Lima Penyakit Cina

M. Rizal Fadillah, Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Barat, juga Ketua Masyarakat Unggul (Maung) Institute Bandung

M Rizal Fadillah

Peristiwa genosida Uyghur menyadarkan kita bahwa negara Cina itu memiliki karakter yang dipandang oleh dunia khususnya dunia Islam
sangat berpenyakit. Istilah adanya ‘bahaya kuning’ semakin terasa. Hadits muttafaqun ‘alaihi mengenai memerangi kaum mata sipit dan hidung pesek menjadi lebih dekat pada pembuktian. Umat Islam perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap sikap dan karakter etnik Cina yang dikomandani Negara Republik Rakyat Cina.

Sekurangnya ada lima penyakit bawaan dan menular tersebut, yaitu :

Pertama, emperor syndrome. Sindroma kekaisaran. Ada rasa bahwa Cina adalah negara dengan sejarah kekaisaran yang hebat. Imperiumnya ditakuti dan disegani. RRC terhadap negara lain dan di dalam negerinya menegakkan otoritas kekaisaran. Loyalitas adalah mutlak. Muslim Uyghur dianggap ‘pirates’ yang merusak perdamaian dibawah kekaisaran Cina. Muslim Uyghur adalah ‘teroris’ dan ‘separatis’. Predikat buatan yang ditempelkan untuk alasan penguasaan mutlak.

Kedua, etnosentrisme. Etnik Han yang dominan mesti menggeser etnik Uyghur. Dari hanya 6 % suku Han pada 1949 di masa Mao Tse Tung, menjadi 40 % pada tahun 2010. Kini bisa lebih lagi dengan politik “cleansing etnic” yang dilakukan intensif. Dengan pembunuhan, kamp konsentrasi dan kawin paksa, maka genosida tak terelakkan lagi. Pendewaan etnik yang berkonsekuensi pada perbudakan etnik, meski pada pribumi, adalah manifestasi dari penyakit etnosentrisme tersebut.

Ketiga, komunisme. Ini yang menjadi bibit dan sumber penyakit. Di samping asas sama rata sama rasa, ajaran nir moralnya membetuk sikap suka pada kebiadaban. Menghalalkan segala cara seperti mencuci otak dengan “menghafalkan kategori-kategori” melalui “kamp re-edukasi”. Sarwa materi mesti menjadi “iman” yang diyakini dan diperjuangkan dengan militan. Sampai pada titik kulminasi yakni atheisme.

Keempat, agama sebagai candu. Muslim Uyghur harus di sehatkan, menurut mereka, mesti dididik melalui kamp re-edukasi tadi. Agama dibasmi bukan sekedar di penjara atau dilumpuhkan. Agama berbahaya bagi misi komunisme, etnosentrisme, dan hegemoni kekaisaran. Agama adalah musuh negara. Rezim komunis dimanapun memprioritaskan mengelimimasi agama. RRC menjadikan Muslim Uyghur sebagai ‘pilot project’ pemberangusan agama. Agama itu sarat moral, sementara komunisme bebas moral. Jadi bermusuhan satu dengan yang lain.

Kelima, binatang ekonomi. Pemerintah RRC adalah pemerintahan beretos hewan. Fikiran dari bangun sampai bangun lagi, hanya kerja kerja kerja. Usaha, usaha, usaha. Produksi dan pendapatan. Duit dan duit. Jaringan koneksi Cina dibangun atas dasar kerajaan bisnis. One Belt One Road. Ini adalah rute gurita perekonomian Cina. Soal jenis usaha bebas bebas saja, bahkan subur prostitusi, judi, narkotika, senjata gelap, atau bisnis hitam lain. Asesorinya suap dan pelayanan seksual. Hutang maupun investasi sarana strategis bagi penguasaan dan penjajahan permanen.

Dengan lima penyakit ini RRC terus menancapkan kuku keserakahan di berbagai belahan dunia. Berpura pura lucu bagai “Lingling” si Panda, tapi sebenarnya dia adalah “The Dragon” penyembur api lima penyakit.
Negara negara mulai merasakan panasnya semburan api. Di Indonesia rambahannya sudah sampai ke desa desa.

Uyghur memberi hikmah untuk menyadarkan betapa bahayanya Cina. Ternyata pemerintah RI sudah terkuasai hingga tak bisa berbuat apa. Berkata juga tidak. Ujungnya tetap rakyat yang sadar dan membangun solidaritas. Sebagian masih ragu terhadap pelanggaran HAM karena tipu wajah lucu sang Panda. Karenanya kini kaum pribumi bangsa Indonesia harus lebih waspada pada gerakan gurita Cina yang sampai ke desa desa itu. Pribumi mesti bangkit membangun kemandirian dan perlawanan ekonomi, sosial, dan politik. Jangan sampai kita kaget ketika terbangun, tiba tiba tangan dan leher telah terikat. Menjadi bangsa budak. Bangsa yang sudah tidak mampu mengangkat muka.

Bandung, 22 Desember 2018

Related posts