
JABARTODAY.COM – BANDUNG
Hingga memasuki usianya yang ke-201, Pemerintah Kota Bandung dinilai kurang memiliki kesadaran sejarah kota Bandung sebagai kota perjuangan bangsa. Hal ini dibuktikan dengan kurang pedulinya Pemkot Bandung yang membiarkan dibongkarnya Hotel Harapan di Jl. Kepatihan yang menjadi awal mula sejarah Bandung Lautan Api.
“Dibongkar habisnya gedung Hotel Harapan di Jl. Kepatihan yang mengandung nilai sejarah tinggi, adalah salah satu contoh rendahnya kesadaran sejarah para elit politik di kota Bandung ini. Hotel bersejarah itu dibongkar dan berubah jadi pertokoan. Padahal , di situlah Kolonel AH Nasution pada 24 maret 1946 yang memerintahkan agar Bandung harus jadi Lautan Api, “ ujar Sejarawan Unpad, Prof. Dr. Nina Herlina Lubis di acara talkshow SINDO Hot Topic yang dipandu Aldian Norman dan Fahrus Zaman Fadhly dari Jabartoday.com, Jumat (23/9).
Menurut Nina, banyak elit politik yang tidak menghargai sejarahnya dan tidak empati betapa dengan susah payahnya negeri ini didirikan.
Menanggapi hal itu, Wakil Walikota Bandung Ayi Vivanda menegaskan bahwa gedung Hotel Harapan di Jl. Kepatihan adalah milik swasta dan bukan miliki Pemkot Bandung. Ayi mengakui bila Hotel Harapan itu harus dipertahankan. Kendati, mesti ada insentif dari pemerintah baik pusat maupun daerah kepada pemilknya.
“Saya punya perhatian kuat untuk mempertahankan dan memelihara warisan sejarah dan budaya yang memiliki sejarah yang tinggi. Khusus untuk Hotel Harapan itu memang itu milik swasta. Dan, bila harus dipertahankan kita mesti memberikan subsidi berupa insentif agar situs bersejarah itu tetap dipertahankan,” ujar Ayi.
Karena itu, Ayi mengajak semua komponen di kota Bandung agar duduk bersama agar bisa membedakan mana situs yang merupakan heritage atau tidak. Keterlibatan sejarawan, menurutnya, sangat penting agar masyarakat luas bisa mengetahui nilai kesejarahan dari situs sejarah yang ada.
Lebih lanjut Nina menjelaskan masyarakat kota Bandung mesti dikembalikan kesadaran sejarahnya. Namun, pemerintah melalui dinas pendidikan ternyata tidak memiliki kepedulian dalam meningkatkan kesadaran sejarah. “Ada andil pemerintah yang memiskinkan generasi muda kita. Pelajaran sejarah menjadi bagian dari IPS dan hanya dua jam pelajaran,” keluhnya.
Menurut Nina, kurikulum yang diberikan pun harus membangkitkan kesadaran sejarah. Ia mencontohkan siswa-siswa dibawa langsung ke lokasi pertempuran. “Cara memberi materi pun yang bagus, jangan membuat anak bosan. Misalnya, membawa siswa langsung ke lokasi pertempuran sehingga siswa bisa merekonstruksi kembali sejarah para pendahulunya,” ujar Nina. (fzf)