. “ Plagiarisme atau sering disebut plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri”, maka pelaku plagiarism sesungguhnya sedang menampilkan ketiadaan/kekosongan entitas jati dirinya. Jika plagiarism dilakukan oleh civitas akademika perguruan tinggi, maka tindakannya itu akan lebih memiliki derajat kebiadaban akademik yang lebih bobrok daripada tindakan plagiat oleh bukan civitas akademika. Akan jauh lebih berderajat supra-bobrok atau supra-biadab apabila tindakan plagiarism dilakukan oleh sekelas doctor atau bahkan kandidat guru besar.

Maka logikanya, bila tindakan plagiarism dilakukan oleh seseorang penyandang gelar Doktor bahkan kandidat guru besar, tentu kita menjadi sangat tepat bila seorang doctor yang plagiator sejatinya mendapat hukuman dan sanksi yang amat sangat berat. Dalam perspektif inilah barangkali kita dapat memahami kegeraman dan kegalauan seorang Teten Masduki, sebagaimana dimuat dalam Jabartoday edisi Sabtu 3 Maret 2012. Sebagaimana ditulis jabartoday (3/3/2012) Ketua Dewan Penasehat (Wanhat) Ikatan Alumni UPI yang juga Sekretaris Jenderal Transparency Internasional Indonesia itu , menilai hasil keputusan sidang pleno Senat Akademika Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang hanya menjatuhkan sanksi administratif saja sebagai keputusan yang tidak wajar dan menciderai nurani akademik.Teten Masduki menjelaskan keputusan itu menunjukkan bahwa rektor UPI dan anggota senat akademik UPI tidak punya visi besar untuk menyelamatkan dunia pendidikan di Indonesia yang rusak parah.

Melebihi dari kegeraman dan kegalauan seorang Teten, penulis bahkan berpandangan bahwa oleh karena subjek plagiator sebagai penyandang gelar doctor yang eksistensinya hadir dalam komunitas pendidikan nasional, sesungguhnya plagiator oleh seorang doctor telah menghancurkan secara sempurna reputasi dan marwah insan akademik khususnya marwah dunia pendidikan. Secara lebih khusus bahkan lembaga /institusi (baca : UPI Bandung) tempat plagiator bekerja, harus jatuh kejurang kenistaan akademik yang terdalam dan terhina. Tentu saja, hal ini harus dibayar dengan ongkos yang sangat tinggi dan mahal. Bahkan tidak mungkin ditebus atau dilunasi dengan hanya minta maaf dan menjatuhkan sanksi administrative belaka. Jadi, apabila keputusan senat keputusan sidang pleno Senat Akademika Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang hanya menjatuhkan sanksi administrative, tentu bukan saja tidak wajar tapi juga (secara tidak sadar) rektorat UPI telah sama-sama sedang menjatuhkan lembaga perguruan tinggi UPI kedalam jurang kenistaan akademik yang menjadi satu-satunya entitas jatidiri insan akademik. Bukankah sejatinya civitas akademika perguruan tinggi menjunjung tinggi orisinalitas pemikiran, gagasan serta karya ilmiah adalah keniscayaan sebagai insan akademik.

Plagiat adalah Pidana

Dalam Wikipedia.org disebutkan bahwa Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain. Di dunia pendidikan, pelaku plagiarisme dapat mendapat hukuman berat seperti dikeluarkan dari sekolah/universitas. Pelaku plagiat disebut sebagai plagiator”. Lebih lanjut, dalam hukumonline.com disebutkan bahwa UU tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang menggantikan UU No.2/1989 telah mengatur tentang tindakan plagiraimse. Disebutkan bahwa lulusan yang karya ilmiahnya hasil jiplakan tidak hanya diancam dengan pidana 2 tahun penjara dan/atau denda Rp 200 juta, tetapi juga gelar akademisnya akan dicabut.

Dalam Pasal 32 ayat (2) UU Sisdiknas diatur bahwa peserta didik dilarang menjiplak, baik secara utuh maupun sebagian dari skripsi/tesis/disertasi orang lain. Kemudian, ketentuan tersebut dilanjutkan dengan Pasal 32 ayat (3) yang menyatakan lulusan yang skripsi/tesis/disertasinya merupakan jiplakan dicabut haknya sebagai pemegang gelar akademik.

Sementara, Pasal 73 UU Sisdiknas mengatur bahwa lulusan yang skripsi/tesis/disertasinya merupakan jiplakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200 juta.

Arkin, Ketum HMJ APK Fak. Adab IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, dalam acehtribunnews.com edisi 18 Februari 2012, menyebutkan bahwa salah satu contoh kasus plagiarism, yaitu contoh plagiat yang terjadi Universitas Khatolik Parahyangan (Unpar) Bandung yang menyampaikan permintaan maaf atas tindakan plagiarisme yang telah dilakukan salah satu dosennya, Profesor Anak Agung Banyu Perwita. Unpar akhirnya memberhentikan Anak Agung Banyu Perwita sebagai dosen di sana. Keputusan ini diambil setelah pengurus Yayasan Unpar menggelar rapat.

Sekali lagi, jika terhadap pelaku plagiarism di UPI Bandung, pimpinan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI Bandung) tidak memberlakukan sanksi sebagai ketentuan normative di atas, sebagaimana dilakukan Unpar Bandung di atas, maka penghancuran marwah dan wibawa pendidikan sesungguhnya tidak dilakukan oleh orang lain, melainkan oleh insan pendidikan /civitas akademika sendiri. Secara khusus, berarti Pimpinan UPI Bandung telah menyempurnakan antiklimaksnya membiarkan marwah UPI sebagai kawah chandradimuka pendidikan di Indonesia ke dalam jurang terhina dalam sejarah peradaban akademika UPI. Bukankah sejatinya Pimpinan UPI wajib mengejawantahkan amanah untuk menjunjung tinggi dan memajukan UPI Bandung?

Related posts