JABARTODAY.COM – BANDUNG Big data merupakan data yang diperoleh dari berbagai sumber yang jumlahnya sangat besar. Ada yang bentuknya terstruktur diantaranya tabel maupun yang tidak seperti paragraf di sebuah buku. Hal ini kemudian membutuhkan keilmuan khusus guna memanajemen data dan pengetahuan.
Hal ini dikemukakan oleh Direktur Pengembangan Teknologi dan Sistem Informasi Universitas Komputer Indonesia Adam Mukharil Bachtiar, dalam webinar Big Data sebagai Alternatif Riset Opini Publik yang diselenggarakan Indonesian Politics Research & Consulting, Kamis (24/3/2022).
“Ada empat karakteristik big data. Yang pertama adalah volume, karena jumlah (data) bukan hanya lagi ribuan melainkan jutaan,” ujar Adam.
Kemudian, variety-nya yang luas karena sumber datanya berasal dari segala macam bentuk, baik media sosial maupun survei. Setelahnya ada velocity, yakni jumlah pertambahan datanya. Lalu veracity yang bentuk datanya bermacam-macam sehingga butuh teknik untuk mengolah big data tersebut.
“Bagaimana caranya media sosial menjadi sumber data? Karena seperti yang kita lihat sekarang media sosial fungsinya banyak banget, bisa untuk memosting aktivitas sehari-hari atau mengomentari pejabat publik, bahkan kita inget di Twitter sempat trending mengenai Omnibus Law,” papar Adam.
Adam menyebut, jika Twitter merupakan media sosial yang cukup ramah bagi para peneliti untuk melakukan riset mengenai isu yang tengah berkembang di masyarakat. Pasalnya, Twitter menyediakan cukup ruang bagi para peneliti untuk melakukan penelitian, khususnya yang bersifat akademik.
“Namun untuk yang bersifat diluar akademik, ada ketentuan lain yang dikeluarkan oleh platform media sosial tersebut,” tukas Adam.
Untuk mengetahui sentimen publik melalui media sosial, Adam meminta peneliti untuk menentukan isu apa yang akan diangkat. Kemudian pertanyaan yang diajukan kepada masyarakat atau warganet harus sangat valid. Langkah selanjutnya adalah memopulasikan data, dengan cara menentukan kata kunci (keyword) dan penyaring (filter).
“Karena keyword dan filter merupakan dua hal yang berbeda, dan menentukan ini membutuhkan waktu banyak. Karena bila salah menentukan keyword dan filter akan membuat biaya riset semakin mahal,” urai Adam.
Setelah melakukan populasi data, langkah berikutnya adalah melakukan analisis terhadap respon warganet atas pertanyaan yang kita ajukan, apakah lebih banyak sentimen positif atau negatif. Untuk bisa melakukan analisis kita harus menentukan parameter dan metodenya, karena di tiap bidang keilmuan berbeda.
“Setelah itu kita harus menemukan penciri apakah tweet ini positif atau negatif, setelah diketahui hasilnya kemudian dilakukan visualisasi seperti contohnya infografis,” tutur Adam.
Pada kesempatan sama, Direktur Riset Indonesian Politics Research & Consulting Leo Agustino mengungkap, bila big data bukan hal baru bagi para pollster. Pasalnya, pihaknya kerap melakukan atau membahas sentimen-sentimen yang berada ditengah masyarakat.
“Tiap bulan juga kami kerap membuat laporan, walaupun tidak terbuka untuk publik, untuk pihak-pihak tertentu agar memahami dinamika yang terjadi di media sosial,” terang Leo.
Leo tak menyangkal bila seluruh media sosial yang ada bisa digunakan untuk melakukan riset dalam konteks ilmu politik. Namun big data ini menyeruak usai Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan yang mengatakan ada 110 juta perbincangan di media sosial, dan 60 persennya membahas keinginan publik untuk menunda Pemilihan Umum 2024.
“Ini juga lah yang membuat para pollster terbuka, bahwa ada metode atau cara yang bisa digunakan untuk mengetahui opini publik. Namun yang menjadi persoalan, apakah data tersebut bisa diuji secara publik atau tidak,” tukas Leo.
Pasalnya, diutarakan Leo, bagi para pollster ada tiga faktor yang bisa memertanggungjawabkan sebuah data. Pertama adalah kata kunci, karena ini bakal membawa ke sebuah perbincangan besar di big data. Kemudian time frame atau waktu yang tepat untuk melakukan analisis terhadap sebuah isu yang tengah diteliti.
“Time frame menjadi penting karena kita tidak perlu mengambil data yang sangat lama. Sebagai contoh mengenai penundaan pemilu. Pada akhir Desember 2021, isu ini belum ramai, namun pada Februari 2022 menjadi ramai dibincangkan oleh masyarakat, utamanya di media sosial. Ini membuat kita tidak perlu lagi mengambil data ke pemilu sebelumnya yang jumlahnya bisa mencapai belasan juta atau lebih,” jelas Leo.
Terakhir adalah platform apa yang akan digunakan untuk melakukan penelitian terhadap isu yang sedang diangkat oleh pollster. Leo kembali menekankan, bila dalam konteks ilmu politik, media sosial baik Facebook, Instagram atau Twitter bisa digunakan untuk melakukan riset opini publik. (*)