Sumpah Pemuda dan Sumpah Gue Masih Muda

Andi Suwirta

(Ketua Umum ASPENSI, Dosen Sejarah UPI, dan bersumpah sudah tidak muda lagi).

Istilah “pemuda” di Indonesia memang sarat dengan nilai-nilai perjuangan yang heorik dan patriotik. Sejak awal abad ke-20, mereka yang menamakan dirinya golongan muda mulai muncul dan ingin tampil beda dengan golongan tua. Mohamad Hatta, dalam pledoi Indonesia Merdeka yang ditulis pada tahun 1920-an (dengan demikian ketika beliau berusia 20-an tahun), dengan tegas menyatakan bahwa sebagai pemuda dirinya merasa memiliki pandangan dan sikap yang berbeda dengan orang-orang tua. Jika golongan yang terakhir itu acapkali sudah puas dengan kemapanan yang ada, maka golongan pertama selalu gelisah dan ingin merombak realitas dan struktur sosial yang sudah mapan.

Nampaknya begitulah sunatullah dalam sejarah kehidupan para pemuda Indonesia. Karena itu tidak mengherankan jika pada dekade pertama dan kedua abad ke-20, ketika pemerintah kolonial Belanda di satu sisi dengan bangga mendeklarasikan Pax Neerlandica, sebuah Hindia Belanda yang sudah aman dan tertib karena proses represi, eksploitasi, dan diskriminasi sosial; sedangkan di sisi lain muncul arus utama adanya gejala parokialisme berbasis etno-sentrisme pada masyarakat Indonesia, maka para pelajar sekolah menengah dan mahasiswa yang masih tergolong muda itu pada tahun 1926 dan 1928 memandang perlu untuk melakukan “kerapatan pemoeda”.

Peristiwa tanggal 28 Oktober 1928, dalam konteks zamannya, adalah sebuah sikap mahiwal alias menyimpang dari arus utama sejarah yang normal. Para pemuda melakukan pembangkangan dan kritik sosial yang tajam kepada orang-orang tua yang sudah senang dan nyaman dengan kemapanan sistem kolonial. Mereka kemudian bersumpah untuk “mengaku bertanah air dan berbangsa yang satu, serta menjunjung bahasa persatuan yang satu, yaitu INDONESIA”. Itulah peristiwa Sumpah Pemuda yang monumental dan dicatat dengan tinta emas tentang pemikiran, wawasan, dan peranan pemuda dalam sejarah Indonesia.

Pemuda dan Tradisi Sumpah

Para pemuda Indonesia, dalam perkembangan selanjutnya, memang gemar bersumpah untuk menunjukkan komitmen dan bahkan heroisme. Pada masa awal revolusi Indonesia, para pemuda kita juga banyak yang membuat sumpah. Misalnya, “saya bersumpah tidak akan menikah” atau “saya bersumpah tidak akan mencukur rambut saya” atau “saya bersumpah tidak akan pulang ke rumah” sebelum Belanda angkat kaki dari Indonesia. Jadi bisa difahami mengapa tokoh legendaris semacam Tan Malaka, yang hidup membujang, dikagumi oleh banyak pemuda. Bisa difahami pula mengapa gaya rambut tokoh-tokoh pemuda kita pada masa revolusi Indonesia itu panjang-panjang alias gondrong.

Tapi memang tidak hanya gaya, para pemimpin Indonesia sejak masa merdeka benar-benar masih berusia muda. Coba lihat Soekarno dan Mohamad Hatta, jadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia dalam usia 40-an tahun (betapapun oleh para pemuda pada waktu itu sudah dilabel sebagai “golongan tua”, sehingga perlu diculik ke Rengasdengklok agar mau memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan segera). Soetan Sjahrir jadi Perdana Menteri pertama Indonesia dalam usia 37 tahun. Soedirman menjadi Penglima Besar Tentara Indonesia dalam usia 29 tahun. Bahkan Soeharto sudah menceburkan diri dalam pertempuran di masa revolusi dalam usia 20-an tahun dan 20 tahun kemudian, dalam usia 40-an tahun, menjadi Presiden kedua Republik Indonesia.

Lahirnya Orde Baru (1965-1998) juga karena dipelopori dan dimotori oleh para pemuda. Para pelajar dan mahasiswa yang tergolong muda tersebut, dengan didukung oleh tentara Indonesia, mendeklarasikan Tri Tura (Tiga Tuntutan Rakyat). Mereka menuntut pembubaran PKI (Partai Komunis Indonesia) sebagai kekuatan atheis dan anti demokrasi. Mereka menuntut perbaikan ekonomi dalam rangka menegakkan negara kesejahteraan (welfare state). Mereka juga menuntut kompetensi dan integritas pribadi para pejabat negara agar tidak korup, hidup mewah dan hedonis, serta menghina kaum wanita (fenomena maraknya praktek poligami di zaman pemerintahan Soekarno).

Di era Reformasi, sejarah Indonesia kembali mencatat kiprah dan peranan para pemuda. Sedikit berbeda dengan kedudukan para pemuda di awal Orde Baru, para pelajar dan mahasiswa yang masih muda dan berjuang demi tegaknya Reformasi ini berani melawan tentara Indonesia yang telah menjadi alat pemerintah, bukannya alat negara; sebagaimana diamanatkan oleh “bapak tentara Indonesia”, Panglima Besar Jenderal Soedirman, yang menyatakan bahwa pemerintah boleh berganti setiap hari, tapi tentara Indonesia akan tetap bersama-sama negara Republik Indonesia.

Para pemuda di era Reformasi pun kemudian bersumpah dan menuntut agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dikotori oleh praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang akan meruntuhkan negara dan merendahkan martabat bangsa Indonesia; sebagaimana dialami dan dirasakan oleh penyair terkenal, Taufik Ismail, dengan menyatakan MAJOI (Malu Aku Jadi Orang Indonesia).

Mengaku Masih Muda

Sayang sekali, kiprah dan perjuangan para pemuda di era Reformasi itu tidak dibarengi dengan tampilnya tokoh-tokoh muda sebagai pemimpin bangsa Indonesia. Jika kita membandingkan dengan pengalaman hidup berbangsa dan bernegara pada masa Revolusi dan bahkan pada masa awal Orde Baru, kini para pemimpin Indonesia, betapapun mengklaim sebagai tokoh Reformasi, sudah tergolong orang-orang yang berusia tua.

Para pemuda zaman sekarang sering menyindir mereka sebagai manusia “SIALAN” alias Usia Lanjut. Memang, kalau kita perhatikan para Presiden Indonesia di era Reformasi, mulai dari B.J. Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono, rata-rata sudah berusia di atas 60-an tahun. Tapi memang kalau ditanya soal semangat, mereka umumnya mengaku dan bersumpah “masih muda”.

Saya jadi teringat akan gagasan Menpora (Menteri Pemuda dan Olahraga) tahun 2009 yang ingin membatasi golongan “pemuda” adalah mereka yang berusia antara 18-35 tahun. Ternyata batasan tersebut banyak dikritisi dan bahkan ditolak oleh mereka yang bersumpah “masih muda” tapi sesungguhnya sudah berusia tua. Alasan penolakan mereka masih sangat klasik, karena – kata mereka – yang penting “semangat”, bukan batasan usia. Mereka tentu lupa akan pepatah yang mengatakan “semangat besar, tenaga kurang”. Atau ketika ada peringatan “Sumpah Pemuda”, mereka juga bilang “Sumpah Gue Masih Muda”.

Orang-orang tua nampaknya harus banyak belajar dari pengalaman sejarah. Contoh sederhana mengenai “nasib” orang muda dan orang tua, dalam sejarah bangsa kita, ada pada diri Jenderal Soedirman dan Jenderal Soeharto. Soedirman mati muda dalam usia 30-an tahun, ketika bangsa Indonesia meraih kemerdekaan penuh pada tahun 1950 dan Soedirman menjadi wira bangsa karena jasa-jasa perjuangannya dikenang sepanjang masa. Soeharto muda di era revolusi tahun 1940-an adalah “bunga-bunga pertempuran” yang elegan, Soeharto di tahun 1965 adalah jenderal terkenal karena mampu menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman komunis yang atheis, dan bahkan Soeharto di tahun 1970/1980-an pun masih mendapat pengakuan sebagai “bapak pembangunan” karena, salah satunya, mampu membawa bangsa Indonesia ber-swasembada pangan.

Sayang sekali Soeharto melupakan pengalaman dan perjuangan Soe Hok Gie, tokoh pemuda Angkatan 1966 dan ikut membidani lahirnya Orde Baru. Menurut Soe Hok Gie, yang juga seorang mahasiswa Jurusan Sejarah UI (Universitas Indonesia), “nasib baik adalah mati muda, dan nasib sial adalah mati tua”. Soe Hok Gie memang mati muda dan namanya “tenar” dalam sejarah gerakan mahasiswa Indonesia. Sementara Soeharto di usia tua, sayang sekali, harus menghadapi banyak hujatan dan dicap sebagai Bapak KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di Indonesia. Stigma buruk di usia senja itu seolah menghapus peran Soeharto muda sebagai “bunga pertempuran” di tahun 1940-an, Smiling General yang anti komunis di tahun 1960-an, “bapak pembangunan” di tahun 1980-an, dan bahkan menegasikan sikap hidup Soeharto yang puritan, khususnya kepada wanita, dengan tetap setia kepada 1 isteri tercinta.

Refleksi Sumpah Pemuda

Jadi, dalam rangka menyambut Hari Sumpah Pemuda ini, sudah saatnya orang-orang tua memberi kesempatan kepada anak-anak muda. Orang-orang tua, cukuplah menjadi “bapak bangsa”, yang dihormati karena kebijaksanaan dan wawasannya yang jembar.

Jika bangsa Indonesia ingin maju dan sejahtera nampaknya harus diterajui oleh orang-orang muda. Benarlah slogan mengatakan, “Yang muda yang bekerja”. Sementara yang tua, sebagaimana ditunjukkan oleh Soewardi Soerjaningrat muda ketika sudah menjadi tua (Ki Hadjar Dewantara), cukuplah dengan memberi teladan yang baik, menjadi sumber motivasi dan inspirasi yang tinggi, serta memberi nasihat dan pedoman yang bijak kepada generasi muda (hing ngarso sung tulodo, hing madyo mangun karso, tutwuri handayani). Semoga.

 

Related posts