Oleh: Rahmat Hidayat
Pemerhati Hukum
DI masa pandemi yang serba susah ini, framing informasi selalu membuat orang sensitif, cepat marah, dan emosi. Hanya saja, beban hidup yang berat membuat kita cepat lupa atas berbagai masalah yang mengganjal di hati.
Sebut saja, kasus bos PS Store Putra Siregar (PS) yang terlilit penjualan ponsel ilegal berbagai merek atau _black market_ tampak redup ditelan bumi.
Kuat dugaan oknum Bea dan Cukai Kanwil Jakarta dan Pengadilan Negeri Jakarta Timur telah “kongkalikong” sehingga yang bersangkutan terbebas dari jeratan hukum.
Kasus ini baru ramai pada pertengahan 2020 bermula dari postingan medsos humas Bea dan Cukai yang memajang foto PS seolah baru saja diringkus, padahal yang bersangkutan sejak April 2017 sudah “ditangkap” dan diharuskan bolak balik wajib lapor.
PS sendiri secara terbuka mengaku berusaha kooperatif sejak 2017 terhadap Bea dan Cukai Kanwil Jakarta itu, bahkan dibuktikan dengan menyerahkan uang Rp.500 juta, aset rumah, bahkan buku rekening sebagai jaminan. “Saya sampai tidak punya rekening,” begitu keterangan PS.
Artinya, dari kurun waktu 2017 – 2020 tidak dilakukan proses hukum secara benar oleh aparat berwenang, dan publik membaca istilah kooperatif itu lebih kepada urusan “setoran” dari PS kepada oknum aparat. Itulah alasan kenapa baru 2020 kasus ini muncul ke permukaan.
Apa yang diperbuat Putra Siregar jelas memiliki konsekuensi hukum, yakni telah melanggar UU No.17 /2006 tentang Kepabean terutama Pasal 103 huruf (d) sebagaimana juga dimaksud Pasal 102, dengan ancaman paling lama 8 tahun kurungan penjaran dan/atau denda paling tinggi Rp.5 miliar. Regulasi ini merupakan perubahan dari UU RI No.10/1995.
Kasus ini sempat disidangkan di PN Jatim. Pada 10 Agustus 2020, PS didakwa melakukan tindak pidana karena menimbun dan menjual barang impor ilegal dengan bukti 191 ponsel yang disita dari tiga gerai PS Store di beberapa lokasi.
Dari situ, pihak Bea dan Cukai melacak kerugian negara, dengan total Rp 26.332.919 dari segi pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPH). Hitungan yang sesungguhnya sangat kecil jika dibandingkan dari keuntungan yang PS sudah peroleh.
Dalam persidangan selanjutnya pada Oktober 2020, tuntutan terhadap PS jauh lebih ringan, tidak lagi bicara mengenai kurungan penjara, namun hanya diminta membayarkan denda Rp.5 miliar subsider 4 bulan penjara. Artinya ia terbebas dakwaan tindak pidana.
Ajaibnya, pada November 2020, PN Jaktim menyatakan PS tidak terbukti bersalah dan dibebaskan dari segala tuntutan.
Dilihat dari kronologis dan prosesnya, kasus tersebut mengindikasikan adanya dugaan suap menyuap di antara oknum Bea dan Cukai dan pengadilan, yang membebaskan PS dari jeratan hukum.
Berdasarkan informasi, uang denda Rp.5 miliar yang mestinya masuk ke kas negara tersebut telah bergeser ke kantong oknum-oknum peradilan dan bea dan cukai sebagai pelicin dibebaskannya PS, ditambah dengan komitmen fee selama PS menjalankan bisnis ilegalnya hingga saat ini.
Tetapi memang jika kita mengunjungi salah satu gerai PS Store di bilangan Condet, Jakarta Timur tampak terasa ganjil lantaran tak pernah sepi pembeli. Pasalnya, harga ponsel yang dibandrol sekitar 30 persen lebih murah daripada harga pasaran.
Kongkalikong DJP
Praktik PS tentu merugikan negara karena kehilangan potensi pendapatan pajak yang jika diperkirakan angkanya mencapai Rp. 2,8 triliun per tahun. Apabila peristiwa penyelundupan barang ilegal semacam itu dibiarkan terus menerus, sama saja artinya membajak penerimaan negara.
Kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap kasus Putra Siregar patut dipertanyakan. Terindikasi kuat masih terdapat kongkalikong di Kantor Pajak yang membuat Putra Siregar bisa tenang lolos seperti di Bea Cukai.
Dilihat dari potensi Pajak yang bisa dipungut dari penghasilan dan transaksi yang dilakukan PS Grup, bukan tidak mungkin DJP mendapatkan pemasukan ke Kas Negara sebesar 50 milyar.
Hampir semua stakeholder yang terkait permasalahan ini ada di bawah Menkeu Sri Mulyani. Maka sudah saatnya aparat yang berwenang melakukan investigasi lebih jauh dan menindak oknum Bea dan Cukai, DJP, serta pengadilan yang terindikasi ikut terlibat dalam aktivitas yang melanggar hukum demi menyelamatkan uang negara. []