Peneliti Senior Lembaga Studi Teritorial
Tidak ada hiruk pikuk dalam Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2013, semuanya berjalan sangat lambat dan cenderung tidak menarik. Dialog langsung dengan rakyat hanya sebentar dan sebagian lagi mengandalkan potret diri di baligho, spanduk, brosur. Tidak ada semua kandidat Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Barat yang benar-benar memberikan sebuah pencerahan, harapan dan terobosan dalam menata Jawa Barat. Visi dan misi masing-masing kandidat Gubernur/Wakil Gubernur hanya untuk konsumsi masing-masing Tim Sukses saja, tidak untuk disebarluaskan kepada masyarakat, tidak untuk diuji di depan panelis perguruan tinggi. Kita lihat saja, beberapa waktu yang lalu KPUD Jawa Barat bekerja sama dengan UNPAD menyenggarakan debat kandidat, ternyata yang hadir dalam debat kandidat tersebut hanya Ahmad Heryawan sebagai Cagub dan Cecep Nana Suryana Toyib Cawagub Independen, sementara kandidat Gubernur lainnya seperti Dede Yusuf, Rieke Diah Pitaloka, Dikdik Mulyana Arief Mansyur, Irianto MS Syafiuddin tidak memberikan konfirmasi kehadiran atau tidak kepada panitia debat kandidat tersebut, pertanyaannya sampai sejauh itukah etika seorang pemimpin yang akan memimpin Jawa Barat, sama sekali tidak memiliki adat kesantunan sebagai seorang sunda.
Terlepas dari itu semua, pemilihan Gubernur Jawa Barat 2013 ini menurut saya termasuk tontonan yang sangat tidak bermutu, tidak ada ruh dan jiwa-jiwa yang bekerja, semuanya kosong tanpa arti apa-apa, tetapi itulah faktanya. Para kandidat hanya sibuk melakukan pencitraan diri, mempromosikan diri, bukan menawarkan pesan-pesan atau setidaknya mendengar keluhan-keluhan rakyat. Tidak sama sekali.
Para kandidat hanya mendatangi sebuah tempat/lokasi setiap harinya sesuai dengan apa yang telah dijadwalkan oleh tim khususnya, dan lagi-lagi tidak ada follow up setelah pertemuan dengan warga itu. Warga biasanya akan memberikan proposal pengajuan anggaran dana untuk kepentingan warga, tetapi biasanya tidak ada satupun yang direalisasikan. Semua kandidat akan menyampaikan nanti setelah saya terpilih jadi Gubernur saya akan bantu anda.
Lembaga Survei Tidak Independen
Baik masyarakat maupun kandidat Gubernur/Wakil Gubernur sangat terkesan dengan fenomena angka-angka yang dikeluarkan lembaga survei yang dikemas dalam nilai popularitas dan elektabilitas. Semua itu hanya sebuah upaya untuk menggiring opini publik seolah-olah kandidat yang memiliki nilai popularitasnya tinggi dan nilai elektabilitasnya tinggi yang akan memenangkan pertarungan ini.
Lembaga survei selalu menggunakan bungkus profesionalisme dalam mencoba menjelaskan fenomena angka-angka tersebut, namun semua angka-angka tersebut ada satu cara dimana lembaga survei tidak bisa disalahkan, yaitu dengan mengangkat prosentase yang belum memilih. Itulah inti dari permainan lembaga survei. Apakah betul angka-angka tersebut merupakan hasil dari survei lapangan, atau hanya sekedar menggiring opini publik. Sampai sejauh mana lembaga survei jujur dengan hasil surveinya, atau mereka bagian dari kepentingan kandidat.
Independensi lembaga survei terkait dengan pilkada patut dipertanyakan, kita sebagai masyarakat awam tidak memiliki akses langsung dengan data dari masing-masing lembaga survei tersebut, karena akan dianggap sebagai data rahasia dan hanya untuk kepentingan kandidat yang membayarnya saja, bahkan kandidat sendiripun tidak pernah diberikan data-data mentahnya, semuanya sudah dikemas menjadi sebuah informasi. Bahkan rekomendasi-rekomendasinya pun kepada kandidat bukan merupakan pendekatan politik atau sebuah tindakan politik apa yang seharusnya dilakukan kandidat, tetapi memberikan saran bagaimana membuat flyer sebanyak-banyaknya kalau bisa ratusan ribu sampai jutaan ekslemplar. Hanya itu.
Peta Persaingan Politik
Dari semua hasil survei dari masing-masing lembaga survei, baik dari survei internal masing-masing tim sukses dan lembaga survei lainnya, kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat yang dinilai memiliki elektabilitas tertinggi adalah pasangan Dede Yusuf-Lex Laksamana, urutan berikutnya Ahmad Heryawan-Dedi Mizwar, Rieke Dia Pitaloka-Teten Masduki, Irianto MS Syafiuddin-Tatang Farhanul Hakim, dan Dikdik Mulyana Arief Mansyur-Cecep Nana Suryana Toyib.
Sebagai pemain politik, tentu para kandidat tidak hanya terjebak pada hasil survei, tetapi lebih kepada melakukan upaya-upaya memberikan dan memperkuat pengaruh kepada calon pemilih. Telah banyak diupayakan oleh masing-masing kandidat untuk melakukan pendekatan kepada calon pemilih, agar menjatuhkan pilihannya pada diri-diri mereka, tetapi yang dilakukan hanyalah sebuah seremonial dan tidak ada sebuah upaya khusus yang dilakukan oleh masing-masing kandidat dan timnya.
Secara umum, meskipun hasil survei telah menjelaskan bahwa Dede Yusuf-Lex Laksamana akan mengungguli kandidat lainnya, dalam kacamata politik itu semua bisa berubah dalam hitungan detik. Semua kandidat memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan Pilgub ini, tergantung dari cara kita memandang, terutama latar belakang, motif, dan basis massa masing-masing kandidat.
Dikdik Mulyana Arief Mansyur-Cecep Nana Suryana Toyib
Dikdik seorang dengan pangkat terakhir Irjen Polisi (jenderal bintang dua), serta merta mengajukan diri dalam pencalonan Gubernur Jawa Barat dari jalur independen, dengan wakilnya Cecep Nana Suryana Toyib, seorang mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Indramayu. Sejumlah dukungan sebanyak 1,8 juta jiwa (3% dari jumlah penduduk Jawa Barat, atau sekitar 6,2% dari jumlah pemilih) yang telah mendukung pasangan dan dinyatakan lolos oleh KPUD Jawa Barat. Dikdik dikenal sebagai perwira intelijen ketika masih di Polres Garut, dan sangat memahami situasi politik daerah Garut.
Pasangan Dikdik-Cecep ini menurut saya merupakan pasangan yang aneh, dan mengundang banyak pertanyaan, ada skenario apa yang akan dijalankan di Jawa Barat dalam rangka proses pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Barat 2013 ini. Dari sisi popularitas sangat rendah, elektabilitas juga sangat rendah, dan faktanya Dikdik lolos dalam pencalonan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Barat 2013 ini. Ini pertanyaan besar.
Tentu Dikdik akan meminta atau meskipun tidak diminta, korps kepolisian akan sangat mendukung Dikdik. Meskipun pada akhirnya secara resmi pihak kepolisian tidak akan serta merta memberikan dukungan secara terbuka, paling operasi khusus atau sangat rahasia. Tetapi jangan lupa, semua gerakan akan dipantau tidak terkecuali aparat militer. Jadi kalau ditanya apakah Dikdik punya basis massa, jawabnya mungkin ada mungkin tidak ada. Jumlah dukungan sebanyak itu apakah belum dapat disebut sebagai basis massa Dikdik. Dikdik akan memiliki basis massa kalau Dikdik mempersiapkan dirinya minimal lima tahun lalu.
Dikdik memulai gerakan sosialisasinya di Kabupaten Garut. Itu saja. Lalu bagaimana dengan peran Cecep sebagai calon Wakil Gubernur Jawa Barat, yang sangat memahami wilayah Kabupaten Indramayu. Daerah Garut dan Indramayu belum dapat disebut basis massa Dikdik-Cecep.
Dikdik akan menggunakan jaringan relawan yang basisnya di Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Banjar, Kuningan, Indramayu, Padalarang Bandung-Barat, Kabupaten Bandung, Cianjur, Sukabumi, Bekasi dan Bogor. Sementara Cecep akan menggunakan jaringan relawan di Indramayu, Subang, Karawang.
Mempertahankan suara 1,8 juta (6,2%) pendukung awal saja itu sudah luar biasa, artinya Dikdik dan timnya perlu melakukan banyak manuver untuk dapat memperoleh dukungan suara, persoalannya tergantung seberapa besar logistik yang dimiliki serta waktu yang terbatas ini yang hanya tinggal sebulan efektif untuk kerja politik.
Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki
Sosok pasangan Rieke-Teten yang diusung PDIP tampak sangat percaya diri blusukan ke tempat-tempat terpencil, kerja keras yang dilakukan selama ini dengan menggunakan baju jokowi, seolah-olah akan menjadi simbol kemenangan.
Tema anti korupsi, bersih, jujur menjadi tema sentral kampanye pasangan Rieke-Teten, tetapi sama sekali tidak menjawab apa yang saat ini dibutuhkan Jawa Barat. Jawa Barat tidak hanya membutuhkan sekedar slogan tetapi rancangan agenda aksi, serta apa yang seharusnya dilakukan saat ini untuk pembangunan daerah secara keseluruhan. Pasangan Rieke-Teten merupakan pasangan yang dibidik dari sisi historis/sosiologis, namun tampaknya upaya tersebut bukannya melemahkan pasangan ini, malah memperkuat posisi tawarnya.
Secara umum, pasangan Rieke-Teten dengan tingkat elektabilitas 10,44%[1] hanya mengandalkan semangat kader-kader militan PDIP, minimal dengan menempelkan poster baligho dan spanduk, tidak tampak upaya langsung mempromosikan Rieke-Teten kepada masyarakat melalui kader-kader dan simpatisan PDIP di daerah. Namun pada akhirnya, tampaknya suara PDIP, dimana rata-rata sekitar 18% suara yang akan mendukung Rieke, antara lain Subang, Sumedang, Kuningan, Indramayu, Cirebon, Ciamis, Majalengka, Karawang, Kab Bandung, Kota Cirebon, Kota Bandung, Cianjur dan Kab Bekasi.
Dede Yusuf-Lex Laksamana
Pasangan Dede Yusuf-Lex Laksamana yang diusung Partai Demokrat, PKB, PAN dan Partai Gerindra, tampaknya kader dan simpatisan seluruh partai pengusung tidak sepenuhnya bekerja mendukung pasangan ini, di daerah tidak terlihat sama sekali aktivitas jejaring partai melakukan sosialisasi pasangan Dede Yusuf-Lex Laksamana. Oleh karena itu, pasangan Dede Yusuf-Lex Laksamana hanya mengandalkan kerja-kerja relawan, yang juga sporadis tidak ada dalam satu komando atau garis kerja.
Baik Partai Demokrat, PKB, PAN dan Partai Gerindra seluruh kader dan simpatisannya tidak secara aktif mendukung dengan kerja-kerja politik, seluruhnya tergantung kepada dana yang tersedia dengan cadangan dana yang sangat terbatas. Demikian pula para relawan yang bekerja, tentu didasarkan pada kepercayaan kepada kandidat semata.
Meskipun tingkat elektabilitas tinggi, tetapi dari sisi operasional Dede Yusuf-Lex Laksamana perlu melakukan berbagai langkah politik untuk memastikan dukungan riil di kelompok pemilih, selama ini dua tim sukses yang terdapat didalam tubuh pasangan babarengan ini belum memiliki tingkat kekompakan yang solid.
Dari sisi basis massa, Dede Yusuf tidak memiliki akar politik yang kuat, meskipun dibesarkan PAN dan kemudian beralih ke Partai Demokrat, Dede Yusuf mengambil basis massa GP Anshor, dan dukungan sebagian kiai NU, selain itu Dede Yusuf akan memanfaatkan basis massa pramuka sebagai bagian dari dukungan awal, meskipun sudah ada pernyataan resmi dari Kwarda Jawa Barat bahwa pramuka tidak diperkenankan menggunakan seragam pramuka dalam pendukungan calon Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Barat. Sementara Lex Laksamana, basis massanya adalah keluarga besar FKPPI Jawa Barat, dan tentunya sebagian keluarga besar TNI dan Purnawirawan TNI kemungkinan akan mendukung pasangan Dede Yusuf-Lex Laksamana. Pertemuan di DHD 45 di jalan sunda beberapa waktu lalu, jelas-jelas dukungan akan disampaikan secara penuh kepada pasangan Dede Yusuf-Lex Laksamana. Salah satu kekuatan Lex Laksamana adalah silaturahmi dengan semua kalangan baik di kalangan birokrasi, maupun masyarakat awam, dapat diterima beliau secara langsung.
Diperkirakan babinsa di kalangan kodim yang disinyalir dapat memberikan dukungan secara silent, tampaknya akan menghadapi kendala dimana operasi khusus akan dipantau oleh tim khusus Dikdik dari pihak kepolisian, sehingga posisinya adalah seluruh komponen ini akan sangat berhati-hati memasuki wilayah pendukungan terhadap masing-masing kandidat. Tampaknya operasi khusus tidak bisa dilakukan baik oleh TNI maupun oleh Polri. Semua pihak akan menahan diri. Namun, ditinjau dari sisi UU No 34/2004 hal ini akan masuk wilayah yang dilarang dalam upaya pendukungan kepada kandidat kepala daerah.
Dengan tingkat elektabilitas sebesar 31,28%[2] yang ada saat ini, bagaimana diterjemahkannya dalam operasionalnya. Pertanyaannya dimana dan seberapa besar pasangan Dede Yusuf-Lex Laksamana kuat dan lemah, ini tidak pernah menjadi wacana di tim suksesnya, yang penting Dede Yusuf-Lex Laksamana sudah unggul melalui hasil survei. Intinya Dede Yusuf-Lex Laksamana tidak punya peta yang benar dimana kuat dan lemah, seberapa besar kekuatan dan kelemahannya, serta apa yang harus dilakukan dalam kurun waktu sebulan ke depan.
Basis Dede Yusuf-Lex Laksamana antara lain Kab Ciamis, Kab Bogor, Kota Bogor, Kab Sumedang, dan Kab Cianjur, Kab Karawang, Kab Bekasi, Kota Bandung, Kab Bandung, Kota Cimahi.
Kalau tidak waspada, pasangan Dede Yusuf-Lex Laksamana bisa terkena tsunami politik, yang terjadi secara mendadak dan tiba-tiba serta waktu pemulihannya tidak bisa cepat, sementara waktu hanya tinggal sebulan efektif. Yang harus diwaspadai oleh pasangan Dede Yusuf-Lex Laksamana adalah, fenomena Agus Yasmin di Kab Bandung Barat pada pemilu 2008 lalu. Itu saja.
Ahmad Heryawan-Dedi Mizwar
Pasangan Ahmad Heryawan-Dedi Mizwar, yang diusung PKS, Partai Hanura, dan PPP tampaknya merupakan pasangan yang sangat percaya diri, tidak peduli dengan hasil survei yang menempatkan dirinya pada urutan kedua. Sebagai Gubernur yang masih menjabat, tentu Ahmad Heryawan sering dituding melakukan pencurian start kampanye, seperti diberitakan media beberapa waktu lalu. Mesin politik PKS dan Partai Hanura sebagian tampak aktif, namun tidak seluruh mesin politik partai jalan melakukan upaya-upaya sosialisasi langsung ke masyarakat. Apalagi PPP mesin politiknya sama sekali berhenti untuk urusan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur 2013.
Ahmad Heryawan hanya mengandalkan basis massa Persatuan Ummat Islam (PUI) Jawa Barat, dan sebagian besar alumni Pelajar Islam Indonesia (PII), simpatisan Muhammadiyah, simpatisan Persis, sebagian simpatisan NU mendukung Ahmad Heryawan. Sentimen organisasi Islam merupakan daya tarik yang cukup efektif yang dilakukan Ahmad Heryawan untuk proses pendukungan ini, tetapi seluruh hadir tidak dalam kapasitas dukungan dari organisasi kemasyarakatannya, melainkan dari sekelompok individu-individu di masing-masing organisasi kemasyarakatan. Selain itu komunitas guru-guru juga akan mendukung pasangan Ahmad Heryawan-Dedi Mizwar.
Dedi Mizwar tampaknya berhasil tampil tidak hanya sebagai vote-getter semata, tetapi dapat memperkuat posisi tawar Ahmad Heryawan. Menarik apa yang dilakukan Dedi Mizwar dalam setiap turun kampanye, mencoba melakukan dialog, silaturahmi dengan berbagai kalangan tanpa ada batasan. Namun seberapa jauh upaya yang dilakukan Dedi Mizwar dalam mengangkat suara pasangan Ahmad Heryawan-Dedi Mizwar ini, tampaknya tidak bisa hanya sekedar dilihat dari jumlah tayangan di media elektronik dan cetak, termasuk media sosial, tetapi diperlukan adanya manuver politik untuk melakukan upaya pemenangan yang signifikan.
Dengan tingkat elektabilitas sebesar 26,46%[3] saat ini, dibutuhkan upaya-upaya khusus untuk meningkatkan pengaruh langsung ke calon pemilih, sementara di lapangan, tampaknya tidak terjadi sebuah proses penguatan kandidat yang dilakukan oleh para relawan atau kader partai/simpatisan partai, yang ada hanya dialog-dialog senyap antara calon pemilih dengan spanduk/baligho di pinggir jalan.
Kalau Ahmad Heryawan tidak mengambil langkah-langkah politik yang diperlukan, tampaknya berat untuk Ahmad Heryawan untuk memenangkan pertarungan ini. Tim Ahmad Heryawan tidak utuh dalam membaca peta secara utuh, disini tidak ada peta kekuatan dan kelemahan kandidat lainnya.
Basis utama Ahmad Heryawan-Dedi Mizwar antara lain Kota Bandung, Kab Bandung, Kota Cimahi, Kab Sukabumi, Kab Bogor sebagian kota Bogor, Kab Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, Kota Depok, Kab Ciamis, Kab Cianjur, Kota Bekasi. Salah satu basis lemah Ahmad Heryawan-Dedi Mizwar antara lain Kab Purwakarta.
Irianto MS Syafiuddin-Tatang Farhanul Hakim
Beberapa survei menunjukkan posisi Irianto MS Syafiuddin (kang Yance) selalu tidak diunggulkan, namun yang perlu mendapat perhatian adalah ada satu fenomena baru ketika pemilihan kepala daerah di Kab Purwakarta yang lalu, Dedi Mulyadi memperoleh suara 65,66%, sementara suara Golkar mencapai 44%, Partai Demokrat 8%, PDIP 6%, sementara PAN, PKS, Hanura, Gerindra, PPP, dibawah 2%.
Ada satu hal yang perlu dicermati Yance, pertama soal tidak jadinya Kiai Sofyan Yahya jadi cawagub Yance pada saat itu, padahal kiai NU sudah sangat berharap itu terjadi, namun adanya intervensi khusus akhirnya tidak terjadi Kiai Sofyan Yahya mendampingi kang Yance sebagai Cawagubnya. Dampak dari proses itu, di berbagai kesempatan Kiai Sofyan Yahya mengajak warga NU agar bebas memilih tidak harus kepada salah satu pasangan calon kandidat Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Barat. Seharusnya segera dikanalisasi kepentingan-kepentingan yang ada di situ, jangan sampai jadi persoalan yang mengganggu.
Elektabilitas Yance-Tatang sebesar 8,63%[4] tampaknya cukup berat untuk bersaing melawan kandidat lainnya, hanya ada satu cara untuk menang dalam pilgub ini, jadikan pilgub ini sebagai bagian dari konsolidasi partai. Berapapun suara yang diraih, itulah suara Golkar 2014 besok, tetapi apakah cukup untuk memenangkan pilgub ini? Tampaknya perlu ada kondisi atau prakondisi yang dibutuhkan, agar Yance-Tatang bisa melakukan hal-hal yang menjawab secara langsung aspirasi masyarakat Jawa Barat seluruhnya. Namun, dari sisi waktu, tenaga sukarelawan, dana yang tersedia, tampaknya Yance-Tatang minimal mengejar angka rata-rata Golkar saja sebesar kurang lebih 20% sangat maksimal.
Basis golkar yang kuat antara lain Kab Purwakarta, Kab Bandung, Kab Bogor, Kab Ciamis, Kab Cianjur, Kab Garut, Kab Indramayu, Kab Karawang, Kota Sukabumi, Kab Sukabumi, Kab Sumedang, Kab Subang.
Penutup
Demikian kiranya gambaran umum lima kandidat calon Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Barat untuk dapat dipilih sesuai dengan hati nurani kita.***
[1] (Pusat Kajian dan Kepakaran Statistika (PK2S) Program Studi Statisitika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Unpad)
[2] (Pusat Kajian dan Kepakaran Statistika (PK2S) Program Studi Statisitika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Unpad)
[3] (Pusat Kajian dan Kepakaran Statistika (PK2S) Program Studi Statisitika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Unpad)
[4] (Pusat Kajian dan Kepakaran Statistika (PK2S) Program Studi Statisitika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Unpad)