JABARYODAY.COM – SURABAYA
Sejumlah ulama anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) menunjukkan sikap lebih lunak mengenai metode operasi pria (MOP) atau vasektomi. Hal ini mengemuka dalam Seminar Eksekutif Peningkatan Kesertaan KB Pria untuk Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Program KB Bagi Tokoh Agama yang berlangsung di Surabaya, Sabtu 29 September 2012. Seminar ini diikuti para ketua MUI tingkat provinsi se-Indonesia.
Sekretaris Jenderal MUI Pusat HM Ikhwan Sam mengungkapkan, sikap ulama berpijak pada hasil fatwa MUI yang dikeluarkan di Cipasung, Tasikmalaya, pada 11 juni 2012 lalu. Sidang yang diikuti para ahli fatwa MUI tersebut menyebutkan bahwa vasektomi dibolehkan dengan syarat untuk tujuan yang tidak menyalahi syari’at, tidak menimbulkan kemandulan permanen, ada jaminan dapat dilakukan rekanalisasi yang dapat mengembalikan fungsi reproduksi seperti semula, dan tidak menimbulkan bahaya (mudharat) bagi yang bersangkutan.
“Saya kira menjadi aib kalau masih ada ulama yang melihat masalah kependudukan itu bukan masalah, dunia masih luas, dan lain-lain. Apalagi ada yang mengatakan, ‘Emang gue pikirin, KKB sudah ada yang menangani.’ Saya yakin tidak ada yang mengatakan itu,” kata Ikhwan di hadapan para ketua MUI provinsi.
Ikhwan Sam menjelaskan, sikap MUI terhadap vasektomi berkembang dari waktu ke waktu. Penegasan MUI dituangkan kali pertama pada sidang fatwa di Jakarta pada 1979 lalu. Fatwa menghasilkan tiga keputusan; (1) Pemandulan dilarang oleh agama. (2) Vasektomi dan tubektomi adalah salah satu usaha pemandulan. (3) Di Indonesia belum dapat dibuktikan bahwa vasektomi atau tubektomi dapat disambung kembali.
Sikap MUI berkembang. Sidang fatwa yang dilaksanakan di Padangpanjang, Sumatera Barat, pada 26 Januari 2009 menghasilkan dua keputusan. Pertama, rekanalisasi atau penyambungan kembali saluran sperma yang telah dipotong tidak menjamin pulihnya tingkat kesuburan kembali. Kedua, vasektomi tergolong kategori pemandulan yang diharamkan.
Pandangan MUI tentang vasektomi mengalami perkembangan signifikan dalam sidang fatwa yang digelar di Cipasung tahun ini. “Pada dasarnya masih dilarang tetapi membolehkan dengan beberapa catatan. Vasektomi juga harus dilakukan secara sukarela dan dilakukan secara cermat. MUI lebih berhati-hati sebagai bentuk tanggung jawab kepada umat,” kata Ikhawan.
“Pendapat ulama bersumber pada pengetahun serta hal-hal terkait dengan peran ulama. Ulama memiliki tangungjawab menjelaskan sesuatu yang berkait dengan perintah agama. Peran ualama dalam KB adalah pertimbangan keagamaan. Dalam hal ini, berkaitan dengan halal-haram, boleh-tidak boleh, kedaruratan, dan kehati-hatian. Ada mekanisme kerja yang akan senantiasa berlaku di kalangan ulama. Ada juga etika, patut tidak patut ulama melakukan itu,” Ikhwan menambahkan.
Di tempat yang sama, Ustad Nakha’i MA menjelaskan, pengecualian yang muncul dalam fatwa dengan sendirinya membolehkan vasektomi. Syarat-syarat yang mengemuka dalam fatwa sudah terbantahkan melalui serangkaian uji coba yang dilakukan para ahli urologi. Hasilnya, pelaku vasektomi sudah bisa memulihkan fungsi reproduksinya setelah melakukan rekanalisasi atau penyembungan kembali.
Sejumlah ulama yang menghadiri pertemuan juga berpendapat yang sama. Beberapa di antaranya adalah Ketua MUI Yogyakarta dan Sulawesi Tenggara yang mengungkapkan bahwa vasektomi menjadi salah satu solusi menekan kemiskinan umat di daerah masing-masing. “Saya tadi lebih hati-hati untuk menyebutkan halal. Ternyata para kiai sudah terbuka mengungkapkannya,” kata Nakha’i.
Pendapat lebih tegas datang dari Kiai Cholil Nafis PhD, ahli tafsir penulis buku Fikih Keluarga. Berangkat dari fikih sosial yang digagas Kiai Sahal, Cholil mengungkapkan, “Tanzim al nasl (pengaturan keturunan), bukan tahdid al nasl (pembatasan keturunan) dalam arti pemandulan (‘amaliatu al ta’qim) dan aborsi (isqath al-haml wa al ijhadl) untuk kepentingan keluarga (mashlahatu al ‘iyal).” Dengan demikian tidak bertentangan dengan hukum.
Lebih jauh dia menjelaskan, fikih sosial ini bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syariat Islam. Pemecahan problem sosial merupakan upaya memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekuen atas kewajiban mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum.
“Secara operasional, fikih sosial berusaha mengintegrasikan maqasid al syariah ke dalam proses pengembangan kerangka teoritik fikih. Berarti, hikmah hukum harus diintegrasikan ke dalam illat (alasan) hukum, sehingga diperoleh suatu produk hukum yang berorientasi pada prinsip kemaslahatan umum,” tandas Cholil.
Sejalan dengan itu, Cholil menilai ledakan jumlah penduduk merupakan bagian dari masalah demografi. Tapi, tak hanya itu sebenarnya, problem ini juga berbuntut pada dimensi sosial dan budaya. Lebih khusus, terkait pada sisi perubahan sistem nilai dan norma dalam masyarakat. Karena itu, penanganannya pun diperlukan strategi pendekatan dari berbagai arah secara terintegrasi. Salah satunya melalui pendekatan agama.(NJP)