JABARTODAY.COM.:JAKARTA – Posisi wakil menteri dinilai banyak pihak tidak diperlukan karena posisi tersebut lebih didasarkan pada kebutuhan politik dan bukan kebutuhan konstitusionalitas. Posisi itu juga dinilai akan mengacaukan kerja birokrasi karena sudah ada lima jabatan eselon satu (I) di kementerian.
Namun demikian, pengamat Hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin, Selasa (5/6) menegaskan, wakil menteri bisa saja diadakan bila kriterianya jelas dan posisi itu karena kebutuhan konstitusional. Misalnya, Menhan, Menlu dan Mendagri. “Ketiganya perlu diangkat wamen dengan alasan jika ada masalah presiden dan wakil presiden (meninggal), maka yang akan menjalankan pemerintahan adalah ketiga menteri itu,” jelasnya.
Selain itu, lanjut dia, alasan pengangkatan wamen dapat dilakukan dikarenakan kebutuhan seperti lingkup kerja di di kementerian yang besar. Contoh, menteri keuangan perlu wamen karena presiden kan penanggung pengelolaan keuangan negara. “Inilah kebutuhan yangg berdasarkan konstitusional,” jelasnya.
Meski tidak semuanya, menurut Irman, pengangkatan wamen sekarang ini lebih banyak kebutuhan politiknya. Wamen yang diangkat berdasarkan politik bisa mengacukan menteri itu sendiri dan manajemen pemerintahan.
Dia berharap, jangan juga menjadi alasan pengangkatan wamen menjadi otoritas presiden. Namun, justru menteri tidak tahu apa-apa. “Ini juga bisa mengacaukan kerja menteri itu sendiri,” tutur Irman.
Masalah wamen muncul ke publik setelah bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). Adalah Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PTPK) yang melayangkan uji materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Pasal 10 tentang Kementerian Negara.
Uji materi tersebut untuk menggugat peraturan yang menjadi payung hukum pengangkatan wakil menteri. GN-PTPK menilai, UU Kementerian Negara bertentangan dengan Pasal 17 UUD 1945.