Pidana Korupsi Dadang Suganda Harus Dibuktikan Dulu Sebelum TPPU, Begini Kata Ahli

JABARTODAY.COM – BANDUNG Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung kembali menggelar sidang lanjutan perkara korupsi ruang terbuka hijau (RTH) Kota Bandung dengan terdakwa Dadang Suganda, Selasa (22/4/2021).

Sidang kali ini menghadirkan saksi ahli hukum perdata dan hukum pidana terkait dengan dakwaan untuk Dadang Suganda, yakni pidana korupsi dan pencucian uang.

Dua ahli dipanggil oleh kuasa hukum terdakwa untuk bersaksi. Mereka ialah H. Atja Sondjaja, SH, MH, Mantan Hakim Agung Ahli Perdata dan Chairul Huda, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, ahli pidana.

Dalam keterangannya, Atja Sondjaja menjelaskan Dadang Suganda kemungkinan tidak bisa dijerat dengan pasal pidana korupsi dan TPPU seperti yang sudah didakwakan oleh penuntut umum KPK selama ini.

Atja mengatakan, landasan jeratan yang digunakan oleh PU KPK menggunakan UU Tipikor dan TPPU, tidak memenuhi kontruksi sifat hukum jual beli tanah, sebab, konsep dasar transaksi jual beli tanah adalah terang dan tunai.

Berita Terkait

“Transaksi jual beli tanah tidak dapat dibatalkan, sudah sah bilamana ada penyerahan,” tandasnya.

Mendapat penjelasan ini, PU KPK yang mendapat giliran bertanya mencoba mengorek keterangan dari ahli.

“Seseorang sebut saja A,  menyuruh B untuk menjual tanahnya dengan meberi kuasa jual. Tapi A sendiri tidak pernah hadir. B atas perintah A untuk menjual tanahnya ke X. Dan A serta X diduga ada hubungan kedekatan atau memjual sesuai permintaan, menurut Ahli itu seperti spa?,” tanya PU KPK.

Atja menjelaskan, bila memang A pernah menerima persetujuan jual beli dan pembayaran terbukti pernah sampai, maka A tidak dapat dijerat pidana. Dia berujar, dapat menjadi kesesatan fakta jika dakwaan yang diterapkan tanpa adanya bukti dan tetap dipaksakan untuk menjerat seseorang.

“Siapa pun yang terlibat dalam transaksi jual beli tanah tidak bisa dijerat hukum. Transaksinya sah. Yang mendakwa dia lah yang harus membuktikan. Dan jika tidak bisa dibuktikan, maka terdakwa harus dibebaskan,” papar Atja.

 “Termasuk jika ada aliran uang TPPU yang ditudingkan tidak pernah terbukti, apakah tetap bisa dibebaskan?” tanya PU KPK.

 “Ya, iya, jika tidak terbukti artinya harus dibebaskan,” kata Atja.

Sementara itu, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Chaerul Huda mengingatkan, penerapan dakwaan terkait TPPU harus hati-hati. Hal itu khususnya terkait pembuktian dulu pidana korupsi yang dituduhkan pada terdakwa Dadang Suganda.

“Jangan sampai penerapan TPPU ini merugikan terdakwa, karena tidak terkait dengan perkara pejabat negara yang sudah divonis,” kata Chaerul Huda.

Dosen Hukum Pidana ini mengatakan, ketidakhati-hatian dalam dakwaan yang berkaitan dengan TPPU berpotensi menimbulkan double punishment oleh negara dalam satu perkara korupsi.

Dalam perkara TPPU, penyidik memberlakukan Pasal 18 UU Tipikor sebagai persiapan uang pengganti. Hal ini tercermin dari jumlah kerugian negara yang dituduhkan dalam kasus RTH di LHP BPK sebesar Rp 19 miliar, ternyata dwlam dakwaan melebihi kerugian negara berdasarkan sebesar Rp 87 miliar

Chaerul mengatakan, penanganan tidak hanya menyangkut upaya pemberantasan korupsinya. Namun, ia mengatakan, perlindungan hukum bagi pihak terdakwa yang ikut terkena dampak.

Chairul Huda mengakui, ada pemahaman atau cara pandang yang salah dari aparat penegak hukum dalam penanganan perkara TPPU Dadang Suganda.

Dalam kasus tersebut, kata dia, PU KPK menyatukan dua pokok perkara yang berbeda. Chairul mengatakan, penyidik tidak melakukan pembuktian perkara korupsinya, tetapi langsung menyatukan dengan perkara TPPU, tanpa memverifikasi apakah kekayaan terdakwa tersebut benar-benar terkait dengan hasil korupsi atau pencucian uang.

“Kuncinya adalah memperkaya diri sendiri, bukan perbuatan melawan hukum,” pungkasnya. (*)

Related posts