“Negara Tidak Serius Mengurus Pendidikan”

Rektor Universitas Pamulang, Dr. H. Dayat Hidayat (dok.jabartoday/fat)

 

Tiada negara maju tanpa keseriusan dalam mengelola pendidikan. Pendidikan yang dikelola secara serius, dipastikan akan mendorong suatu bangsa meraih kemajuan. Bagaimana dengan Indonesia? Mengapa masih terlihat tertatih-tatih? Mengapa masih terjadi kebocoran anggaran,  program yang tidak tepat sasaran, dan birokratisasi pendidikan yang cenderung menghambat kecerdasan kita  sebagai bangsa? Untuk menguak itu semua, Redaktur Jabartoday.com, Fathorrahman Fadli melakukan Perbincangan Khusus dengan Rektor Universitas Pamulang, Dr.  H. Dayat Hidayat, MM yang bertekad untuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau. UNPAM kini tercatat sebagai kampus dengan jumlah mahasiswa terbesar di Indonesia dengan tingkat efisiensi SDM yang sangat tinggi.

Berikut petikan perbincangan khusus itu:

 

Perkembangan pendidikan dari waktu-ke waktu terlihat tidak signifikan untuk mengubah bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan beradab. Sejauh pengamatan Anda selaku praktisi pendidikan,  apa yang sesungguhnya terjadi?

Menurut hemat saya, karena pendidikan nasional kita dikelola secara salah kaprah. Model dan praktik budaya pendidikan kita bukan untuk mencerdaskan, namun menciptakan kebodohan. Hal ini terjadi karena pembuat kebijakan pendidikan tidak memahami dan menghayati  filosofi mengenai pendidikan yang sesungguhnya. Dari waktu ke waktu seperti anda bilang, pendidikan kita seperti jalan ditempat, tidak ada kemajuan yang signifikan. Pada umumnya, para pengambil kebijakan tidak memahami tiga prinsip dasar dari ilmu pengetahuan.  Tiga prinsip dasar ilmu pengetahuan itu ada tiga. Pertama, Tuhan, kedua Manusia, dan ketiga adalah Zaman.

Bisa anda jelaskan bagaimana hubungan antara Tuhan, Manusia, dan Zaman itu dalam konteks pendidikan?

Begini penjelasannya; Tuhan atau Allah itu adalah pemilik ilmu. Jadi semua yang ada dalam alam raya ini adalah ilmu yang sumbernya dari Tuhan. Jadi Tuhan adalah sumber ilmu pengetahuan, dan perlu diingat posisi Tuhan itu tidaklah berubah. Itu yang harus dipahami dengan baik. Kemudian yang kedua adalah manusia. Manusia itu sifatnya selalu berubah sesuai dengan perkembangan alam berfikirnya, sesuai perkembangan masyarakat, serta perkembangan ilmu dan teknologi. Dalam konteks hubungan ketiga prinsip itu, manusia adalah pengelola ilmu itu sendiri. Manusialah yang mentransfer ilmu dari Tuhan kepada manusia lainnya melalui proses pendidikan. Hal ini harus betul-betul dihayati agar pendidikan mampu meraih kemajuan. Dengan kata lain, manusia itu adalah wakil Tuhan di bumi yang bertugas untuk mentransfer ilmu-ilmu Tuhan kepada manusia lainnya.

Kampus Utama Universitas Pamulang yang tidak pernah sepi kegiatan mulai perkuliahan pagi sore hingga Sabtu. Juga berbagai kegiatan peningkatan kualitas akademik para dosennya (dok.unpam)

Bagaimana dengan prinsip yang ketiga yaitu zaman?

Ketiga adalah Zaman. Zaman ini adalah sesuatu yang selalu berubah. Jadi Tuhan itu tetap, sedang manusia dan zaman itu selalu berubah. Kalau ingin pendidikan atau dunia ilmu pengetahuan itu mengalami kemajuan, maka manusia sebagai pengelola ilmu pengetahuan yang sumbernya dari Tuhan itu harus mampu mengelola dan mengantisipasi manusia dan zaman yang berubah.

Bisa anda beri contohnya yang lebih kongkrit?

Contoh, jika dimasa Orde Lama dan Orde Baru itu sumber ilmu pengetahuan hanya berasal dari guru dan televisi, maka sekarang dengan perkembangan ilmu dan teknologi, guru bukan lagi sumber satu-satunya ilmu, begitu pula televisi berkembang begitu banyak. Kalau dulu kurikulum pendidikan berganti setiap 10 tahun, sekarang dua tahun saja harus diperbaharui. Mengapa? Karena zaman telah berubah, dan manusia telah berubah. Sedangkan perkembangan ilmu dan teknologi itu dengan mudah diakses oleh masyarakat dengan sangat cepat. Kalau kurikulumnya jadul, maka dapat dipastikan dunia pendidikan akan selalu ketinggalan zaman.  Oleh karena itu, pengambil kebijakan pendidikan mulai pemerintah pusat hingga daerah harus paham zaman yang berubah itu. Kalau tidak paham,  kita akan ketinggalan terus dengan negara-negara lain yang sangat serius mengelola pendidikan.

Bagaimana dengan dana pendidikan menurut pengamatan anda, apa sudah cukup dengan 20 persen?

Menurut saya dari dulu hingga sekarang, negara ini sangat tidak serius mengelola pendidikan. Negara ini tidak memiliki perhatian yang sungguh-sungguh untuk memajukan bangsa ini. Dari sisi dana saja hanya 20 persen APBN yang dialokasikan untuk pendidikan. Faktanya di lapangan, prosentase 20 persen itu pun tidak murni untuk pendidikan. Bagaimana mau dibilang serius, wong alokasi anggaran pendidikan saja tidak serius.

Menurut anda berapa yang ideal prosentasenya?

Kalau saya melihat kondisi yang ada dan problematika pendidikan yang semraut ini, kita harus mengalokasikan 60 persen dari APBN. Itu baru top, itu baru kita serius membangun masa depan bangsa. Sebab bangsa yang maju itu adalah mereka yang serius mengalokasikan dananya untuk pendidikan. Lihatlah negara-negara maju, mereka pasti serius mengurus pendidikan. Saya sudah berkelana ke berbagai negara di dunia; saya melihat fakta, betapa negara-negara maju itu mengurus pendidikan anak-anak bangsanya dengan sangat serius, bukan main-main seperti kita di Indonesia ini.  Sudah tinggal 20 persen, tidak utuh, masih ada yang dikorupsi pula. Mana bisa dikatakan serius memajukan pendidikan.

Bagaimana bayangan anda jika dana pendidikan itu 60 persen?

Kampus 2 Viktor ini menampung puluhan ribu anak bangsa yang ingin mengenyam pendidikan tinggi yang bermutu dan biaya yang terjangkau (dok.UNPAM)

Jika kebijakan itu dilakukan sejak sekarang, kita langsung laksanakan pendidikan gratis hingga tamat sarjana. Saya membayangkan dalam 22 tahun kedepan Indonesia ini akan menjadi surga dunia, karena seluruh kekayaan negeri ini sudah dapat dikelola oleh anak-anak bangsa kita sendiri. Saat itu mereka rata-rata sudah berpendidikan minimal sarjana. Karena gratis kelangsungan pendidikan mereka terjamin hingga sarjana. Untuk itu di semua kabupaten harus berdiri kampus-kampus yang dapat menjadi pusat belajar anak-anak bangsa tanpa pandang bulu, tanpa pandang ia berasal dari kaum miskin atau kaya. Sebab pendidikan tinggi itu menjadi hak semua orang, bukan hanya untuk mereka yang kaya. Di semua kabupaten ada gedung-gedung megah. Gedung megah itu bukan kantor bupati atau DPRD, tetapi perpustakaan yang besar dan lengkap dengan sarana teknologi informasinya. Perpustakaan tidak lagi disimpan di sekolah-sekolah, tetapi diletakkan di tengah-tengah masyarakat agar masyarakat bisa mengakses ilmu dengan mudah. Dengan demikian, anggaran untuk pengadaan perpustakaan itu menjadi efisien dan tepat guna.

Apa manfaatnya meletakkan perpustakaan ditengah-tengah masyarakat?

Jika perpustakaan yang besar, bagus dan lengkap ada ditengah-tengah masyarakat, mereka dapat dengan  bebas belajar disana, meraih kecerdasan dari perpustakaan yang megah itu. Lihatlah Buya Hamka dan sederet tokoh pergerakan yang belajar otodidak dari buku-buku sebagai sumber ilmu pengetahuan. Kita harus serius membawa masyarakat itu menjadi warga yang cerdas, bukan masyarakat yang bodoh. Banyak pejabat kita yang justru senang melihat masyarakat kita bodoh, karena dengan kebodohan itu mereka menikmati pujian dan fasilitas yang seharusnya digunakan untuk mencerdaskan rakyat. Jadi ini soal mind-set pendidikan yang salah, sehingga bangsa ini terlambat dalam meraih kemajuan. Kita harus balik kanan, putar arah karena jalan bangsa yang kita tempuh sudah salah. Kalau diteruskan akan semakin jauh kesalahannya dan kita kesulitan untuk kembali ke jalan yang lurus.    

Anda melihat ada diskriminasi dalam pendidikan tinggi kita?

Oh iya, mari kita lihat. Setiap perguruan tinggi negeri hanya bisa menerima anak-anak yang memiliki nilai tes yang bagus-bagus saja. Bagaimana kalau ada anak pintar, tapi saat tes dia lagi kurang sehat, tidak konsentrasi, atau ada masalah keluarga sehingga tidak bisa mengerjakan tes dengan benar. Lalu mereka tidak lulus dan tidak bisa kuliah. Kira-kira anak seperti ini mau kuliah dimana. Ini kalau yang pinter, tapi bagaimana dengan nasib anak-anak yang setengah pinter, atau yang jelas-jelas tidak pinter?

Apa mereka itu tidak boleh belajar di perguruan tinggi?  Apakah mereka itu kita biarkan dalam kebodohan. Siapa yang akan mengurus pendidikan mereka. Lalu dimana keseriusan negara untuk mengurus pendidikan mereka? Padahal semua warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran.  Coba cek, betapa rendahnya angka partisipasi pendidikan di level perguruan tinggi kita. Apakah ini harus dibiarkan begitu saja. Tentu saja tidak, kita harus segera berbenah, jika ingin bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka, mandiri, dan sejahtera.  

Bagaimana anda melihat peran pemerintah dalam pengelolaan pendidikan tinggi?

Pemerintah terlalu sibuk dengan urusan politik. Mereka lupa mensejahterakan guru dan dosen, sehingga dosen dan guru itu bisa menduduki kembali posisinya yang dulu sangat terhormat dalam masyarakat. Pemerintah tidak serius merancang kurikulum yang mampu mengantisipasi perubahan yang sangat cepat, menyediakan buku ajar, membangun laboratorium yang lengkap, dan seterusnya.  Kita selalu kedodoran mengejar ketertinggalan. Terlalu banyak meributkan hal-hal yang tidak penting, kita jadi terlena dan lupa mengurus kualitas pendidikan dengan baik.  

Anda konsern pada kesejahteraan guru dan dosen, bukankah gaji mereka sudah dinaikkan?

Betul, namun gaji guru dan dosen yang ada saat ini tidak membuat mereka menjadi manusia yang sejahtera dan menduduki posisi terhormat dalam masyarakat. Kehormatan itu penting karena guru adalah wakil Tuhan dibumi untuk menyebar ilmu pengetahuan kepada seluruh umat manusia. Kita salah dalam memberikan penghargaan terhadap guru dan dosen dengan tingkat yang rendah. Karena bangsa yang tidak menghargai guru dan dosen dengan layak, maka bangsa itu tidak akan pernah meraih kemajuan dan kehormatan. Sebab guru itu soko guru masyarakat. Kalau mereka tidak mampu membeli buku untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan, tidak mampu membeli pulsa untuk mengakses internet misalnya, mana mungkin mereka bisa menjadi soko guru yang baik.

 

Artinya guru dan dosen harus diberikan fasilitas yang memadai?

Betul, bahkan menurut saya guru harus menjadi warga negara kelas satu. Sebab guru itu harus lahir dari manusia-manusia unggul karena tugasnya yang mulia dalam masyarakat. Ia harus bekerja dengan akal yang sehat dan qolbu yang jernih. Guru harus memiliki kualitas Qolbu 4-5 kali lipat di atas masyarakat pada umumnya. Guru harus menjadi masyarakat yang istimewa, sebab mereka bertugas menyebarkan ilmu, akhlak dan soko guru dalam kehidupan.  Guru dan dosen jangan sampai hidup terhina karena itu akan menurunkan wibawanya sekaligus wibawa ilmu pengetahuan.

Anda sedang mengelola kampus yang fenomenal sekali, dengan jumlah mahasiswa yang besar hingga 84 ribu jiwa, apa sebenarnya yang melatar-belakangi?

Kami berangkat dari filosofi, “Education for All”, pendidikan itu menjadi hak semua orang. Bagaimana cara agar filosofi itu tidak berhenti sebagai slogan. Kami waktu itu merasa tertantang untuk membuktikannya di lapangan. Banyak hambatan yang kami alami, namun kami bersama Pak Ketua Yayasan H Darsono dan teman-teman seperjuangan terus bergerak untuk memajukan UNPAM ini hingga seperti sekarang. Dulu orang tidak percaya pada kami dengan berbagai alasan. 

Pertama, kami memastikan dengan benar bahwa pendidikan harus berlangsung dengan bermutu,  biaya yang terjangkau, dan mudah. Agar pendidikannya bermutu, kami konsisten mengikuti standar kurikulum yang disarankan oleh pemerintah tentunya. Sedangkan mengenai biaya yang terjangkau itu maksudnya, SPP-nya tidak mahal, sesuai dengan kemampuan masyarakat sekitar kampus. Agar masyarakat merasa mudah, SPP itu juga kami bolehkan untuk dicicil setiap bulan. Kemudahan belajar juga kami berikan bagi mereka yang tidak punya waktu dihari biasa. kami membuka kelas di sore hari, dan hari Sabtu. Alhamdulillah peminatnya luar biasa yang mau kuliah. 

UNPAM juga tidak menarik uang gedung, apa betul demikian?

Benar sekali. Kami memang sengaja tidak menarik uang gedung dari masyarakat, dan alhamdulillah  kami diberikan kemampuan oleh Allah Swt untuk  membangun gedung sendiri, tanpa bantuan siapapun, tanpa bantuan pemerintah. Saya merasa sangat bersyukur dianugerahi seorang Ketua Yayasan yang berlatar belakang guru dan seorang enterprenuer yang handal dan sukses. Beliau memiliki komitmen yang sangat tinggi untuk membangun pendidikan, mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana menjadi tujuan berdirinya negara ini. Kecintaan Ketua Yayasan kepada pengembangan pendidikan luar biasa sekali. Alhamdulillah beberapa bulan lalu, kampus tempat dimana dahulu beliau belajar telah mengakui kiprahnya dalam pembangunan pendidikan dan menganugerahi gelar Doktor Honouris Causa kepada beliau. 

Apa rencana ke depan untuk mengembangkan UNPAM ini lebih besar lagi?

Kami sedang melakukan ekspansi perluasan pendidikan ke Serang Banten. Lahan seluas 200 hektar telah kami rancang sebagai pusat pendidikan yang terintegrasi. Karena kami punya komitmen untuk memberikan layanan pendidikan yang terjangkau, maka kami akan menarik SPP yang mungkin lebih murah dari yang ada di Pamulang. Menurut hitungan Pak Ketua Yayasan H. Darsono, estimasi SPP nya sekitar 150 ribu setiap bulannya. Kami berharap, anak-anak bangsa dari pinggiran Provinsi Banten, seperti Lebak, Serang dan sekitarnya dapat berduyun-duyun untuk kuliah di UNPAM. Kami mohon doa dan peran serta masyarakat demi kesuksesan pendidikan.

Saya dengar UNPAM juga ditawari untuk membangun kampus dibeberapa daerah?

Betul sekali, kami memang banyak mendapat penawaran dari beberapa daerah agar UNPAM membangun kampus disana. Seperti  Pak Zulkifli Hasan, Ketua MPR kita,  beliau mendorong kami untuk bangun kampus di Lampung, beliau sudah menyediakan lahan 15 hektar untuk lokasi kampus, namun kemampuan kami masih terbatas jaid belum bisa direalisasikan. Ada juga dari Papua dan beberapa daerah lainnya.   Kepada mereka kami menyatakan terima kasih atas atensi yang diberikan. Semoga dimasa depan kami memiliki kemampuan untuk mewujudkannya. 

***

Related posts