Pikiran Gila

M. Rizal Fadillah, Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Barat, juga Ketua Masyarakat Unggul (Maung) Institute Bandung

Oleh M. Rizal Fadillah

Di medsos muncul ucapan tokoh partai kubu Jokowi yang menyatakan kelompok yang ingin ubah Pancasila ada di kubu Prabowo. Tuduhan tanpa bukti. Apabila ucapan ini benar dan begitu adanya, maka kita tentu geleng geleng kepala atau tepuk jidat. Ini sehatkah? Orang terdidik dan politisi tidak terbayang bisa berfikir begitu. Pilpres ini kompetisi konstitusional bung. Tak perlu ditafsirkan senegatif itu. Apa sebenarnya yang terjadi di negeri yang telah dipimpin oleh Presiden yang tidak profesional mengelola barisannya. Menjadi berantakan fikirannya.

Bahwa HTI dicabut status badan hukumnya itu satu persoalan, akan tetapi menjadikan isu HTI untuk mendiskreditkan kubu Prabowo adalah persoalan lain. Berdasarkan prinsipnya, HTI belum tentu ikut dalam proses Pemilu. Namun isu ini dimanfaatkan. Beberapa waktu yang lalu tuduhan menakut-nakuti diarahkan pada Prabowo dengan sebutan “Genderuwo”, sekarang ternyata yang menjadi Genderuwo itu adanya di kubu Jokowi sendiri.

Sebelumnya ada pernyataan bahwa pertarungan Pilpres ini adalah antara kelompok moderat lawan radikal. Prabowo menang adalah kemenangan kaum radikal. Begitu “Genderuwo” menuduh macem-macem. Ini adalah pikiran gila.

Pikiran gila memiliki ciri : Pertama, halusinasi. Semua seperti mengancam dirinya. Semua seperti musuh yang siap menerkam. Lawan menang Pancasila terancam. Terorisme marak. Fikiran sehat akan merancang antisipasi. Bukankah kita punya perangkat hukum dan aparat keamanan. Kedua, disorientasi kapan tertawa dan menangis tak jelas lagi. Situasi biasa dianggap luar biasa atau sebaliknya. Pilpres lima tahunan ini biasa saja. Menang dan kalah pun biasa. Jika seperti hidup mati sampai harus dengan “perang total” maka itu artinya disorientasi. Ketiga, depresi yakni tertekan oleh beban berat. Tekanan harus menang membuat depresi. Jika kalah takut hilang jabatan, hilang kesempatan untuk menjadi menteri atau komisaris ini itu, terhambat proyek, atau partai tak bisa korupsi lagi. Komisi dan upeti-upeti pun menjadi tertutup.

Jika kompetisi politik didasari oleh fikiran dangkal maka tidak akan fair dan mashlahat lagi. Seperti orang gila tubruk sana tubruk sini. Tidak penting kerapian, masa bodoh dengan ketertiban. Pakaian compang camping atau badan bau juga tak akan dipedulikan. Namanya juga fikiran bengkok. Tak ada norma, semua cara menjadi halal. Yang penting menurut ideologi fikirannya itu benar. Jika pimpinan negara melangkah dengan fikiran gila, maka rakyat lah yang akan jadi korban. Bangsa ini memerlukan arahan kehidupan politik ke depan yang kuat dan sehat.

Seorang filsuf pernah diteriaki gila karena siang hari membawa lentera untuk menerangi wajah orang yang ditemuinya. Ketika ditanya apa yang dicari, maka jawabannya “saya mencari manusia”. Ternyata yang gila adalah orang orang di lingkungannya. Justru banyak manusia yang telah kehilangan kemanusiaannya. Berperilaku seperti hewan. Mereka menjadi srigala yang saling memakan.

Kini kita melihat terlalu banyak politisi yang telah kehilangan kenegarawanannya. Kekuasaan yang dicari hanya untuk semata kekuasaan. Atau kekuasaan itu untuk mencari kekayaan. Berlomba bukan untuk prestasi menyejahterakan orang banyak, tetapi berlomba untuk memperkaya diri, kelompok, dan partainya. Baginya politik itu “nicht anderes als kamf um die macht“. Perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan. Setelah itu lanjut dengan langkah-langkah kegilaan.

Bandung, 12 Maret 2019

Related posts