BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI/
Presidium Nasional Korps Alumni HMI (KAHMI)
PROGRES signifikan yang diperlihatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan upaya habis-habisan guna menjaga momentum perang melawan korupsi. Satukan barisan untuk melanjutkan perang ini, sebab ada upaya sistematis untuk melumpuhkan KPK.
Menjaga konsistensi perang melawan korupsi di negara ini ibarat menegakan benang basah. Tegas-galak dalam wacana, tetapi melempem pada tahap tindakan. Padahal, penyakit korupsi sudah pada stadium yang sangat menakutkan. Bukan hanya oknum penegak hukum yang ikut-ikutan mempraktikan tindakan korup, tetapi juga sudah berani melakukan perselingkuhan dengan sindikat kejahatan, termasuk sindikat narkoba.
Dalam konteks perang melawan korupsi, telah muncul gejala yang mulai membuat masyarakat pesimis. Gejala itu adalah respons minimalis penegak hukum terhadap sejumlah kasus korupsi berskala mega. Sebutlah kasus Bank Century, kasus mafia pajak hingga kasus pencurian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Sentuhan proses hukum pada tiga kejahatan besar itu tidak all out. Sambil lalu, dan terkesan bahwa penegak hukum negara tidak mengidentifikasinya sebagai kejahatan besar terhadap negara dan rakyat. Padahal, kerugian negara dan rakyat sangat besar. Bukan hanya menghambat pembangunan, tetapi juga menjadi faktor pendorong meluasnya kemiskinan. Kelangkaan BBM bersubsidi akibat pencurian misalnya, menyebabkan aktivitas perekonomian di sejumlah daerah terganggu.
Mengapa kejahatan-kejahatan besar itu tidak ditanggapi serius oleh pemerintah dan penegak hukum? Inilah pertanyaan yang sering bergema di ruang publik. Masyarakat yakin betul bahwa jika ada kemauan baik, pemerintah dan penegak hukum mampu memerangi kejahatan-kejahatan besar itu, menyeret siapa saja yang terlibat di dalamnya. Betapa terbelakangnya penegak hukum negara jika sampai tak mampu mengungkap otak atau dalang pencurian BBM bersubsidi.
Akan tetapi, masyarakat paham bahwa pemerintah dan penegak hukum tidak independen dalam menyikapi kejahatan besar seperti penggelapan pajak atau pencurian BBM bersubsidi. Sebab, pada kejahatan-kejahatan besar tersebut, tersimpan kepentingan-kepentingan komersiel oknum pemerintah maupun oknum penegak hukum. Praktik yang demikian ini sudah menjadi cerita atau obrolan para pebisnis di jalanan.
Tentang pencurian BBM misalnya, sudah bukan rahasia lagi bahwa ada pasar gelap BBM. Di pasar gelap itu, selalu ada penawaran yang dilakukan dengan sangat berhati-hati. Pihak penawar muncul dari berbagai kalangan. Penawaran atas BBM bersubsidi dilakukan ekstra hati-hati dengan jumlah pemain sangat terbatas. Kalau penawar dan pembeli bersepakat, yang diatur kemudian adalah pengamanan selama barang curian itu di perjalanan menuju lokasi yang ditentukan pembeli, baik untuk perjalanan di laut maupun darat. Akan dibangun komunikasi dengan oknum penegak hukum di pos-pos yang akan dilalui barang curian itu. Dengan imbalan uang, barang curian itu tidak akan disergap alias lolos dari pemeriksaan.
Kejahatan seperti ini sudah dilakukan dengan sangat terbuka, dan karenanya sudah menjadi pengetahuan publik. Begitu juga dengan perilaku menyimpang oknum pegawai pajak menerapkan modus diskon untuk menggelapkan penerimaan negara. Tetapi, yang menjadi pertanyaan masyarakat adalah mengapa penegak hukum negara tak juga bisa menghentikan atau memeranginya? Kecenderungan seperti inilah membuat masyarakat selama ini pesimis terhadap kesungguhan penegak hukum negara memerangi korupsi.
Kini, optimisme masyarakat muncul lagi setelah melihat progres yang dicatat KPK dalam menangani sejumlah kasus besar. Dalam rentang yang relatif pendek, KPK berani menetapkan status tersangka terhadap jenderal bintang dua dan seorang menteri yang masih aktif di kabinet. Bahkan, KPK juga sudah menetapkan dua mantan deputi gubernur Bank Indonesia sebagai tersangka dalam kasus Bank Century. Luar biasa. Masyarakat akan menerjemahkan progres KPK itu sebagai keberanian untuk menyergap figur-figur kuat yang disangka terlibat dalam sebuah kasus korupsi. Dalam konteks yang lebih luas, apa yang sudah dilakukan KPK sampai saat ini adalah menghidupkan kembali momentum perang melawan korupsi. Agar momentum ini tidak redup lagi, masyarakat perlu menyatukan barisan untuk mendukung dan mengawal KPK. Upaya melumpuhkan KPK harus dilawan.
Tidak berlebihan jika publik mengapresiasi progres yang sudah dibukukan KPK, mengingat langkah-langkah berani KPK itu justru ditunjukan ketika upaya-upaya pelemahan KPK sudah berani diperlihatkan secara terbuka. Belasan penyidik angkat kaki, dan kemudian dilanjutkan dengan upaya mendiskreditkan pimpinan KPK. Itulah gambaran nyata tentang betapa sulitnya memerangi korupsi di negara ini. Namun, di tengah kesulitan dan keterbatasannya, KPK sudah memberi pesan yang sangat jelas. Perang akan tak akan pernah dihentikan, dan siapa saja bisa menjadi sasaran tembak KPK manakal dia terindikasi terlibat kasus korupsi.
Kerugian Negara
Pada kasus penggelapan pajak dan pencurian BBM bersubsidi misalnya, nilai kerugian negara dan rakyat mencapai puluhan trilyun rupiah. Kalau diakumulasikan, kerugian negara per tahunnya bisa lebih dari Rp 100 trliyun. Perkiraan ini pun masih mengacu pada kasus-kasus yang sudah teridentifikasi. Untuk kasus penggelapan pajak yang bisa diidentifikasi Ditjen Pajak pada 2010 misalnya, nilainya mencapai Rp 1,17 trilyun Padahal, dalam isu penggelapan pajak, banyak persoalan yang tidak teridentifikasi atau tidak sungguh-sungguh ditangani. Contohnya adalah kasus dugaan manipulasi restitusi pajak oleh Wilmar Group.
Perkiraan angka kerugian negara paling fantastis muncul dari pencurian BBM bersubsidi. Modusnya saja pencurian, tetapi tetap saja esensinya adalah tindakan koruptif. Sebab, pencurian itu diskenariokan dalam pengelolaan BBM bersubsidi. Praktik pencuriannya sendiri sudah berlangsung sangat lama. Kendati kerugian negara akibat pencurian itu terbilang sangat besar, respons penegak hukum maupun pemerintah terbilang biasa-biasa saja. Kerugian yang begitu masif seakan-akan bukan persoalan besar. Lucunya, pembengkakan nilai subsidi BBM bersubsidi selalu dikeluhkan pemerintah, sampai-sampai subsidi untuk rakyat itu dijadikan kambinghitam karena mengganggu keseimbangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Padahal, pembengkakan terjadi akibat salah kelola dan skenario pencurian. Kalau dikelola dengan benar dan tepat sasaran, BBM bersubsidi tidak akan pernah mengganggu APBN, karena jumlah warga yang berhak menerima subsidi sesungguhnya tidak banyak.
Hasil kajian yang telah dipublikasikan belakangan ini memunculkan angka pencurian BBM bersubsidi sampai 30 persen dari total kuota BBM yang dialokasikan dalam setiap tahun anggaran. Coba hitung, berapa besar BBM bersubsidi yang dikorupsi, kalau tahun ini pemerintah mengalokasikan subsidi BBM Rp 137,4 triliun untuk kuota 40 juta kiloliter? Bayangkan, hanya dari penyimpangan pengelolaan BBM bersubsidi saja, Jumlah kerugian negara mencapai puluhan trilyun rupiah per tahun. Dan, kerugian sebesar itu berlangsung setiap tahun dari pos anggaran yang sama.
Kebijakan mensubsidi BBM tidak salah. Tetapi pengelolaan BBM bersubsidi yang koruptif menyebabkan BBM bersubsidi selalu melampaui kuota dan tidak tepat sasaran. Dan, dengan dalih untuk memenuhi permintaan masyarakat, pemerintah tidak sungkan untuk menambah kuota BBM bersubsidi walaupun sebagian tambahan kuota itu akan dicuri lagi.
Ini kejahatan besar. Karena itu, KPK harus didorong untuk memberi perhatian khusus, serta mendalami manipulasi pengelolaan BBM bersubsidi. Penyimpangan dalam pengelolaan BBM bersubsidi sudah menjadi modus untuk melakukan korupsi. Dan, kalau pencurian BBM tidak bisa dicegah, itu karena aksi menyelewengkan BBM bersubsidi sudah dijadikan sarana korupsi berjamaah. (Sebelumnya dimuat di Harian Suara Merdeka, 11 Desember 2012)