Pendidikan Sejarah dan Pembentukan Karakter Bangsa

ISTIMEWA

Andi Suwirta & Sri R. Rosdianti 

Penulis adalah Pengurus ASPENSI (Asosiasi Sarjana Pendidikan Sejarah Indonesia) di Bandung dan Pengelola ATIKAN: Jurnal Kajian Pendidikan. Surel penulis: aspensi@yahoo.com

 

Muhammad Yusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, menyatakan bahwa beliau sangat terkejut ketika menemukan anak-anak SD (Sekolah Dasar) di Indonesia yang berorientasi ke pendidikan internasional, lebih tahu tentang sejarah bangsa lain daripada bangsa sendiri. Beliau kemudian mengingatkan tentang pentingnya pendidikan dasar yang berorientasi ke negeri sendiri agar terjadi penanaman karakter serta jati diri bangsa (PR, 19/3/2011).

Bahwa pendidikan sejarah merupakan salah satu wahana untuk pembentukan karakter dan jati diri bangsa, kami kira, sudah menjadi pengetahuan umum. Dari pendidikan sejarah kita diajarkan tentang proses terbentuknya Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa yang membedakannya dengan negara-negara bangsa lainnya di dunia. Dari pendidikan sejarah pula kita diajarkan tentang asal-usul bangsa Indonesia dan perjuangan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang merdeka, maju, sejahtera, dan terhormat dalam pergaulan antarbangsa.

Pendidikan Sejarah dan Fenomena Cinderella

Bahwa pendidikan sejarah di Indonesia merupakan hal yang dianggap tidak penting, juga sudah menjadi pengetahuan umum. Banyak faktor yang menyebabkannya. Salah satu faktor pentingnya adalah kebijakan pemerintah itu sendiri, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional. Sudah menjadi rahasia umum di negeri ini bahwa ganti Menteri maka ganti pula policy.

Jika Menteri Pendidikannya seorang yang menyukai sejarah, seperti yang ditunjukkan oleh Prof Mr Muhammad Yamin (1953-1954) dan Prof Dr Nugroho Notosusanto (1983-1985), maka pendidikan sejarah menjadi “anak emas”. Tapi jika Menteri Pendidikannya seorang yang alergi terhadap disiplin sains sosial dan kemanusiaan, seperti fenomena sekarang ini, maka pendidikan sejarah menjadi “anak tiri”.

Dalam sejarah pemerintahan di Indonesia, Presiden Soekarno (1945-1966) dan Presiden Soeharto (1966-1998) adalah pemimpin-pemimpin yang menyadari tentang pentingnya pendidikan sejarah sebagai wahana pembentukan karakter dan jati diri bangsa. Presiden Soekarno, misalnya, terkenal dengan ungkapan tentang JASMERAH (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah). Sementara Presiden Soeharto, melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, telah menghasilkan buku standar SNI (Sejarah Nasional Indonesia) yang dijadikan rujukan dalam proses pendidikan sejarah di Indonesia.

Di era Reformasi yang sangat liberal dan menafikan segala sesuatu dari warisan pemerintahan di masa lalu, pendidikan sejarah benar-benar seperti layaknya Cinderella yang dianaktirikan dan dikucilkan kedudukan dan peranannya dari proses pembinaan karakter dan jati diri bangsa. Pendidikan sejarah tidak hanya dikurangi jam-jam pelajarannya di sekolah, bahkan ketika MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) di bawah kepemimpinan Prof Dr Taufik Abdullah telah menyusun dan menghasilkan buku Indonesia dalam Arus Sejarah, sebagai penyempurnaan dari buku standar SNI, namun hasil karya dari para sejarawan dan pendidik sejarah tersebut kurang mendapat perhatian dan penghargaan yang sewajarnya dari pemerintah.

Karena itu tidaklah mengherankan jika muncul fenomena seperti yang disinyalir oleh mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla tersebut di atas. Anak-anak didik kita setiap saat didedahkan dengan aneka informasi yang international-minded. Anak-anak didik kita lebih mengidolakan tokoh-tokoh dari negara lain daripada figur-figur bangsanya sendiri yang sesungguhnya kaya dalam mozaik dan album sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

Pendidikan Sejarah dan Agenda Masa Depan Bangsa

Bagaimanapun kini disadari bahwa globalisasi yang melanda negara-negara di dunia bukanlah proses yang bebas nilai. Negara-bangsa yang tidak siap dalam menghadapi proses globalisasi ini jelas akan tercerabut dari akar budaya asal, karakter dan jati dirinya sebagai bangsa. Internasionalisasi pendidikan, termasuk bahasa, jika tidak dicermati secara waras akan menjebak bangsa ini dalam pusaran arus globalisasi yang dahsyat tersebut.

Jika akhir-akhir ini pemerintah tengah menggodok kebijakan baru tentang pentinya “pendidikan karakter” maka kita harus menyambutnya dengan baik. Kita tidak ingin bangsa ini tidak memiliki karakter dan jati diri yang jelas. Kita ingin agar proses pendidikan anak-anak kita, termasuk dalam pendidikan sejarah, lebih bercorak “Indonesia-sentris”, sebuah paradigma yang menempatkan bangsa Indonesia sebagai pelaku utama yang bebas, kreatif, mandiri, memiliki karakter dan jati diri dalam kehidupan dan pergaulan antarbangsa di dunia.

Para sejarawan dan pendidik sejarah di Indonesia sepatutnya juga tidak berpangku tangan dalam menyambut agenda besar “pendidikan karakter bangsa” ini. Pendidikan sejarah bukanlah proses menghafal nama-nama tokoh serta deretan angka tahun dan peristiwa. Pendidikan sejarah adalah proses penyadaran dan pencerahan terhadap masa lalu untuk diaplikasikan dalam konteks kekinian dan kedisinian serta direfleksikan dalam konteks bangsa Indonesia yang akan datang.

Sesungguhnya sudah banyak organisasi profesi yang digagas dan dibentuk oleh para sejarawan dan pendidikan sejarah. Ada MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) sejak tahun 1970-an, ada ASPENSI (Asosiasi Sarjana Pendidikan Sejarah Indonesia) sejak tahun 2006, ada AGSI (Asosasi Guru Sejarah Indonesia) sejak tahun 2007, dan akhir-akhir ini ada APPS (Asosiasi Peneliti dan Pendidik Sejarah) sejak tahun 2011. Kita tidak ingin melihat organisasi-organisasi profesi ini sekedar papan nama atau organisasi profesi yang tanpa memiliki agenda dan aksi nyata.

Agenda besar bangsa ini adalah masalah pembangunan karakter dan jati diri bangsa. Bagaimana pendidikan dan kurikulum sejarah yang terintegrasi dirancang; bagaimana para guru sejarah ditingkatkan kompetensi akademik, pedagogik, dan sosialnya; bagaimana buku-buku sejarah yang bermutu dan menarik serta hasil-hasil penelitian yang baik dipublikasikan; serta bagaimana membuat rekomendasi yang aplikatif bagi para pengambil kebijakan di bidang pendidikan adalah program-program kerja besar dan strategis bagi organisasi profesi sejarah dan pendidik sejarah di Indonesia.

Tanpa program kerja dan aksi nyata, jangan salahkan anak-anak didik kita seperti disinyalir oleh mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla. Atau jangan salahkan juga anak-anak didik kita jika guru sejarah bertanya,”Kapan terjadinya Perang Diponegoro?” maka jawaban mereka adalah “Hanya lima menit, selepas Magrib dan sebelum Isya, yaitu 18.25 hingga 18.30”. Matilah disiplin ilmu sejarah dan pendidikan sejarah di Indonesia, serta bangsa ini akan kehilangan karakter dan jati diri untuk selama-lamanya. []


 

Related posts