Indonesia Satu Waktu

Oleh: M. Ichsan Loulembah

Asumsi bahwa pembagian waktu menjadi Waktu Indonesia Barat (WIB),
Waktu Indonesia Tengah (WITA), dan Waktu Indonesia Timur (WIT)
seperti diberlakukan sejak 1 Januari 1988 sebagai sesuatu yang taken
for granted tidaklah benar. Sejarah Indonesia pasca kolonialisme
menunjukkan, pada tahun 1950 Indonesia memiliki 6 (enam) wilayah
waktu. Masing-masing berbeda 30 menit.

Melalui Keppres Nomor 243 tahun 1963, Indonesia terbagi menjadi tiga
waktu tolok, merujuk pada kota-kota utama. Melalui Keppres Nomor 41
tahun 1987, Indonesia kembali hanya memiliki tiga wilayah waktu (WIB,
WITA, WIT). Dari sini jelas pembagian waktu adalah domain kekuasaan.
Para politisi dan keputusan politiklah yang menentukan waktu, bukan
para ilmuwan.

Penjelasan berikut bisa membantu memahami soal ini. Ketentuan beda
waktu untuk satu jam dengan perhitungan secara ilmiah = 15 derajat
busur, kata A. Sony Nursutan Hotama, tidak dipenuhi dalam penetapan
penunjukan waktu pada ketiga wilayah waktu di Indonesia tersebut.
Singapura dan Malaysia yang letaknya lebih barat daripada Pulau Jawa
memiliki ketentuan wilayah waktu yang sama dengan WITA.

Negara-negara tetangga Indonesia terletak dalam garis bujur dan
lintang yang relatif hampir sama dengan Indonesia. Karena itu
terdapat peluang penyesuaian kembali wilayah waktu dan penunjukan
waktu saat ini mengacu kepada wilayah waktu negara-negara tetangga
tersebut. Wilayah waktu Indonesia seharusnya berada di antara wilayah
penunjukan waktu Indonesia Tengah dan wilayah penunjukan waktu di
Papua Niugini. Ini berarti terdapat kemungkinan untuk menggeser
penunjukan waktu sebanyak satu jam ke depan pada wilayah waktu di
Indonesia (Dr. A. Sony Nursutan Hotama: 2005).

Pembagian waktu menjadi tiga membawa berderet konsekuensi dan
implikasi penting. PLN tak sanggup memenuhi kebutuhan listrik
nasional karena masyarakat lebih sedikit memanfaatkan sinar matahari
dan lebih lama berada di dalam rumah. Artinya, masyarakat lebih lama
mengonsumsi listrik. Sementara itu, konsumsi listrik di malam hari
kian banyak karena semua stasiun TV besar ada di wilayah WIB. Merujuk
pada patokan waktu WIB, acara prime time pukul 17:30 sampai 22: 30.

Konsekuensinya, masyarakat di wilayah Indonesia Timur (WITA dan WIT)
harus menonton acara TV satu-dua jam lebih lambat dari Indonesia
Barat. Ini aneh, meski mereka menyalakan listrik lebih dulu, tapi
tidurnya lebih lambat, dan sebaliknya bangun lebih cepat ketimbang
mereka yang ada di WIB. Anak-anak yang ingin menyaksikan bintang
idola mereka harus menunggu hingga larut malam—saat kantuk mulai
menyergap. Esok paginya mereka harus bangun lebih cepat agar tak
terlambat masuk sekolah.

Konsentrasi belajar pastilah tidak sebaik mereka yang menikmati tidur
cukup. Mungkin salah satu penyebab tak meratanya prestasi belajar
atau kesenjangan prestasi dan informasi (di kalangan siswa) di
Indonesia, bisa jadi berpangkal dari soal sederhana: tak seragamnya
mereka memulai aktivitas. Sebaliknya, industri televisi tidak
akan ”kehilangan” 1-2 jam dari prime time mereka.

Sementara itu, pola konsumsi listrik masyarakat, khususnya malam
hari, melahirkan beban puncak penggunaan listrik. Karena alasan
penghematan energi, negara-negara dengan empat musim dikenal Daylight
Saving Time (DST). Sekitar 95 negara atau negara bagian menerapkan
DST ini. Dengan memutar jarum jam mundur satu jam saat musim panas
(di negara dengan empat musim), konsumsi listrik bisa dihemat dalam
jumlah besar. Selandia Baru bisa menekan konsumsi energi listrik 3,5%
serta mengurangi konsumsi saat beban puncak 5% (M. Ashari: 2005).

Pengaruh pembagian waktu langsung dirasakan industri pariwisata dan
penerbangan. Bali lebih menarik wisatawan karena waktunya sama dengan
dari negara-negara asal wisatawan tersebut. Jepang adalah penyumbang
turis yang cukup signifikan, sementara Singapura adalah pintu masuk
yang teramat penting untuk disepelakan. Seperti kita tahu, semula
Bali masuk WIB, tapi melalui keputusan politik pemerintah pusat,
tahun 1987 waktu Bali digeser ke WITA.

Para pengusaha, profesional, pejabat publik dan pembicara seminar
laris tidak perlu tergesa-gesa dan bergegas ke bandara dinihari untuk
mengejar penerbangan ke salah satu kota di wilayah yang masuk WITA
dan WIT kini. Segala aktivitas bisa dilakukan satu hari dan bisa
kembali ke pusat-pusat ekonomi dan pusat-pusat pengambilan keputusan
politik di pulau Jawa tak terlalu larut malam.

ASEAN Common Time

Pembagian waktu menjadi tiga tersebut turut mendorong inefisiensi di
sektor produksi, jasa, pemerintahan, industri penerbangan dan
transportasi, perbankan, telekomunikasi dan pariwisata. Perusahaan-
perusahaan yang berkantor pusat di Jakarta (WIB) dan beroperasi di
Indonesia Timur, misalnya, merupakan salah satu pihak yang merasakan
dampak dari kebijakan pembagian waktu ini.

Ketika kantor mereka di wilayah WIB belum buka, kantor-kantor mereka
di Indonesia Timur sudah lebih dulu buka. Sebaliknya ketika kantor
mereka di Indonesia Timur sudah tutup, kantor pusat mereka malah
masih buka. Bayangkan, satu perusahaan memiliki ritme kerja yang tak
sama. Hasilnya? Inefisiensi dan terputusnya komunikasi.

Kuncinya ternyata ada di sini: perbedaan waktu dalam memulai
aktivitas yang menyebabkan produktivitas dan daya saing nasional
tidak optimal, inefisiensi, stabilitas moneter, krisis energi,
kebodohan, kemiskinan. Alasan-alasan ini pula yang mendorong Cina
meyatukan waktunya dari lima menjadi satu waktu tunggal. Padahal luas
negeri tirai bambu ini lebih besar ketimbang Indonesia.

Dalam konteks ini, ide penyatuan waktu yang sempat bergema beberapa
waktu lalu patut dihidupkan kembali. Penyatuan waktu akan
berimplikasi pada efektivitas kerja, efisiensi sumberdaya dan daya
saing nasional. Salah satu rekomendasi Seminar Nasional “Dampak
Pembagian Waktu di Indonesia terhadap Pola Konsumsi Energi dan
Kegiatan Ekonomi Nasional”, 8 Juni 2005 silam: meminta pemerintah
mengambil keputusan memajukan satu jam Waktu Indonesia Barat (WIB)
agar sama dengan Waktu Indonesia Tengah (WITA).

Di ASEAN, sejak tahun 1995 gagasan ini juga pernah didengungkan
melalui ASEAN Common Time (ACT). Intinya, mempertimbangkan
kemungkinan pernyatuan waktu antarnegara ASEAN atau ibukota negara-
negara ASEAN agar memudahkan kegiatan ekonomi, budaya, politik, dan
lain-lain.

Usulan ini mendapat respons positif dari kepala negara anggota ASEAN,
tapi pembahasan di level bawah belum menghasilkan kesepakatan. Krisis
moneter datang bergelombang pada tahun 1998, isu ACT tenggelam. Tahun
2004, Malaysia meminta agar ACT bisa kembali dibahas.

Jika penyatuan waktu mampu mendongkrak produktivitas dan daya saing
kita di tingkat global serta menggerus inefisiensi di banyak sektor,
mengapa pemerintah tidak segera menerapkannya? Merujuk pada
penggeseran Bali dari WIB ke WITA dan penyatuan waktu di RRC tempo
dulu: bukan ilmuwan yang menentukan pembagian waktu, tapi keputusan
politik.

Note:tulisan senada pernah dimuat Media Indonesia pada 23 Oktober 2007

Related posts