Jabar Rawan Peredaran Uang Palsu

JABARTODAY.COM – BANDUNG
Modus operandi pemalsuan uang rupiah terus berkembang dari waktu ke waktu. Yang terbaru, pemalsuan uang rupiah banyak dilakukan melalui mesin fotokopi berwarna. Teknik ini menghasilkan uang palsu (upal) lebih presisi dibanding metode lainnya.
“Modusnya beragam. Umumnya melalui pencetakan dengan teknis offset printing dan print out biasa. Nah, kini berkembang melalui mesin fotokopi warna. Hasilnya lebih mirip dengan uang asli,” terang Sekretaris Umum Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (Botasupal) Badan Intelejen Negara (BIN) Brigjen Pol Tjetjep Agus S saat memberi sambutan pada seminar dan diskusi panel di kantor Bank Indonesia (BI) Bandung, Jalan Braga, Bandung, Kamis (11/10).
Dalam beberapa kasus, upal yang berhasil diamankan petugas kepolisian sudah dilengkapi dengan sejumlah instrumen keaslian uang. Sehingga, mereka yang kurang teliti akan mudah mengira bahwa upal yang diterimanya asli. Pelaku berhasil meniru penomoran, memasukkan implant fibres, memberikan huruf timbul, bahkan memasukkan benang pengaman. Upaya manipulasi tersebut disempurnakan dengan menyemprotkan cairan khusus sehingga upal yang dihasilkan benar-benar mirip uang asli.
Untuk mencegah pemalsuan melalui mesin fotokopi, terang Tjetjep, pemerintah telah mengeluarkan aturan bahwa setiap mesin fotokopi warna harus dilengkapi dengan dokumen resmi dan perjanjian untuk tidak digunakan sebagai pembuat upal. Praktisnya, setiap mesin fotokopi warna dilengkapi stiker khusus untuk menandakan bahwa mesin yang digunakan resmi diketahui dan didaftarkan kepada BIN atau Botasupal.
“Kami sudah bekerjasama dengan pemilik mesin fotokopi warna. Kami memiliki data siapa saja pemilik mesin itu. Pemilik juga harus menempelkan stiker khusus di tempat yang mudah dilihat. Bukan malah disembunyikan,” terang Tjetjep.
Sejauh ini, uang pecahan Rp 100 ribu menjadi favorit pembuat upal. Dari sekitar Rp 5 miliar upal yang beredar sejak 2010 hingga 2012, sebagian besar di antaranya merupakan pecahan Rp 100 ribu. Total upal yang berhasil diamankan mencapai lebih dari 60 ribu lembar. Yang menonjol, tahun ini ditemukan pula pemalsuan uang logam sebanyak 10 ribu keping di Bandung.
Lebih jauh Tjetjep menjelaskan, upal banyak ditemukan di pusat-pusat perbelanjaan, pusat hiburan, jalur-jalur transportasi, dan daerah-daerah terpencil. Pada umumnya upal beredar pada malam hari, menjelang hari-hari besar keagamaan, dan pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Untuk itu, Tjetjep mengimbau masyarakat Jawa Barat lebih hati-hati saat menerima uang palsu menjelang pemilihan gubernur pada 2013 mendatang.
“Pemalsuan uang sudah berlangsung sejak lama, baik di Indonesia mapun di luar negeri. Pemalsuan juga bukan hanya pidana biasa, tetapi digunakan untuk tujuan-tujuan subversif yang dapat mengganggu keamanan negara. Dalam hal ini, uang lebih dari sekadar alat pembayaran, melainkan simbol dari negara yang berdaulat,” tandas perwira polisi bintang satu tersebut.
Di tempat yang sama, Kepala Departemen Pengedaran Uang BI Gatot Sugiono menjelaskan, saat ini Jawa Barat tercatat sebagai daerah dengan tingkat peredaran upal tertinggi kedua setelah Jadebotabek dan Banten. Sebagai daerah wisata dan perdagangan, Jabar juga menjadi daerah yang cukup rawan bagi peredaran upal.
“Apabila pemalsuan uang di Jawa Barat tidak dikendalikan, tingkat kepercayaan penggunaan uang rupiah oleh wisatawan domestik, wisatawan asing, maupun pelaku ekonomi dikhawatirkan akan berkurang. Hal ini tentunya berdampak pada terganggunya transaksi tunai yang menggunakan uang rupiah,” tegas Gatot.
Sadar akan bahaya upal, BI pun aktif melakukan serangkaian kegiatan preventif. Salah satunya dengan mengganti desain uang rupiah secara berkala dengan menggunakan teknologi pengaman uang terbaru. BI juga getol menyosialisasikan informasi keasilan uang melalui iklan media massa maupun tatap muka dan pertunjukkan kesenian tradisional.
“Kami terus berusaha meningkatkan kerjasama dengan instansi-instansi berwenang dalam pemberantasan uang palsu. BI juga membangun pusat database uang rupiah palsu yang dinamakan Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center. Melalui sistem ini, data uang palsu bisa diakses aparat penegak hukum,” papar Gatot.
Di sisi lain, Gatot mengeluhkan ketidakseragaman penindakan terhadap tindak pidana upal. Dalam beberapa kasus, terdapat tuntutan pidana penjara dan pemidanaan mencapai lebih dari lima tahun penjara. Pada kasus sejenis, pelaku hanya dijatuhi penjara beberapa bulan.
“Saya mencatat belum adanya keseragaman dalam penuntutan oleh kejaksaan maupun pemidanaan oleh hakim. Saya diskusi ini bisa menghasilkan kesamaan persepsi mengenai bahaya dan risiko penyebaran upal. Dengan demikian, putusan pidana upal mempu memberikan efek jera bagi pelaku sekaligus peringatan bagi masyarakat,” tandas Gatot.(NJP)