Kasus Anggrah dan Dunia Pendidikan Kita

akbp arief budiman_editedAKBP Arief Budiman, SIK.
Perwira Sespimen Angkatan 55 Tahun 2015

Bocah kelas 2 SD di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan,  Nur Anggrah Ardiansyah (8 tahun), tewas diduga akibat dianiaya rekannya berinisial R. Kabar tersebut membuat dunia pendidikan kita terhenyak. Bagaimana tidak, siswa kelas dua SD mampu melakukan penganiayaan kepada rekannya yang mengakibatkan korban tewas.  Anggrah dianiaya R di sekolahnya, Jumat (18/9) sekitar pukul 09.00 WIB. Anggrah jatuh tersungkur tak sadarkan diri usai dianiaya. Kemudian dia dibawa ke Puskesmas Kebayoran Lama.

Karena keadaan tidak membaik, Anggrah lalu dibawa ke RS. Fatmawati. Sembilan jam kemudian, sekitar pukul 18.00 WIB, korban dinyatakan meninggal dunia. R diduga menganiaya Anggrah lantaran diledek gendut dan babon oleh korban. Berdasarkan hasil otopsi pihak dokter RS Fatmawati, terdapat luka memar di belakang kepala, memar di dagu sebelah kiri, dan kepala mengalami pendarahan luas di selaput otak yang menyebabkan kehilangan kesadaran. Anggrah pun dinyatakan meninggal dunia pukul 18.45 WIB.

Kasus meninggalnya Anggrah membuat dunia pendidikan gempar. Berbagai komentar dan tanggapan pun datang dari berbagai pihak. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menilai pihak Sekolah Dasar 07 Pagi Kebayoran Lama, Jaksel, dinilai lalai dalam peristiwa tewasnya Anggrah. Komnas PA juga menilai sekolah melakukan pembiaran. Sebab perseteruan Anggrah dan R sudah terjadi sejak lama. Sekolah yang sudah mengetahui hal itu seharusnya dapat mengantisipasinya.

Kasus ini pun kemudian ditangani jajaran Polres Jakarta Selatan. Rapat koordinasi pun dilakukan jajaran  Polres Jakarta Selatan  dengan melibatkan sejumlah instansi dan pemerhati anak untuk mengambil langkah penyelesaian perkara ini. Rapat koordinasi tersebut digelar di Mapolres Jaksel pada Sabtu (19/9). Rapat dihadiri Kapolres Jaksel, Kombes Wahyu Hadiningrat dan didampingi Kasat Reskrim AKBP Audie Latuheru, Kasat Intel, Kasat Binmas dan penyidik Unit PPA. Selain itu, hadir juga dari Sudin Pendidikan Jaksel, P2TP2A, KPPPA, FHUI (Fakultas Hukum UI), KPMP Jaksel, BPMPKB (Badan Pemberdayaan Masyarakat & Perempuan dan Keluarga Berencana), Apsifor (Asosiasi Psikologi Forensik), PSMP Handayani, Dokter Forensik RSUP Fatmawati dan Kepala Sekolah SDN 07 Pagi Kebayoran Lama Utara. Seluruh pihak sepakat menyelesaikan perkara di luar pengadilan dan R dikembalikan ke orang tuanya.

Dalam menangani kasus ini, Polres Jakarta Selatan mengedepankan UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 21,  dengan opsi mengembalikan anak kepada orang tua dan dilakukan pembinaan oleh panti sosial.  Langkah mengembalikan kepada orang tua ini dilakukan dengan mengacu pada sistem peradilan anak. Sesuai pasal 7,  maka dilakukan diversi (musyawarah) dengan jangka waktunya 30 hari dan dihadiri oleh berbagai pihak. Keputusan ini tentunya harus dihormati sebagai sebuah langkah hukum. Meski demikian pengawasan atas putusan ini harus dilakukan.

Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR) mendorong agar R mendapatkan pendampingan psikolog. Pemulihan psikologis R adalah yang paling penting. Langkah pemulihan psikologis terhadap pelaku untuk menghilangkan traumanya, dan dikembalikan kepada orang tua. Jika di tangani oleh panti dikhawatirkan malah bertindak kriminal. Dari kasus ini juga timbul urgensi adanya standar penanganan kekerasan terhadap anak di sekolah. Dunia pendidikan hanya fokus terhadap mata pelajaran, bukan pada profil siswanya maupun masalah yang sedang dihadapi siswa. Ini tentunya menjadi catatan tersendiri bagi dunia pendidikan kita.

Sedangkan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPKB) DKI Jakarta sepakat mengembalikan R kepada orang tuanya dan dilakukan pembinaan. Pandangan serupa juga disampaikan  Hening Hapsari dari FH Universitas Indonesia. Ia  berpendapat untuk mengedepankan pemulihan keadaan dengan mediasi dan perdamaian. Restorative justice yang terbaik berguna untuk kepentingan tumbuh kembang anak. Kasus ini tentunya menjadi perhatian semua pihak, tidak hanya pemerintah, khususnya dunia pendidikan, tapi juga orang tua. Kita disadarkan betapa pendidikan anak-anak di sekolah belum cukup untuk membentuk karakter mereka menjadi manusia yang humanis dan jauh dari kekerasan. []

Related posts