Oleh Nanan Abdul Manan
Ketua STKIP Muhammadiyah Kuningan & Ketua ICMI Orda Kuningan
Mesin politik di berbagai partai mulai dipanaskan bahkan ada yang sudah sangat panas, siap untuk dikendarai. Fenomena ini menjadi hal biasa setiap jelang pesta demokrasi di negeri tercinta kita. Negeri yang penuh dengan keragaman gaya berpolitik dan serba nyeleneh ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang menarik banyak kalangan akademisi dalam dan luar negeri untuk melakukan riset.
2024 sebentar lagi, tentu para calon politisi baik yang minat duduk di level eksekutif maupun legislatif, baik level daerah, wilayah maupun nasional-hari ini sedang berusaha merebut hati rakyat. Ya, merebut atau merayu menjadi satu diksi yang tepat disandang oleh gerakan-gerakan instan para calon politisi untuk meraih dukungan. Maka jangan kaget jika tiba-tiba ada banyak orang baik, religius, akrab, penuh perhatian dan menawarkan berbagai program, padahal, sebelumnya tidak demikian.
Apakah perilaku atau tindakan itu tidak boleh? Tentu sah-sah saja, tidak ada yang salah. Kita tidak boleh menyalahkan para calon politisi maupun birokrat yang hari ini sedang berupaya keras meraih simpati masyarakat. Karena, di pihak lain, yaitu masyarakat sebagai target, mengalami perilaku yang sama. Jika calon politisi menawarkan program maka rakyatpun sering bersifat pragmatis-ingin mendapatkan pemberian instan dan bertransaksi langsung untuk saling memastikan kepercayaan satu sama lain.
Model gerakan para calon politisi yang cenderung dadakan; waktu kampanye tidak cukup, membangun persepsi publik instan, dan meraih suara masyarakat target tinggi, maka cara-cara pintas harus dilakukan. Cara pintas itu adalah strategi kampanye yang banyak mengeluarkan political cost yang tinggi. Sehingga, sangat wajar ketika setelah terpilihnya di bangku kekuasaan, para politisi berhitung bagaimana mengembalikan ongkos yang sudah dikeluarkan tempo hari dalam proses kampanye. Hal ini menjadi fenomena sepanjang masa hingga kini.
Dalam konteks kemajuan teknologi, setidaknya ada beberapa alternatif solusi simplifikasi kerja manusia yang dapat diselesaikan dengan piranti IT. Salah satu grand isu hari ini adalah bagaimana perkembangan pesat kecerdasan buatan atau Artificial Inttelligence yang menjadi pelayan bagi segala kebutuhan manusia yang bersifat konseptual, prediktif, konsiderasi dan teknis.
Istilah “kecerdasan buatan” atau AI (Artificial Intelligence) pertama kali digunakan pada tahun 1956 dalam konferensi Dartmouth College. Konferensi tersebut dihadiri oleh sejumlah ilmuwan dan peneliti terkemuka dalam bidang ilmu komputer, matematika, dan psikologi, seperti John McCarthy, Marvin Minsky, Claude Shannon, dan Nathaniel Rochester. Artificial Intelligence atau AI yang kini diboomingkan oleh Elon Musk, seorang pengusaha, inventor, dan filantropis yang berasal dari Afrika Selatan dan kini menjadi warga negara Amerika Serikat. Dia dikenal sebagai pendiri atau co-founder sejumlah perusahaan terkenal, termasuk SpaceX, Tesla, Neuralink, dan The Boring Company. Ia dan kawan-kawan ilmuan lainnya terus mengembangkan AI yang lebih cerdas dari generasi sebelumnya dan mampu menjawab maupun memberi solusi permasalahn-permasalan konsep maupun teknis yang dibutuhkan manusia kini.
Dari realitas perkembangan AI di atas, kita patut melakukan eksperimen untuk menggunakan AI dalam pelaksanaan pesta demokrasi yang bisa meminimalisasi anggaran, praktek gratifikasi, penggelembungan suara, jual beli suara atau semua cara-cara berpolitik yang kotor untuk bisa dihindari.
Setidaknya, ada beberapa upaya oplitmalisasi penggunaan AI atau kecerdasan buatan yang sekiranya dapat membantu mengurangi biaya politik. Berikut beberapa contohnya:
- Kampanye politik: Kampanye politik memakan biaya besar-besaran, apalagi di wilayah dengan populasi besar juga. AI dapat membantu kampanye menjadi lebih efisien dengan melakukan analisis data dan memberikan informasi yang lebih akurat tentang preferensi pemilih. Ini dapat membantu kampanye untuk memfokuskan upaya mereka pada pemilih yang paling mungkin mendukung kandidat mereka dan dengan demikian mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk mencapai hasil yang sama.
- Analisis data: Kandidat politik dan partai politik dapat menggunakan AI untuk menganalisis data politik dan sosial yang relevan. Ini dapat membantu mereka memahami masalah yang paling penting bagi pemilih dan bagaimana mereka dapat mengatasi masalah tersebut dengan cara yang paling efektif. Dengan memiliki informasi yang lebih akurat dan tepat waktu, kandidat politik dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk melakukan survei dan riset pasar.
- Pengambilan keputusan: Dalam politik, keputusan strategis dapat memengaruhi hasil suara dalam pemilihan. Dengan menggunakan AI untuk memprediksi hasil pemilihan, kandidat politik dan partai politik dapat mengambil keputusan yang lebih tepat waktu dan akurat tentang bagaimana mereka harus memusatkan upaya mereka selama kampanye. Hal ini dapat membantu mereka mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk melakukan survei dan pemantauan.
- Pengelolaan donasi: Kampanye politik membutuhkan banyak uang, dan pengelolaan dana dapat menjadi tantangan besar. Dengan menggunakan AI untuk menganalisis data penggalangan dana, kandidat politik dan partai politik dapat mengidentifikasi pendukung yang paling mungkin memberikan sumbangan besar. Ini dapat membantu mereka meningkatkan efisiensi pengelolaan dana dan mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk penggalangan dana.
- Adu gagasan secara ril: Masyarakat mendatang akan terus mengalami pendewasaan dan lebih realistic dalam memilih para calon politisi. Dengan gagasan para calon yang dikemukakan di berbagai platform teknologi digital, maka public akan dengan mudah menilai siapa saja yang memiliki kapasitas tinggi dalam menata program, membuat peta jalan penyelesaian, dan rasionalisasi solusi yang disesuaikan dengan kesiapan SDM dan SDA para konteks wilayah tertentu. Hal ini akan meminimalisasi cara-cara yang tidak patut untuk meraih simpati masyarakat.
Dengan memanfaatkan teknologi AI secara maksimal, kandidat politik dan partai politik dapat mengurangi biaya politik mereka dan meningkatkan efisiensi dalam berbagai aspek kampanye politik. Namun, perlu diingat bahwa teknologi AI juga memiliki keterbatasan dan dapat memiliki dampak sosial yang signifikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian dan pengembangan yang cermat untuk memastikan bahwa teknologi ini digunakan secara etis dan bertanggung jawab.
Kita harus merespon perkembangan AI yang sensasional ini untuk membantu penyelesaian pekerjaan kita bukan malah menjadi masalah baru. Pemimpin masa depan adalah mereka yang siap bercermin dari permasalahan masa lalu, mampu menyelesaikan masalah hari ini dengan bijak, dan mampu memprediksi penyelesaian masalah mendatang dengan kekuatan kolaborasi baik dalam konteks multidisiplin, intadisiplin bahkan transdisiplin. []