Gempa Politik di depan Mata

Oleh : Zainal Bintang*

Gempa bumi yang melanda Lombok di propinsi Nusa Tenggara Barat dan kemudian Palu – Donggala di propinsi Sulawesi Tengah baru – baru ini memang memperihatinkan dan memilukan. Sebuah bencana kemanusiaan yang mencekam. Meluluh lantakkan sejumlah bangunan rumah tinggal maupun fasilitas umum. Membuat jantung kehidupan di daerah gempa sejenak berhenti berdenyut.

Rakyat juga yang akhirnya yang menderita. Selain menderita kerugian secara materiel juga kehilangan sanak saudara. Perubahan kehidupan mendadak membuat mereka  tergagap. Negara pun ikut tersuruk terkena imbas dari derita warga yang terkena musibah. Rehabilitasi menjadi tanggung jawab negara untuk memulihkan sarana dan fasilitas umum seperti perlistrikan, telekomunikasi dan instalasi pendukung dan kawan – kawannya.

Akan tetapi,  bencana alam itu  bagaimanapun dahsyatnya,- tanpa mengurangi rasa penghargaan dan empati yang setinggi – tinggnya kepada keluarga korban bencana alam dimanapun mereka berada,-  dapat dikatakan toh  ruang lingkup yang terkena hanya terbatas pada wilayah fisik tertentu di sebuah kecamatan  ; pada sebuah kabupaten yang terletak di sebuah propinsi. Artinya karena bersifat lokal makanya mudah diidentifikasi dan dilokalisasi. Namun  diberi label sebagai bencana nasional.

Lain halnya, dengan akibat yang akan ditimbulkan sebuah gempa politik. Sesuatu yang bukan tidak mungkin akan dapat terjadi juga pada negeri ini. Tentunya jika merujuk kepada eskalasi perpolitikan yang dari hari ke hari  memanas terus akhir –akhir ini. Terlebih sejak didaftarkannya paslon (pasangan calon) capres dan cawapres masing – masing kandidat , – walaupun hanya dua kubu yang ikut kontestasi,- pada 10 Agustus yang baru lalu.

Gempa politik sangat mungkin saja terjadi. Dan akibatnya sudah dapat dibayangkan. Kerusakan yang bakal ditimbulkannya pun sudah bisa diprediksi akan lebih kompleks. Jika gempa itu adalah gempa bumi, katakanlah paling banter adalah tsunami, akan  memakan korban yang berjatuhan semuanya bersifat fisik. Apakah fisik manusia maupun fisik bangunan serta fisik fasilitas dan instalasi.

Lain halnya dengan gempa politik,  goncangan dan daya rusaknya bisa melebar melintasi samudera dan pulau. Hal itu disebabkan karena yang namanya gempa politik itu berkaitan dengan infrastruktur ideologi. Bukan infrastruktur fisik seperti jembatan yang bisa dibangun jika runtuh.

Infrastruktur ideologi mampu menjangkau sasaran yang ada di pulau lain. Atas nama persamaan ideologi (perjuangan), beberapa komunitas yang berbeda adat, budaya, agama dan kepercayaan  dapat menyatu. Tercipta  hubungan yang intim, akrab dan kekeluargaan antar orang perorang. Bahkan membuat mereka  menyatu, sefaham dan seia sekata. Yang pada gilirannya akan terangkum di dalam sebuah kelembagaan organisasi dalam hal ini  organisasi parpol (partai politik) karena keterikatan kesamaan ideologis.

Perhelatan Pemilu serentak 2019 sudah banyak dibahas dari sisi kesulitan dan kerumitannya. Penyebabnya  karena para aktor politik harus bekerja keras mendulang suara pemilih (rakyat) sebanyak – banyaknya secara bersamaan : antara pemenuhan kebutuhan bonus elektoral untuk dirinya sebagai caleg (calon legislatif), beririsan dengan tugas pengumpulan bonus elektoral untuk paslon capres _ cawapres pilihan koalisi parpol pendukung dimana sang caleg tadi berasal.

Persoalan yang mendasar yang menjadi tantangan dan yang akan dihadapi para aktor politik mandataris parpol yang bertugas ganda itu, -sebagai caleg untuk dirinya dan sebagai petugas parpol untuk paslon capres – cawapres, –  adanya fakta di lapangan yang menunjukkan citra parpol di mata rakyat semakin lama semakin rendah alias terpuruk.

Sejumlah hasil lembaga survey ternama menunjukkan kepercayaan rakyat kepada parpol semakin lama semakin rendah. Hal itu diakibatkan  ulah sejumlah aktor politik yang mencuri uang negara, menyalah gunakan jabatan, yang tertangkap dan berurusan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan berakhir di lembaga pemasyarakatan Sukamiskin.

Perilaku koruptif aktor politik, menyebabkan bukan hanya yang bersangkutan itu yang dijauhi oleh rakyat. Bahkan juga parpol yang mengusungnya ikut menjadi pelengkap penderita yang dimusuhi rakyat. Hal tersebut pelan – pelan membuat publik merasakan  adanya jarak budaya antara dirinya dengan dengan parpol, lantaran teungkap adanya konspirasi antara politisi dengan parpolnya di dalam konteks perencanaan penjarahan uang rakyat dengan menggunakan jabatan publik yang disandangnya.

Dari pemilu ke pemilu intensitas aktor politik dan elite parpol yang menyapa dan mengeloni rakyat,  hanya diperlihatkan ketika menjelang dilangsungkannya perhelatan lima tahunan itu. Disatu sisi elite parpol lebih disibukkan oleh kasak kusuk untuk mendulang suara, tanpa mempersiapkan secara rapih dan berkesinambungan sebuah sistem kaderisasi sebagai “pembibitan”  calon pemimpin berideologis yang mumpuni.

Perburuan bonus elektoral yang dilakukan parpol itu dilakukan dengan cara – cara instan dan main comot,  telah membuat pembobotan  ideologi kedodoran dan tercecer jauh entah kemana. Demikian menguatnya semangat pengumpulan bonus elektoral sebagai target utama, membuat elite parpol membiarkan saja dimensi ideologi seolah barang rongsokan yang tidak punya makna.

Padahal persyaratan mutlak sebuah proses demokrasi yang baik dan sehat, harus ditandai dengan adanya sikap teguh elite parpol itu menjunjung tinggi ideologi sebagai jati diri. Eksistensi dan pembeda sebuah parpol dengan organisasi yang lain, adalah karena keterikatannya dan kesetiaannya dengan sebuah ideologi tertentu. Sejatinya setiap parpol harus dapat menampilkan suatu nuansa ideologis sebagai jati diri internal yang mengikat kader dan menjadi kebanggaan mereka.

Terus terang masalah ideologi inilah yang sudah lama diabaikan oleh elite parpol sebagai pegangan kuat oleh aktor sebuah parpol. Semua itu kini sudah tidak begitu dipersoalkan. Yang penting adalah bagaimana sebuah parpol itu bekerja keras mengumpul suara untuk memberinya legitimasi di parlemen dan meloloskan paslon capre – cawapres ke kursi puncak eksekutif setelah Pemilu.

Orientasi pengumpulan suara yang menjadi target program utama membuat munculnya kader karbitan namun kering ideologi diposisi sentral sebuah parpol. Hal mana membuat faktor mahar menjadi mesin penggerak penting untuk mendorong mulusnya transasksi jual – beli suara. Inilah yang dikenal dengan nama keren “money politic” alias politik uang.

Gelombang tinggi politik uang yang sedemikian rupa telah menafikan dimensi  ideologis. Gelombang tinggi tanpa ideologis itulah yang berpotensi menjadi gempa politik kelak di kemudian hari. Lambat atau cepat. Gesekan keras  persaingan dalam kontestasi di ajang Pemilu yang tidak lagi memiliki marwah ideologis itu hanya akan melahirkan hasil Pemilu yang tidak tahan gempa : Gempa politik.

 

*zainal bintang, wartawan senior dan pemerhati sosial budaya

 

Related posts