ANDI SUWIRTA
Ketua Umum ASPENSI (Asosiasi Sarjana Pendidikan Sejarah Indonesia) dan Managing Editor of TAWARIKH: International Journal for Historical Studies.
Dalam bukunya tentang Imagined Communities, Ben Anderson (seorang Indonesianist terkenal dari Amerika Serikat) menyatakan bahwa gagasan tentang nasionalisme – yang merupakan cikal-bakal dari lahirnya nation-state itu – sebagai menti-fact (fakta mental) hasil kreasi golongan intelegensia yang berkenalan dengan pendidikan dan peradaban Barat serta disosialisasikan melalui media massa dan media lain yang punya daya jangkau luas. Melalui media print capitalism ini, demikian Anderson, bukan saja sebuah komunitas politik imaginer menjadi dambaan, harapan, dan cita-cita bersama, tetapi juga berusaha sekuat tenaga untuk merealisasikannya ke dalam dunia nyata – yang apabila sudah terwujud bahkan berusaha untuk dipertahan secara mati-matian.
Masalahnya adalah bahwa kreasi imaginer sekalipun jelas tidak hadir dalam konteks yang hampa budaya. Dengan kata lain, ia lahir tetap melekat dalam konteks sosial dan budaya yang mengitarinya. Berbicara tentang asal-usul dan perkembangan masyarakat Indonesia modern, dengan demikian, juga tidak lepas dari akar-akar budaya asal. Kemana referensi imajiner golongan intelegensia Indonesia dalam mengembangkan citra masyarakat modernnya?
Di sinilah pentingnya kita mendiskusikan dan menyegarkan kembali asal-usul dan perkembangan masyarakat Indonesia modern. Sebagaimana kita maklum bahwa corak masyarakat Indonesia banyak dipengaruhi oleh masa lalunya, terutama yang berkenaan dengan gelombang pengaruh peradaban dari luar. Hasil-hasil studi dari para Indolog Barat (khususnya Belanda) tentang kejayaan dan kegemilangan masa lalu Indonesia, banyak menyita minat dan perhatian golongan intelegensia yang sedang gandrung merumuskan identitas dan jatidiri ke-Indonesiaan dalam konteks zamannya yang suram karena adanya dominasi dan hegemoni sistem kolonial. Soekarno, dalam hal ini, dengan simpel merumuskan citra masyarakat Indonesia itu dengan “masa lalu yang gilang-gemilang, masa sekarang yang suram, dan masa mendatang yang penuh harapan”.
Wacana yang acapkali mengemuka – apakah dalam bentuk tulisan di surat kabar, pidato di rapat akbar, maupun perdebatan di forum sidang – tentang masyarakat Indonesia modern banyak merujuk pada simbol-simbol tentang kejayaan masa lalu. Kesan yang segera muncul adalah seolah-olah masyarakat Indonesia modern itu – dari dahulu sampai sekarang – merupakan variabel terikat yang sangat tergantung pada kemauan bebas peradaban-peradaban besar di dunia, betapapun adanya faktor-faktor local genius juga perlu dikaji secara teliti dan mendalam.
Di sinilah, saya kira, perlunya pemahaman bahwa Indonesia adalah negeri yang majemuk dan kompleks untuk hanya dijelaskan dengan menggunakan perspektif tunggal. Sejarah terbentuknya masyarakat Indonesia modern jelas tidak karena pengaruh dari kebudayaan yang satu dan seragam. Dennys Lombard, dalam karya magnum opus-nya Nusa Jawa Silang Budaya, menyebut tiga lapis gelombang perdaban yang turut membentuk masyarakat Indonesia modern: Hindu-Buddha, Islam, dan Barat. Anthony Reid, sejarawan terkenal Australia, menambahkan tentang pengaruh kebudayaan Cina pada kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia modern. Unsur-unsur kebudayaan Indonesia purba barangkali juga masih dipelihara.
Akhirnya, kalau dipikir-pikir memang benar juga. Manusia dan masyarakat Indonesia modern adalah sosok yang multi budaya. Coba kita lihat pada fenomena nama-nama Presiden Republik Indonesia modern seperti: SUKARNO, SUHARTO, dan SUSILO. Nama mereka jelas berbau “Hindu”, tapi agama mereka “Islam”, dan cara berpikir dan hidup mereka jelas adalah “Barat” alias modern. Saya belum tahu, gelombang peradaban apalagi yang bakal memberi corak pada kehidupan masyarakat Indonesia modern di masa yang akan datang. *