Jalin Hubungan Saling Percaya, Habis Makan Bayar Belakangan
JABARTODAY – SUMEDANG
SEJAK akhir tahun 1970-an, di kawasan Jatinangor berdiri berbagai perguruan tinggi (PT), seperti Ikopin, Unpad, IPDN, dan ITB. Bersamaan dengan berdirinya PT-PT itu, kawasan ini didatangi mahasiswa dari berbagai provinsi di Indonesia. Seiring dengan datangnya ribuan mahasiswa di kawasan ini, warung makan pun berdiri bak jamur di musim hujan.
Hari masih pagi, baru menunjukkan pukul 08.00. Saat itu, suatu hari pada awal Juli lalu, warung makan Nu Sasari, di Jalan Caringin, Desa Cikeruh, Kecamatan Jatinangor, mulai didatangi pelanggan setia. Tentu saja, pelanggan yang datang ke warung makan ini didominasi kalangan mahasiswa.
Seakan tak canggung lagi, sesaat mereka datang ke warung makan itu, tanpa ba bi bu, langsung mengambil piring, menciduk nasi, dan memilih menu-menu makanan yang terpajang di etalase warung. Terlihat sangat familier. Pemilik warung, pasangan suami istri Ade (45) dan Tuti (43), memberi kebebasan kepada mahasiswa-mahasiswa itu untuk memilih menu yang mereka sukai.
Salah satu konsumen warung makan Nu Sasari, Saeful Nugraha (23), juga menjadi bagian dari aktivitas yang berlangsung di warung itu. Mahasiswa Fakultas Sastra Unpad yang berasal dari Ciamis ini, terlihat sangat lahap menyantap makanan.
“Saya kos di daerah Caringin. Saya memang biasa sarapan, makan siang, dan makan malam di warung ini.Sudah langganan. Makanannya enak-enak,” kata Saeful.
Ternyata, setelah ditelusuri lebih jauh, mahasiwa berperawakan tinggi dan besar ini, sudah menjadi pelanggan setia warung itu sejak empat tahun lalu. Bahkan saking sudah sedemikian dekatnya hubungan antara Saeful dan pemilik warung, Ade dan Tuti, biasa menyapa Saeful dengan sebutan cep.
“Cep Saeful mah memang langganan setiap kami. Dia mah orangnya baik, tidak macam-macam. Bayar makanan tak pernah macet,” kata pemilik warung, Tuti.
Berdasarkan penuturan Tuti, sejak beroperasi tujuh tahuh lalu, warung nasi Nu Sasari tidak kaku saat memperlakukan pelanggan. Selain menyediakan fasilitas makan dengan bayaran crung-creng alias bayar langsung setelah makan, warung itu juga memperbolehkan pelanggan untuk membayar dengan sistem nganjuk, bayar mingguan dan bulanan.
“Kami merasakan bagaimana kesulitan mahasiswa mengatur keuangan. Bagi mahasiswa yang memiliki kantong tebal, mungkin cara-cara membayar makan dengan sistem mingguan atau bulanan tak pernah mereka rasakan. Namun, bagi sebagian mahasiswa lainnya, makan di warung dengan sistem nganjuk menjadi pilihan yang sulit dielakkan,” ujar Tuti.
Disebutkan Tuti, karena saling percaya yang dijalin antara dia dengan para pelanggan, dirinya tak pernah merasa dirugikan dengan diberlakukannya sistem nganjuk di warung itu.
“Bagi yang nganjuk sistem bulanan misalnya, mereka selalu tepat membayar utang setiap awal bulan. Rata-rata mereka membayar utang antara Rp. 200 ribu sampai Rp.300 ribu,” tutur Tuti. (DEDE SUHERLAN)