JABARTODAY.COM – BANDUNG
Anak Indonesia menjadi salah satu pihak yang sangat rentan mengalami tindak kekerasan. Ironisnya, kekerasan tak hanya terjadi di luar rumah. Di lingkungan keluarga pun banyak anak mengalami kekerasan.
“Pengalaman saya menjemput korban tindak kekerasan anak mengungkap fakta bahwa banyak anak yang mengalami kekerasan di lingkungan keluarga. Dua bulan lalu, orang tua di Bekasi menggorok anaknya yang berusia 2,5 tahun disaksikan kakaknya yang berusia enam tahun,” kata Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat Netty Prasetiyani Heryawan saat menjadi pembicara seminar kependudukan di Bale Rumawat, kampus Universitas Padjadjaran (Unpad), Rabu (4/7).
Netty juga pernah menjemput seorang anak perempuan berusia 11 tahun yang sudah melahirkan bayi laki-laki. Ada lagi anak perempuan berusia 12 tahun yang dijemput dari sebuah tempat hiburan yang setiap harinya melayani sekitar lima pria hidung belang. Setelah ditelusuri, sebagian besar kasus yang melibatkan anak sebagai korban kekerasan berasal dari keluarga miskin atau keluarga bermasalah.
Temuan lainnya menunjukkan adanya kebanggaan orang tua manakala anak perempuannya rajin membelikan suatu barang. Banyak di antaranya mereka yang tidak memedulikan dari mana asal uang tersebut. Pengabaian inilah yang menjadikan kondisi anak makin tidak terkendali.
“Dalam beberapa kasus, anak-anak kita tidak sadar bahwa mereka telah menjadi korban. Anak-anak yang dilacurkan misalnya, mereka beralasan bekerja untuk membantu orang tua. Atau, ada juga yang bilang penghasilannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, seperti membeli handphone, pulsa, mengecat rambut, dan lain-lain,” kata Netty.
Fakta-fakta di atas, imbuh Netty, menyiratkan pesan betapa pentingnya keluarga bagi tumbuh kembang anak. Hanya keluarga berkualitas yang bisa melahirkan penduduk berkualitas. Sebaliknya, kemiskinan terus mereproduksi dirinya sehingga terus berkembang dan membuat lingkaran setan kehidupan.
“Dalam kasus anak usia 11 tahun yang melahirkan anak, pasti suaminya bukan seorang lulusan sarjana, apalagi pejabat eselon II. Tidak jelas juga suaminya siapa. Perempuan tadi adalah anak dari seorang ibu yang bekerja untuk orang lain, sementara bapaknya bekerja di luar kota. Anak kecil tadi diurus oleh seorang kakek bejat yang merupakan tetangganya,” papar Netty.
Karena itu, Ketua TP PKK Jawa Barat ini menegaskan bahwa salah satu upaya memutus mata rantai kemiskinan dan kekerasan anak adalah melalui pendidikan. Anak-anak harus mendapat akses seluas-luasnya untuk memasuki lembaga pendidikan. Penanganan masalah anak juga tidak bisa dilakukan secara parsial, melainkan butuh kerjasama semua pihak.(NJP)