JABARTODAY.COM – BANDUNG — Ternyata, kondisi perekonomian saat ini, khususnya, Jabar, sepertinya, masih belum menunjukkan tren positif. Salah satu indikatornya, dalam dua tahun terakhir saja, yaitu 2016-2017, ribuan pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Data yang kami miliki, pada 2016-2017, memang ribuan pekerja, terkena PHK. Contohnya, di Kota Bekasi, periode 2016-2017, sebanyak 3.784 pekerja asal 12 perusahaan garmen, terkena PHK. Di Kota Bekasi, sebenarnya terdapat 17 perusahaan garmen. Tapi, pada 2015-2016, sebanyak 5 perusahaan di antaranya tutup,” tandas Ketua Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Asosiasi, Pengusaha Indonesia (Apindo) Jabar, Dedy Widjaja, di kawasan Jalan Burangrang Bandung, Selasa (23/5).
Dedy berpendapat, terjadinya PHK itu karena perusahaan-perusahaan itu tidak sanggup untuk memenuhi pembayaran upah. Memang, jelasnya, kalau hanya melihat gaji pokok, upah para pekerja perusahaan garmen tidak melebihi Upah Minimum Kota-Kabupaten (UMK), yaitu Rp 3,1 juta. Sedangkan UMK Kota Bekasi, ucapnya, sebesar Rp 3,6 juta. Namun, katanya, take home pay para pekerja perusahaan garmen melebihi UMK, rata-rata, sekitar Rp 4-5 juta, yang tersiri atas gaji pokok senilak Rp 3,1 juta plus bonus lembur.
Pada industri dan perusahaan garmen, jelas Dedy, hanya berlaku 1 shift. Karenanya, sambung dia, tidak heran, banyaj pekerja yang lembur. Hal itu, lanjutnya, berbeda dengan perusahaan atau industri elektronika atau lajnnya yang non-garmen.
Menurutnya, dalam regulasi berkenaan UMK, pemerintah memberlakukan UMK Pertanian, yang nilainya lebih kecil daripada UMK. Lalu, ujarnya, ada juga Upah Minimum Sektoral (UMS) Kota-Kabupaten. Khusus garmen, Dedy menilai, agar tidak memberatkan beban perusahaan, pihaknya berharap pemerintah menerbitkan kebijakan khusus. Itu, katanya, sebagai payung hukum.
“Seharusnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar menerbitkan kebijakan khusus itu sebagai upaya memberi kesempatan sekaligus menyelamatkan keberlangsungan perusahaan-perusahaan garmen. Jika banyak perusahaan dan industri garmen yang stop produksi, hal itu berpotensi menimbulkan kerawanan sosial,” paparnya.
Dedy berpendapat, jika Pemprov Jabar tidak menerbitkan kebijakan khusus khussu sektor garmen, dapat berimbas negatif. Efek negatif itu, bebernya, mulai terlihat. Sejauh ini, ungkapnya, pihaknya mendapat informasi bahwa sebanyak 97.569 pekerja garmen yang bekerja pada 91 perusahaan, terancam PHK.
Ancaman PHK tertinggi, sebutnya, adalah Kabupaten Bogor, yaitu 51.448 pekerja asal 49 perusahaan. Lalu, imbuh dia, Kabupaten Purwakarta, sejumlah 29.281 pekerja asal 17 perusahaan. Selanjutnya, sahut Dedy, Kota Bekasi sebanyak 6.990 Pekerja asal 6.990 pekerja. Sementara Kota Depok sejumlah 7.150 pekerja asal 8 perusahaan. (win)