Megawati, UII Yogyakarta, dan Founding Father’s Indonesia

Oleh. Fathorrahman Fadli

Megawati Soekarnoputri adalah sedikit perempuan Asia yang berhasil tampil sebagai presiden perempuan pertama di Indonesia, di Asia Tenggara, bahkan mungkin juga di Asia. Fenomena perempuan ditampuk kekuasaan tertinggi di sebuah negeri macam Indonesia yang mayoritas muslimnya “akibat keturunan” tentu saja sebuah prestasi tersendiri.

Kondisi ini tidak pernah terjadi di negara yang diklaim atau mengklaim diri sebagai paling demokratis macam Amerika sekalipun. AS  belum pernah punya presiden perempuan. Walaupun mereka sudah ratusan tahun mengenyam demokrasi itu. Pendek kata, Megawati sebagai perempuan terbilang fenomenal.

UII dan Kesediaan Megawati

Kamis (24/5) pagi, Megawati tampil kembali di ruang publik: di sebuah seminar nasional bertajuk “Merindukan Negarawan” yang digelar Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia di Grand Melia Hotel Jakarta. Bagi saya, performance Megawati pagi itu terbilang sangat mempesona.

Sebagai perempuan yang sudah berumur, ia masih terlihat sangat cantik, segar, dan masih terlihat goresan-goresan di tapak wajahnya sebagai perempuan yang kukuh pada pendiriannya. Padahal ia, menurut penuturan panitia seminar baru saja pulang dari Austria, Slovenia dan negara-negara lainnya di Eropa.

“Tapi saya menyempatkan datang kesini, karena UII Yogyakarta ini memiliki sejarah yang senafas dengan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia dimana ayah saya menjadi pemimpinnya, jadi saya mesti berpihak dan memutuskan untuk datang kemari,” tutur putri Bung Karno seraya memecahkan keheningan ruang seminar pagi itu.

UII merupakan Universitas Nasional yang cukup tua karena berdiri sejak bangsa ini merdeka yakni pada 8 Juli1945.  Pada tahun 1945, sidang umum Masjoemi (Majelis Sjoero Moeslimin Indonesia) dilaksanakan. Pertemuan itu dihadiri oleh beberapa tokoh politik terkemuka masa itu termasuk diantaranya Mohammad Hatta  (Wakil Presiden Pertama Indonesia), Mohammad Natsir, Mr  Mohamad  Roem, dan KH. Wahid Hasyim.

“Salah satu keputusan dari pertemuan ini adalah pembentukan Sekolah Tinggi Islam (STI). STI kemudian didirikan pada tanggal 8 Juli 1945 bertepatan dengan 27 Rajab 1364 H dan berkembang menjadi sebuah universitas yang disebut Universitas Islam Indonesia (UII) sejak tanggal 3 November 1947,” jelas Prof. Dr Mahfud MD selaku Ketua IKA- UII Yogyakarta.

Mahfudz  menjelaskan, semula  UII memiliki empat fakultas yakni  Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Pendidikan, dan Fakultas Ekonomi, yang mulai beroperasi pada Juni 1948.  Sekitar tujuh bulan kemudian, UII terpaksa ditutup akibat agresi militer Belanda.

“Banyak siswa dan dosen bergabung dengan tentara Indonesia untuk mengusir Belanda. Pada awal 1950-an, tak lama setelah perang, UII harus memindahkan aktivitas perkuliahan di beberapa tempat di kota Yogyakarta, bahkan sempat menggunakan Kratoin Yogyakarta dan rumah dosen sebagai ruang kelas,” tambah Mahfud.

Jadi, kata Megawati, kelahiran UII sangatlah jelas, bahwa kehadirannya ditengah-tengah bangsa Indonesia adalah dalam rangka mencapai tujuan dan cita-cita nasional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.

Megawati secara umum bicara dengan teks, namun improvisasi pidatonya semakin melengkapi  citra dia sebagai pemimpin yang kukuh pada pendirian. Berkali-kali ia  menyampaikan tentang pentingnya seorang pemimpin nasional menyandarkan seluruh pikiran dan kebijakannya diatas konstitusi negara.

“Pemimpin tidak boleh ragu-ragu, takut serta terombang ambing oleh situasi atau tekanan dari manapun datangnya. Pemimpin harus tegas dan tegak berdiri diatas koridor konstitusi negara. Ia harus menjadi pelindung dan pelaksana konstitusi, jangan banyak mengeluh dan terombang ambing,” lantang Megawati.

Lemahnya sikap kepemimpinan, lanjut Megawati, akan sangat berbahaya bagi kelangsungan bangsa. Pemimpin harus memiliki keberpihakan yang jelas, terang, dan selalu memperhatikan nasib rakyatnya.

Pangan yang Impor

Megawati menegaskan tentang pentingnya ketahanan pangan bagi suatu bangsa. Indonesia saat ini, jelas Megawati, sedang berada dalam s”ituasi ketergantungan pangan yang berbahaya. “Semuanya kita impor, beras kita impor,  tepung kita impor, terigu kita impor, gula kita impor, sayur kita impor, garampun kita impor. Bagaimana ini bisa terjadi, kok pemerintah diam saja, bagaimana ini,” sindir perempuan yang dikenal sangat kharismatik ini.

Megawati melihat, ketergantungan hampir seluruh bahan pokok kepada impor akan menyebabkan bangsa ini menjadi bangsa kuli atau budak. “bagaimana mungkin kita bisa berdaulat secara ekonomi jika untuk memenuhi kebutuhan pangan saja kita tergantung pada negara lain, ini jelas sangat berbahaya,”tegasnya.

Soekarno, tambahnya, selalu mengajarkan kita agar berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkarakter atau berkepribadian secara budaya.

Menurut Megawati berdaulat dalam politik adalah segala pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada mandat rakyat sebagaimana juga tertuang dalam konstitusi negara. Kedaulatan politik dibangun dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, dan bukan diatur oleh pihak luar atau negara asing.

Berdikari dalam ekonomi adalah pengaturan peri kehidupan ekonomi harus didasarkan pada tujuan akhir menyejahterakan seluruh Rakyat Indonesia. Menurut Megawati tindakan eksploitasi dan penguasaan sumber daya alam Indonesia oleh pihak asing secara besar-besaran dan serampangan harus dihentikan, namun kerja sama ekonomi dan investasi yang saling menguntungkan penting digiatkan.

Hal lain ajaran Bung Karno, lanjut Megawati adalah berkepribadian di bidang budaya adalah wujud perilaku asah, asih, asuh, dan tepo sliro. Maknanya adalah sikap saling memberitahu, saling memperhatikan, melakukan dengan senang hati dan tidak semena-mena.

“Kepribadian ini adalah hal dasar yang harus diajarkan kepada masyarakat Indonesia sejak dini, Bung Karno wanti-wanti kita agar membangun nation and character,” jelasnya.

Nation and Character building, kata Megawati, adalah sangat penting agar bangsa ini tidak terombang-ambing oleh serbuan budaya asing. “Kalau budaya kita kokoh, karakter kita terbentuk, kasus semacam Lady Gaga itu tak akan berpengaruh apa-apa pada bangsa ini, ” jelas Ketua Umum PDI Perjuangan ini.[]

Related posts