Pilkada Langsung & Pengembangan Demokrasi di Daerah

 Abdullah Syafi’i, S.Si.,ME, Dosen Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta dan Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Cirebon

Bab VI Pasal 18 UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah adalah dasar konstitusi bagi pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). UU tersebut kemudian dijabarkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan bahwa Pilkada harus dilaksanakan secara transparan dan demokratis serta wajib mengikutsertakan calon perseorangan. Calon perseorangan diakomodasikan dalam perubahan kedua atas UU No.32 tahun 2004, yaitu pada UU No.12 Tahun 2008.

Pengaturan mengenai Pemilukada, sempat kembali pada mekanisme pemilihan melalui DPRD, setelah DPR mengesahkan UU Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD. Setelah mengalami kontroversi yang luas di masyarakat, Presiden SBY mengubah ketentuan dalam UU itu dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang kemudian kemudian disahkan DPR menjadi UU No.1 Tahun 2015, yang kemudian diubah dengan 8 Tahun 2015 dan kembali diubah kedua kalinya dengan UU No.10 Tahun 2016.

UU 1 Tahun 2015 menegaskan kembali bahwa Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Propinsi dan/atau Kabupaten/kota.Dengan demikian dapat dikatakan tujuan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat adalah untuk mengembangan demokrasi dan pertisipasi publik di daerah. Melalui pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat, diharapkan demokrasi ditingkat lokal dapat berkembang. Pengembangan demokrasi di tingkat lokal, diharapkan akan memacu peran serta dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan yang pada akhirnya akan mempercepat tercapainya kemakmuran masyarakat.

Suatu sistem demokrasi akan terwujud dengan baik, jika didukung oleh tiga unsur dalam sebuat negara, yaitu adanya kemauan pilitik (political will) dari pemerintah atau negara (state), adanya komitmen yang kuat dari masyarakat politik (political society), dan adanya masyarakat madani (civil society) yang kuat dan mandiri

 

Demokrasi di Daerah

Pilkada langsung merupakan kulminasi dari kekecewaan masyarakat terhadap kecenderungan elit politik di DPRD yang disinyalir melakukan pembajakan aspirasi masyarakat. Fungsi check and balances yang semestinya diperankan oleh lembaga legislatif sering difungsikan hanya sebagai stempel bagi pihak eksekutif. Pengalaman selama era orde baru ini memacu aspirasi masyarakat untuk menentukan aspirasinya secara langsung dalam proses pemilihan kepala daerahnya.

Pilkada langsung juga merupakan upaya untuk memperbaiki kualitas demokrasi,berupa perwujudan hak-hak mendasar masyarakat,tercapainya keseteraan politik,tumbuhnya moral otonomi, kebebasan untuk menentukan pilihan politik dan terpenuhinya aspirasi kesejahteraan masyarakat.

Pilkada langsung di daerah juga akan memunculkan strategi perencanaan pembangunan daerah yang berbasiskan pada realita dan aspirasi masyarakat. Mekanisme penyusunan strategi pembangunan secara bottom up akan dapat lebih mudah direalisasikan.

Pelaksanaan pilkada langsung di daerah juga akan menjadi fondasi bagi kukuhnya demokrasi ditingkat nasional. Keterlibatan masyarakat secara langsung dalam proses demokrasi di daerah akan menjadi sarana untuk melakukan kontrol bagi kebijakan-kebijakan yang telah dan akan dijalankan oleh pemegang kekuasaan. Pilkada daerah juga sebagai cara efektif untuk mengurangi pembajakan oleh elit politik.

Akan tetapi beberapa permasalahan dalam pelaksanaan pilkada di daerah, memicu berbagai antipati terhadap pelaksanaan pilkada langsung. Konflik dan kedewasaan politik di masyarakat yang masih rendah memicu berbagai anomali demokrasi seperti politik uang, tidak siap kalah, dan berbagai manipulasi pelaksanaan pilkada langsung.

Untuk mencapai kematangan demokrasi, Jan-Erik lane dan Svante Errson (2003: 82), menyatakan ada tiga kondisi atau factor yang dapat memunculkan demokrasi. Pertama adalah kondisi struktural yang mencakup ekonomi dan social.Sebagaimana realita di dunia, demokrasi tumbuh dengan baik pada Negara/daerah yang memiliki tingkat kesejahteraan ekonomi yang baik.

Kedua, kondisi cultural seperti etnis dan agama. Etnis yang homogen akan dengan mudah memicu tumbuhnya kematangan demokrasi, dibandingkan dengan etnis yang terfragmentasi. Sementara itu dari sisi agama yang mengandalkan ketokohan yang sentral akan lebih sulit mengembangkan demokrasi dibandingkan dengan adanya kesetaraan.

Ketiga, kondisi kelembagaan, seperti aturan main (rule the game) didalam sosial, ekonomi dan politik. Kelembagaan yang baik akan menumbuhkan karakter masyarakat yang menghargai aturan main dan melakukan proses penyelesaian permasalahan dan sengketa dengan mengandalkan pada kelembagaan yang berwibawa.

Dengan mengacu pada ketiga faktor tersebut, masyarakat Jawa Barat nampaknya memiliki banyak faktor pendukung bagi terciptanya kematangan demokrasi di tingkal lokal. Kondisi ekonomi dan social masyarakat Jawa Barat yang relatif lebih terbuka, homogenitas etnis dan kelembagaan yang tertata dengan baik .

Akan tetapi berbagai faktor penghambat juga harus dilakukan antisipasinya dalam pelaksanaan pilkada di Cirebon, seperti ketimpangan ekonomi di beberapa daerah, dan faktor sentral tokoh masyarakat yang dapat menjadi faktor pendorong maupun penghambat bagi kematangan demokrasi. Untuk mencapai kematangan demokrasi, maka peningkatan kemampuan kelembagaan demokrasi, seperti partai politik, KPUD, Pengawas pemilu dan lembaga pendukung lainnya seperti lembaga penegak hukum mutlak harus dilakukan.

 

Kesejahteraan Masyarakat

            Kematangan demokrasi pada akhirnya diharapkan akan memacu pada peningkatan peran serta masyarakat dalam setiap proses pembangunan. Perekrutan pemimpin yang dikenal dan didukung oleh masyarakat akan menumbuhkan kepercayaan (trust) masyarakat terhadap pemimpinya dan pada akhirnya akan menumbuhkan dukungan masyarakat dalam proses pembangunan.

Demokrasi yang matang seharusnya juga berimplikasi pada demokrasi ekonomi dengan terciptanya kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi dan jaminan hidup yang layak bagi semua warga Negara. Pemberian kesempatan yang sama (equal opportunities) pada alokasi dan distribusi sumber-sumber ekonomi.

Alokasi dan distribusi ekonomi akan menumbuhkan prinsip keadilan ekonomi yang berdasarkan pada kemampuan individu. Perlindungan pada golongan yang tertindas secara ekonomi dan penyusunan prioritas pembangunan pada kalangan yang terbelakang secara ekonomi sehingga lebih baik.

Fungsi Negara/daerah yang terpenting adalah mengalokasikan bagi masyarakat barang-barang public (public good and services) sehingga masyarakat dapat memanfaatkannya secara maksimal.

Pelaksanaan pilkada langsung semestinya bisa mengarah pada pembentukan konstruksi demokrasi seperti itu, demokrasi politik dan ekonomi. Dalam konteks relasi agent-principal, maka masyarakat adalah principal yang memiliki otoritas yang tinggi terhadap kepala daerah sebagai agent, sehingga aspirasi-aspirasinya harus diperhatikan.

Pada sisi ini, maka sangat penting diperhatikan oleh KPU dan Parpol sebagai pelaksana dan peserta pilkada langsung adalah masalah tingkat partisipasi masyarakat. Pada saat ini menurut data dari Depdagri, tingkat partisipasi masyarakat rata-rata sebesar 73% dengan angka terendah 49,64% dan tertinggi 99.79%. Tingkat partisipasi pemilih yang rendah akan memunculkan beberapa pertanyaan,seperti tingkat legitimasi dan pertanggung jawaban (accountability) pemimpin hasil pilkada kepada konstituten dan publik yang dipimpinnya.

Untuk mencapai tujuan ideal pelaksanaan pilkada sebagai sarana pengembangan demokrasi (politik dan ekonomi), maka proses penyempurnaan pelaksanaan, akurasi pendataan pemilih, sosialisasi dan pendidikan politik yang efektif serta penegakan aturan mutlak diperlukan, sehingga diharapkan pilkada langsung bukan sekedar sebagai “democracy procedural”  akan tetapi mampu menghasilkan pemimpin yang memperoleh legitimasi dari masyarakat untuk mewujudkan tujuan pelaksanaan pilkada sebagai diamanatkan yaitu sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.

Pada sisi lain, penting sekali membangun kesadaran di masyarakat, untuk memilih pemimpin yang memiliki rekam jejak (track record) yang baik, tidak khianat terhadap janji politiknya, serta memiliki visi dan komitmen mensejahterakan masyarakatnya, sehingga diharapkan akan terpilih pemimpin yang berkomitmen dan nyata mensejahterakan rakyat.

Masyarakat seringkali dikecewakan, setelah ajang Pemilukada selesai dan terpilih pemimpin bagi mereka, janji-janji politik selama kampanye, hanya buaian dan catatan kertas semata, sementara elit pemimpin mereka, tetap berkelakuan seperti semula, korup dan abai dengan janji-janji politiknya mensejahterakan masyarakat.

Kesenjangan antara harapan dan kenyataan ini, seringkali menjadi “nyinyiran” ditengah masyarakat dan apatisme, untuk itu kesadaran Partai Politik, untuk melahirkan calon pemimpin yang sesuai dengan harapan masyarakat sangat penting, dan disisi lain juga, masyarakat sebagai pemilih dan pemegang kedaulan rakyat, harus teliti dalam memilih pemimpinya, sehingga biaya Pilkada Jabar yang dianggarkan dengan biaya besar Rp.1,6 Triliun itu dapat menghasilkan out put yang significant, berupa terpilihnya pemimpin Jawa Barat yang dapat mensejahterakan 46,7 juta rakyatnya.

 

Epilog

            Pilkada langsung Kepala Daerah harus memberikan manfaat bagi pengembangan demokrasi di daerah, baik demokrasi politik berupa tatatanan kebijakan yang demokratis, juga dalam demokrasi di bidang ekonomi, berupa proses ekonomi yang memberikan manfaat langsung berupa keadila ekonomi dan kesejahteraan bagi sebagian besar masyarakat.

Jika pilkada langsung tidak bisa memberikan manfaat, maka kontroversi mengenai Pilkada langsung ini, akan terus terjadi dan akan ada upaya – upaya untuk mengembalikan pemilihan di DPRD, dengan alasan efisiensi, mencegah konflik horizontal dan politik uang di masyarakat. []

 

Related posts