Masa Emas Perajin Langseng Tinggal Kenangan

Perajin langseng di Cileunyi Kulon, Kec. Cileunyi, Kab. Bandung Mamat Rahmat (58) (tengah), saat mengawasi dua pegawai yang sedang bekerja, Kamis (11/10). (DEDE SUHERLAN/JABARTODAY.COM)

JABARTODAY.COM – BANDUNG

Masa keemasan Desa Cileunyi Kulon, Kecamatan Cileunyi sebagai sentra perajin langseng (dandang) di Kabupaten Bandung telah berlalu. Konon, saat masa jaya-jayanya perajin langseng  pada tahun ’60-an hingga ’90-an, jumlah perajin di kawasan itu mencapai sekitar 50 perajin. Kini, perajin langseng yang tersisa tinggal 10 saja.

Memang, keberadaan perajin langseng di Desa Cileunyi Kulon sudah melegenda. Konon, perajin di kawasan ini satu-satunya di Kabupaten Bandung. Bahkan, untuk lingkup Jawa Barat, perajin langseng di Cileunyi Kulon hanya memiliki saingan di Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya.

Menurut salah satu perajin yang sudah malang-melintang di dunia per-langseng-an, Mamat Rahmat (58), dikenalnya kawasan Cileunyi Kulon sebagai sentra perajin langseng bukan bualan. Produksi langseng perajin di kawasan itu, bukan hanya dipasarkan di kawasan Bandung Raya, namun sudah merambah ke berbagai daerah di Nusantara. Mulai Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, hingga Papua jadi tujuan pemasaran produk ini.

“Saat masa keemasan pemasaran langseng, pabrik langseng yang saya kelola bisa mengirimkian lima truk langseng dalam sehari. Itu untuk memenuhi permintaan dari berbagai daerah di Indonesia. Namun, untuk saat ini, memasarkan paling banyak empat truk langseng dalam sebulan saja sudah untung,” kata Mamat kepada JABARTODAY.COM, Kamis (11/10).

Perajin yang memiliki pabrik langseng di Kampung Cikalang Kulon, Desa Cileunyi Wetan itu, menyebutkan, merosotnya pemasaran langseng dipicu oleh semakin meroketnya harga bahan baku produk itu. Untuk saat ini, kata dia, harga tembaga yang jadi bahan baku langseng mencapai Rp. 75 ribu perkilogram.

Di sisi lain, permintaan pasar pun terus menyusut. Berbarengan dengan semakin mewabahnya penggunaan alat masak yang serbamenggunakan listrik, seperti magic com, minat masyarakat untuk menggunakan langseng pun semakin berkurang.

Kata Mamat, untuk menyiasati kondisi itu, para perajin berupaya mencari bahan baku alternatif di luar tembaga. Maka, munculah bahan baku langseng yang disebut prim, secon, dan DG. Harga ketiga bahan baku itu lebih murah dibandikan tembaga, yaitu Rp. 17 ribu/kilogram, Rp. 15 ribu/kilogram, dan Rp. 13 ribu/kilogram.

“Perajin berupaya sekuat tenaga untuk bertahan di tengah keterbatasan. Bahkan, karena ingin tetap eksis, akhirnya yang banyak diproduksi yaitu bahan baku jenis secon dan DG. Di tengah permintaan pasar yang semakin merosot, semua jenis langseng mulai ukuran 25 kilogram hingga 1 kilogram tetap kami produksi,” ujarnya.

Trik Jemput Bola

Mengenai trik agar produksi langseng tetap bertahan, Mamat menuturkan, itu lebih disebabkan oleh cara pemasaran jemput bola. Berbeda dengan kiat pemasaran produk lain yang kebanyakan didahului dengan pemesanan barang, pemasaran langseng justru dilakukan dengan cara mendatangi konsumen secara langsung.

“Trik itu yang membuat kami bisa bertahan. Saya jamin, bila menemui pedagang yang menjajakan langseng di berbagai kawasan di Indonesia, itu berasal dari Cileunyi Kulon. Karena di wilayah perkotaan biasanya langseng sudah banyak ditinggalkan, biasanya para pedagang itu menembus hingga ke pelosok yang kebanyakan warganya masih menggunakan langseng,” ujar Mamat.

Pernyataan Mamat dibenarkan oleh salah satu pedagang kawakan yang sudah berjualan langseng ke berbagai daerah sejak awal ‘70-an, Oyon Tahyan (59). Menurut Oyon, hampir seluruh kabupaten dan kota di Jawa sudah dia singgahi untuk menjajakan langseng. Bahkan, dia pun pernah melanglang hingga provinsi di Sumatera, seperti Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, sampai Aceh.

“Saya biasa menjajakan langseng dari kampung ke kampung. Saya menjajakan langseng dengan cara dipikul. Tentu saja menjajakannya sambil berjalan,” ujar Oyon.

Dikatakan Oyon, jika berjualan langseng ke luar Jawa, dia bisa meninggalkan Cileunyi Kulon sampai 6 bulan. Namun, kata dia, itu tak jadi persoalan. Yang penting barang laku dan uang pun bisa dibawa pulang.

“Saat langseng sedang jaya-jayanya, hasil berjualan langseng selama enam bulan bisa dijadikan tanggelan (sumber utama pendapatan) untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan sekolah anak-anak. Namun, untuk saat ini, itu hanya jadi kenangan. Masa keemasan penjualan langseng telah berlalu. Jika saya tak memiliki usaha sampingan membuka jongko gorengan di Cileunyi Kulon, kebutuhan rumah tangga tak bisa terpenuhi,” pungkas Oyon. (DEDE SUHERLAN)

 

Related posts