JABARTODAY.COM- Pakar media Dr. Syafiq Basri Assegaf mengatakan, agenda setting media internasional sangat bias kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya dalam melaporkan kejadian-kejadian penting di Timur Tengah. Salah satu contohnya adalah meminggirkan pemberitaan kasus Yaman dalam benak masyarakat dunia.
” Ada agenda tersembunyi yang dilakukan negara-negara elite yang berkuasa di dunia, khususnya AS dan Saudi serta sekutu mereka (Inggris, Israel, dll) untuk ‘menyingkirkan’ Yaman dari benak masyarakat dunia. Hal itu memang disengaja, sehingga Yaman dianggap tidak penting,” jelas Syafiq di Jakarta, Senin (1/1/2018).
Syafiq menjelaskan, realitas yang sebenarnya terjadi, ‘digoreng’ oleh negara-negara itu (khususnya AS dan Inggris) agar tidak masuk dalam pembentukan realitas di benak pengelola media besar.
Selama ini, lanjut mantan wartawan senior majalah Tempo ini, ada beberapa media internasional yang paling banyak dikutip di seluruh dunia, seperti CNN, BBC, New York Times, Washington Post dan sejenisnya.
“Bersama agenda setting itu, mereka juga melakukan ‘priming’, agar media-media memilih berita yang lain. Berita itu lalu direkayasa sebagai ‘lebih penting’, dan bukannya Yaman, sebagai prioritas mereka,” jelas Syafiq berargumen.
Lalu apa tujuannya?
Menurut dosen pascasarjana Stikom The London School of Public Relations (LSPR) itu, tujuannya agar yang menjadi perhatian masyarakat dunia adalah selain Yaman. Mengurangi pemberitaan mengenai Yaman, tambah Syafiq, akan menciptakan kesan bahwa Yaman tidak penting; kurang memiliki ‘nilai berita ‘(news values) sehingga kurang layak diangkat jadi sebuah news story.
Syafiq melihat berbagai kasus kekerasan di Timur-Tengah, selama ini dibangun di atas dasar kedua agenda media tersebut.
Misalnya, tambah Syafiq yang juga dosen di Universitas Paramadina itu, dimunculkan kejadian-kejadian lain yang direkayasa sebagai ‘penting’ seperti kejadian-kejadian (ISIS dan sebagainya) di Siria, kudeta di Turki, modernisasi (palsu) di Arab Saudi, masalah Hariri di Lebanon, dan lainnya.
Apakah media luar negeri itu juga melakukan Framing?
“Tentu saja, itu semua bagian penting yang harus mereka lakukan, sebab proses membingkai (framing) liputan dipercayai memberi dampak terhadap persepsi audiens melalui isu utama (sebuah perkara) dan interpretasi mengenainya,” tutur Syafiq.
Syafiq menegaskan bahwa kalaupun media tersebut menulis tentang Yaman, maka pembingkaian (framing)-nya adalah dengan menunjukkan bahwa Yaman adalah pihak yang salah, pihak yang jahat adalah selain Saudi.
“Misal beritanya dibungkus dengan konsep yang menghubungkan Houthi dengan Syiah, sebuah mazhab yang selalu dituduh sesat, dsb; sedangkan Arab Saudi (dan AS, dkk) adalah yang baik, atau setidaknya tidak terlalu jahat, karena membela kepentingan rakyat Yaman (dari ‘kejahatan’ Houthi),” jelasnya.
Menurut Syafiq, Iran dan Houthi sendiri sudah berkali-kali membantah adanya kerjasama antar-mereka. Yang muncul di media justru tidak sama dengan realitas yang ada di lapangan.
Sejauh ini, kata Syafiq yang pernah liputan di iran ini menjelaskan, percaturan politik yang dilakukan tiga penguasa kuat di Timteng –Mohammad Bin Salman (Saudi), Recip Erdogan (Turki), dan Abdel Fattah El Sisi (Mesir) menggeser peran negara-negara yang ‘lemah’ seperti Lebanon, Syria, Irak, dan Yaman yang berada di pinggiran.
“Memang ada Iran, sebuah negara kuat lain di sana, yang juga berperan, tetapi ia sering menjadi sasaran tuduhan Saudi dan AS sebagai sumber masalah – dan kemudian dijadikan bahan untuk scenario penciptaan konflik-konflik seperti masalah nuklir, dan (yang lebih parah dan panjang) konflik Syiah-Sunni,” jelasnya.
Selama ini, AS diposisikan sebagai pihak yang benar dan Iran sebagai the bad guy karena kaitannya dengan Syiah. Konflik antar-mazhab itu, lanjut Syafiq, sebagaimana semua konflik lainnya, menjadi bahan ‘pelintiran’ yang menarik bagi media, karena pada dasarnya media sangat suka memberitakan konflik sebagai salah satu ‘news value’ yang penting.
Selaku pengamat dan ahli media, Syafiq juga tampil sebagai narasumber pada acara “Refleksi Akhir Tahun” yang diselenggarakan Komisi Solidaritas untuk Palestina dan Yaman di komplek perumahan DPR RI, Kalibata pada 30 Desember 2017. (tur)