Metode Filsafat Menempa Jalan Menuju Yakin dan Dawam

Andre Anugrah, Mahasiswa Doktoral Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia

Dalam sebuah untaian hadits yang mulia lagi kaya akan makna, diriwayatkan dari seorang sahabat Nabi Allah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam Sufyan bin Abdullah Ridwanallahuanhu, Baginda Rasulullah bersabda: “katakanlah: Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah” (H.R. Muslim). Penuturan yang amat singkat namun sarat akan makna atau yang dikenal dengan Jawami’ al Kalim (H.R. Bukhari dalam Kitabut Ta’bir) adalah salah suatu mu’jizat yang melekat pada lisan Beliau ‘Alaihi Shalawatuwasalam. Sabda beliau ini singkat secara redaksi namun luas lagi mendalam secara isi. Tela’ahlah bagaimana kalimat majemuk bertingkat ini memiliki renuntunan dalam logika dan kerunutan dalam retorika. Substansi yang sedang dikomunikasikan beliau ‘Alaihisholawatuwassalam di dalam untaian mutiara hikmah ini ada dua yang pertama dan utama adalah Iman yang merupakan keyakikan dan kepercayaan yang amat sangat kokoh tertancap di dalam sanubari setiap insan yang akan mendorong seseorang untuk terus-menerus melakukan hal demi hal yang diyakini benar oleh hati, lidah, dan teramal dalam aksi. Substansi kedua merupakan konsekuensi dari iman yakni istiqomah (steadfast) yang bisa kita maknai juga dengan kedawaman, konsistensi, kedisiplinan dan kesabaran multifaktorial dalam menjalankan apa-apa yang telah diimani. Filsafat Ilmu dan atau pengetahuan dapat dijadikan jarum tenun yang berperan praktis dan efektif merajut benang-benang indah istiqomah di atas hamparan kain iman yang kokoh. Di dalam secarik tulisan ini, saya akan mencoba menjelaskan bagaimana tiga pilar filsafat ilmu hadir sebagai sebuah metodologi komprehensif dan efektif dalam memfasilitasi penuntut ilmu dalam proses penempaan keyakinan dan pendawaman kemahiran. Tiga pilar besar tersebuat adalah Ontologi, Aksiologi dan Epistemologi.

Ontologi di dalam filsafat ilmu adalah sebuah metodologi yang membahas tentang hakikat sesuatu (eksistensi dan kebenaraan ada), apa yang ingin diketahui terhadap sesuatu tersebut, apakah sesuatu tersebut nyata dan benar, dan lain sebagainya. Segala sesuatu yang hendak kita imani hendaknya mampu kita dibuktikan eksitensinya. Keyakinan terhadap keberadaan dan kenyataan sesuatu ini akan melahirkan niat atau tujuan yang lurus, dan mengindari kita dari misorientasi (salah tujuan), disorientasi (tersesat dalam mencapai tujuan) ataupun malorientasi (keliru dalam mencapai jalan menuju tujuan). Misorientasi dan disorientasi kerap menerpa para penuntut ilmu terutama dikarenakan lemahnya penerapan kaidah ontologi dalam perumusan keyakinan awal dampak dari bercampurnya niat dan, atau tidak ikhlas. Ikhlas adalah memurnikan niat sebagaimana air mineral steril yang kandungannya bebas dari batu kerikil, kuman ataupun aneka makro maupun mikro organism yang dapat mempengaruhi bahkan merusak kemurnian air tersebut. Penerapan ontologi filsafat ini juga berlaku dalam ragam aktifitas pemerolehan ilmu lainnya baik itu ilmu Syar’i maupun duniawi yang bermanfaat. Saya beri contoh diri saya sendiri; saya merupakan seorang penuntut ilmu yang merambah dunia kebahasaan (Linguistik) dengan konsentrasi pada wilayah fonetik-fonologi. Mengapa saya memilih program linguistik dibandingkan program pengajaran bahasa inggris padahal S1 dan S2 saya adalah Pendidikan Bahasa Inggris. Jawabannya adalah asbab “Ontologi” di mana saya melakukan perbandingan substansial antara Pendidikan Bahasa Inggris dan Linguistik Terapan yang melabuhkan pilihan saya pada Linguistik dari pada Pendidikan Bahasa Inggris. Sama halnya dengan pertanyaan mengapa saudara memilih mendawami fonetik dan fonologi sementara linguistik sekarang kental dengan AWK (Analisis Wacana Kritis), dan dan seterusnya. Jawabannya sama yakni “Ontologi” di mana saya lebih memahami hakikat fonetik-fonologi dan pemeroleh bahasa kedua melebihi Kajian Wacana, Linguistik Forensik, Linguistik Antropologi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, besar harapan saya agar setiap penuntut ilmu mengenali hakikat dirinya, penciptannya, dan kemauan terbesarnya. Dengan kata lain, konsep dan aplikasi ontologi akan membantu kita mengetahui hakikat sesuatu yang bermanfaat. Jika ontologi ini kita gunakan untuk mengetahui hakikat Tuhan Yang Maha Esa, iapun akan mendesak kita untuk mencari bukti demi bukti untuk menyokong bahwa Tuhan yang telah kita imani atau sedang akan kita imani memang ada.

Aksiologi merupakan pilar ketiga dalam filsafat ilmu yang dicanangkan oleh sementara filsuf. Akan tetapi, saya berpendapat bahwa Aksiologi dalam urutannya seharusnya ada pada urutan kedua setelah Ontologi. Mengapa demikian? Dikarenakan Ontologi berhasrat dalam mengulik nilai kegunaan suatu ilmu (what for) dan signifansinya. Pada dasarnya signifikansi masih berputar di wilayah hakikat eksistensi. Logikanya ketika kita sudah mengetahui, saya ambil contoh, hakikat Morinda Citrifolia (Mengkudu), berpontensi besar setelahnya kita akan memiliki keinginan untuk mengetahui apa kegunaan buah mengkudu ini? Dan setelahnya baru kita akan bertanya bagaimana cara mengolahnya, memanfaatkan, dan seterusnya berkaitan dengan cara atau metodologi (Epistemologi). Metode Aksiologi ala filsafat ilmu akan menjadikan kita sebagai insan yang kritis yang tidak mudah jatuh bergampangan meyakini sesuatu memiliki nilai, sesuatu layak dilakukan, terlebih lagi sesuatu itu layak didawamkan (istiqomah). Berpikir dengan aksiologi sama dengan berpikir dengan menggunakan neraca nilai dan parameter pantas, kurang pantas dan tidak pantas. Sehingga ketika kita memutuskan untuk melakukan sesuatu yang kita yakini ada, setelahnya kita akan berpikir dan menimbang di mana di antara yang ada ini yang paling besar nilainya, paling banyak manfaatnya dan paling tinggi skala urgensinya. Sehingga kita akan memampukan serta mendesak diri untuk melakukan hal-hal terpenting terlebih dahulu (First Things Frist) dengan prioritas satu, dawam (istiqomah) di atas hal-hal terpenting tersebut sehingga hasil yang kita harapkan, InsyaaAllah, akan jauh lebih optimal sesuai ekspektasi dan usaha kita. Sebagai contoh, saya merupakan seorang mahasiswa yang ingin menulis disertasi di wilayah fonologi (as a short-term goal) dan menjadi ahli fonologi di masa yang akan datang (long-term goal), oleh karena itu agar hasil dan realita sesuai dengan cita-cita, saya akan berusaha menapak  di atas prioritasnya prioritas. Boleh jadi, kegiatan literasi bidang saya akan mengerucut pada hal ihwal fonologi seperti analisis segmen dan suprasegmen, teori-teori perbandingan pemerolehan bahasa wilayah fonologi, kajian eror global dan lokal dan lain sebagainya yang terkait dengan kemahiran yang hendak saya akuisi. Nah, pendawaman (istiqomah) yang intensif akan terasa lezat ketika kita memahami konsep dan aplikasi aksiologi dan menyoal hal ihwal nilai dan kebermanfaatan suatu ilmu yang hendak didawami dan didalami.

Epistemologi, pilar yang ketiga, adalah pilar yang amat terpenting dalam filsafat ilmu. Pilar ini memiliki sifat metodologis yang tinggi. Ia berhasrat kuat mempelajari secara kritis sumber, struktur, dan kebenaran pengetahuan. Epistemologi ini mempelajari secara kritis, normatif dan evaluatiif mengenai bagaimana pengetahuan yang memiliki hakikat ada dan bernilai tinggi diperoleh atau dicapai oleh manusia. Oleh karena itu, pemahaman konsep dan aplikasi dari epistemologi filsafat akan mempermudah seseorang untuk menjadi penuntut ilmu yang strategis, aktif, dan dinamis tidak hanya dalam memaknai eksistensi dari sebuah ada (yakin), tetapi juga mendesak seorang penuntut ilmu bahkan juga ahli ilmu senantiasa menemukan ragam metodologi praktis dan efektif dalam memperoleh pengetahuan. Saya ambil contoh, para Imam Ahli Hadits dari Tabi’in sampai dengan zaman sekarang senantiasa mengonsepkan metodologi demi metodologi, kebaruan demi kebaruan guna untuk mempermudah analisis tentang derajat hadits yang kita kenal dengan ilmu Musthalahul Hadits, di dalamnya-pun ada ragam cabang metodologi khas dan terperinci seperti metodologi penilaian rantai penyampai hadits yang dikenal dengan Al-Isnaad dan Ar-rijal, metodologi penilaian teks hadits yang dikenal dengan Al-Mattan, dan bahkan sampai ke metodologi untuk mengetahui penyakit-penyakit hadits yang ma’ruf dikenal dengan istilah Al-‘Ilaal. Renungkanlah bagaimana epistemologi menempa langkah menuju yakin yang lebih yakin, dawam yang lebih dawam. Sehingga para praktisi pengetahuan akan semakin intensif menggali dan menggali beraneka ragam potensi dari ilmu yang mereka pilih untuk ditekuni. Pengetahuan yang aplikatif atas epistemologi akan menambah keyakinan seseorang tidak hanya terhadap Sang Pencipta, namun juga terhadap apapun entitas yang ingin ia ketahui secara mendalam. Epistemologi akan merangsang lahirnya pemikir-pemikir alternatif yang akan mempermudah orang lain untuk memperoleh sesuatu yang sukar dicapai. Kritis, alternatif dan strategis adalah kunci pemerolahan sesuatu dengan tingkat keberhasilan, keefektifan dan kebermanfaatan yang tinggi. Pemahaman seorang fonetisian terhadap epistemologi pengetahuan akan membuatnya berusaha keras menempa jalan tol menuju kesuksesan pengajaran pengucapan bahasa target, pemahaman seorang menteri pendidikan terhadap epistemologi akan membuatnya berpikir strategis, komparatif dan alternatif dalam memformulasi kurikulum-kurikulum pendidikan di negaranya, pemahaman seorang dokter spesialis terhadap epistemologi akan membuatnya kritis dalam meresepkan obat-obat yang amat sangat mujarab bagi pasien-pasiennya dan lain sebagainya. Tentunya, ada ribuan wilayah pengetahuan yang diuntungkan dengan pilar yang ketiga ini.

Akhirul Kalam, Rasulullah Yang Mulia Shalallahu’alaihi Wassalam bersabda: “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (H.R. Muslim). InsyaaAllah, telah kita diskusikan bagaimana metode ontologi, aksiologi dan epistimologi mengambil peranan dalam menempa jalan untuk ditempuh menuju keyakinan yang lebih kokoh dan keistiqomahan yang lebih dalam (instensif) dan dawam (stabil dan konsisten). Tidak hanya itu, tiga pilar yang sangat bermanfaat ini juga akan menempa otaknya kepala dan otaknya mata hati kita untuk senantiasa berusaha untuk menjadi insan yang strategis, teguh, cerdas, kritis dan efektif dan kekeuh dalam memperoleh apa-apa yang bermanfaat sang diri, menggenggam erat Iman, dan istiqomah di atasnya. Niatkanlah metodologi filsafat sebagai bagian dari jalan yang akan mempermudah langkah kita menuju Al-Jannah Al-Firaus Al-A’la, Allahumma Aamiin.

Related posts