
KONON pelacuran (prostitusi) sulit dihilangkan. Pelacuran seusia dengan hadirnya peradaban manusia.
Maka, saat mengupas persoalan pelacuran, tak pernah kehilangan tema. Dari waktu ke waktu, model-model pelacuran berkembang seiring pesatnya kemajuan zaman.
Terminologi pelacuran terkini, seperti “ayam kampus” misalnya, jadi model untuk menyebut bahwa pengekploitasian tubuh yang objeknya lebih banyak diarahkan kepada perempuan ini selalu mewarnai pernak-pernik kehidupan.
Menyoal pelacuran jadi menarik saat akademisi urun rembuk untuk membahas kupasan itu. Gani A. Jaelani, dosen Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Unpad, yang kini tengah merampungkan S-3 di Ecole Des Hauters Etudes en Scientes Sociates (EHESS) Paris, Prancis, tertarik untuk mengaji ikhwal pelacuran yang muncul saat kolonialisme Belanda.
Saat diajak berbincang oleh JABARTODAY.COM seusai berbicara dalam Diskusi “Pelacur(an) dan Negara” di Perpustakaan Nalar Jatinangor, Jum’at (5/10), Gani mengungkapkan, bahasan tentang pelacuran yang hadir pada zaman kolonialisme Belanda terkait erat dengan pelacuran era kini.
“Persoalan pelacuran selalu dikaitkan dengan moralitas. Itu memang wajar. Sebab, ajaran agama apapun memang melarang pelacuran. Namun, munculnya pelacuran tak semata-mata terkait dengan moralitas. Ada berbagai latar yang jadi pemicu hadirnya pelacuran,” kata Gani.
Menurut Gani, sejak kedatangan orang Belanda pertama kali ke Hindia Belanda pada abad ke-17, seksualitas jadi persoalan negara. Namun, mengutip isi surat yang dikirim J.P. Coen kepada Bos VOC, Heeren XVII, tersirat bahwa seksualitas merupakan persoalan politik yang sarat dengan persoalan ekonomi.
Coen dalam suratnya mengusulkan supaya Heeren XVIII mendatangkan perempuan baik-baik untuk dijadikan istri para pegawai VOC. Namun, usulan itu ditolak oleh Bos VOC itu. Alasannya, pertama, pasangan keluarga yang datang ke Hindia Belanda dikhawatirkan hanya akan memperkaya diri. Saat itu, Hindia Belanda terkenal sebagai tempat pelarian pengusaha yang mengalami kebangkrutan di Eropa.
Kedua, pengiriman wanita lajang ke Hindia Belanda membutuhkan biaya besar. Biaya itu tidak sebanding dengan keuntungan yang bakal diperoleh.
Dan ketiga, perkawinan suami istri di Hindia Belanda sering mandul. Pengaruh iklim yang berbeda antara Eropa dengan Asia dianggap jadi pemicu.
“Berawal dari sanalah praktek pergundikan muncul. Hereen XVII menganjurkan agar dilakukan praktik konkubinasi (pergundikan). Melalui praktik konkubinasi diharapkan mempermudah proses akulturasi. Pajabat kompeni dengan mudah bisa mempelajari adat istiadat, kebiasaan, dan bahasa pribumi. Penguasaan dunia Timur yang penuh misteri akan mempermudah aktivitas perekonomian yang akan menguntungkan perusahaan. Selain itu, melalui institusi ini kebutuhan biologis dapat dipenuhi,” ujar Gani.
Tapi, legalitas praktik pergundikan hanya bertahan dua abad. Pada abad ke-19, praktik itu mulai banyak ditentang. Pergundikan dinilai akan melahirkan individu-individu berkualitas buruk. Pasalnya, kelompok yang sering disebut sebagai Indo itu merupakan tempat berkumpulnya dua sifat buruk, dari orang Eropa dan Pribumi. Mereka kerap dicap sebagai makhluk bertubuh Eropa tapi bermoral pribumi.
Selain itu, dari sisi ekonomi, hidup bersama gundik dianggap penghamburan. Para lelaki Eropa harus menghidupi mereka yang seringkali hidupnya boros.
“Kendati begitu pemerintah masih tetap memandang hubungan seksual sebagai sesuatu yang penting dipenuhi. Mengabaikan kebutuhan seksual mengakibatkan efek buruk. Para laki-laki dikhawatirkan akan mengganggu perempuan baik-baik. Kemudian, fenomena masturbasi atau praktik tidak normal lainnya jadi lumrah,” ujar Gani.
Pelegalan Pelacuran
Menurut Gani, munculnya peraturan tentang pelacuran pada 1852 merupakan salah satu ikhtiar pemerintah kolonial untuk menjawab persoalan seksualitas. Pelacuran dianggap ruang paling efektif bagi para lelaki Eropa, terutama para tentara untuk melampiaskan hasrat seksualnya.
Namun, persoalan baru muncul. Praktik itu dikhawatirkan memunculkan bahaya lain, seperti penyakit kelamin. Untuk itu, pemerintah harus menjamin kesehatan para pelacur. Dengan adanya peraturan itu, seluruh pelacur akan mendapat pengawasan dan harus mendapatkan pemeriksaan rutin oleh dokter yang ditugaskan negara.
“Karena tujuan utamanya yaitu untuk kepentingan laki-laki (eropa), maka objek utama dalam peraturan ini adalah perempuan, para pelacur. Dalam beberapa pasal memang disebut juga pengawasan terhadap para pengelola rumah pelacuran. Hanya saja, sebetulnya, para pelacurlah yang jadi subjek dalam peraturan itu. Bisa dikatakan peraturan ini ditujukan untuk menjinakkan para pelacur,” ujar Gani.
Menyusul diterbitkannya peraturan itu, persoalan lain muncul. Berdasarkan temuan Direktur Departemen Kesehatan, W.G. de Freytag, pada 20 Juni sampai 2 Agustus 1901, di Cimahi ditemukan fakta masih banyak perempuan yang berprofesi sebagai pelacur secara sembunyi-sembunyi. Mereka telah menularkan penyakit kelamin kepada para serdadu. Pasalnya, sejak jumlah perempuan di rumah bordil berkurang, para serdadu sering pergi ke kampung-kampung untuk memenuhi kebutuhan seksual dengan perempuan pelacur yang tidak berada di bawah pengawasan.
Kritik lain disampaikan Haga, dokter dari dinas kesehatan. Menurut Haga, peraturan itu sangat tidak efektif. Sebab, pertama sekalipun peraturan itu mengharuskan semua perempuan pelacur terdaftar, masih banyak di antara mereka yang tidak terdata dan bekerja secara sembunyi-sembunyi. Kedua, beban berat seorang dokter yang terkadang harus memeriksa 100 pelacur setiap hari membuat hasil diagnosanya kurang meyakinkan.
“Karena kritikan terhadap peraturan yang melegalkan pelacuran banyak ditentang, akhirnya pengatutan praktik pelacuran dihapuskan. Mulai 1 Maret 1911, pemeriksaan kesehatan para pelacur dihentikan dan rumah sakit untuk penderita penyakit kelamin ditutup. Dua tahun setelah itu, mulai 1 September 1913, pemeritah melarang praktik pelacuran dan menghukum setiap orang yang terlibat di dalamnya,” imbuh Gani.
Berlanjut pada Era Kini
Tiga abad lebih setelah pelacuran jadi persoalan terdepan yang harus diselesaikan pemerintah kolonial Belanda, persoalan setipe tetap muncul saat ini. Untuk kasus di Kota Bandung misalnya, pelacuran yang kini disebut pekerja seks komersial (PSK) kerap membuat pusing pemerintah.
Menurut dosen administrasi FISIP Unpad Yogi Suprayogi Sugandi yang saat ini sedang menyelesaikan S-3 di University Malaya, Malaysia, penanggulangan pelacuran tak segampang membalik telapak tangan. Dibangunnya Pesantren Dar At-Taubah di kawasan Saritem oleh Pemkot Bandung pada 2005 tidak menyelesaikan masalah.
“Pendekatan moral bukan satu-satunya jalan untuk menanggulangi pelacuran. Faktor lain, seperti ekonomi, harus jadi perhatian. Tanpa mencari solusi ekonomi dalam menghadapi persoalan itu, pelacuran sulit untuk dikurangi,” ujar Yogi, kepada JABARTODAY.COM seusai berbicara dalam diskusi itu.
Kata Yogi, langkah lain pemkot untuk merazia para PSK juga tidak efektif. Penanggulangan yang dilakukan dengan cara membawa PSK ke tempat rehabilitasi, seperti di Palimanan Cirebon, tak menyentuh persolan yang paling mendasar. Soalnya, yang dibutuhkan oleh PSK bukan keterampilan, seperti menjahit, namun modal untuk membuka usaha.
“Percuma saja jika PSK yang terjaring razia dikirim ke panti rehabilitasi sekadar diberi keterampilan. Selain keterampilan, mereka butuh modal untuk merintis usaha. Terjunnya mereka jadi PSK juga sebagian besar karena alasan ekonomi. Karena butuh uang, mereka terpaksa terjun di dunia yang dicap aib oleh masyarakat itu,” tuturnya.
Yogi mengungkapkan, penanggulangan PSK tak bisa dilakukan secara sektoral. Koordinasi antara Pemkot Bandung dengan pemkot dan pemkab lain di Jabar harus dilakukan.
“Kawasan Pantura misalnya disebut-sebut sebagai salah satu sentra PSK yang datang ke Kota Bandung. Untuk mencari solusi efektif penanggulangan PSK, Pemkot Bandung tak bisa jalan sendirian. Saat PSK dipulangkan ke daerahnya masing-masing, pemerintah setempat harus siap menindaklanjuti program yang telah dilakukan oleh Pemkot Bandung,” pungkas Yogi. (DEDE SUHERLAN/JABARTODAY.COM)