JABARTODAY.COM – BANDUNG
Keterbukaan informasi publik dituntut tidak sekadar menjadi jargon prosedural. Keberhasilan kinerja Komisi Informasi juga tidak boleh dilihat hanya berdasarkan angka permohonan ataupun sengketa informasi. Reformasi birokrasi dan kebijakan adalah sasaran yang harus dibidik.
“Harus dapat menumbuhkan energi kolektif untuk mendorong pemerintah yang responsif dan masyarakat aktif-partisipatif di era keterbukaan informasi,” tegas peneliti dari Fisipol UGM, Ari Sujito, , dalam diskusi panel Mendorong Percepatan Implementasi UU 14/2008, di Bandung, Selasa (3/7) petang. Karenanya, fungsi Komisi Informasi bukan hanya mengejar keberhasilan institusinya.
Kalau Komisi Informasi Pusat dapat meyakinkan para pemangku kepentingan dan menstimulasi publik, ujar Ari, langkah lembaga ini mendorong keterbukaan akses informasi bakal diikuti. Komisi Informasi Pusat pun, kata dia, jangan ditempatkan semata melekat dan tergantung Pemerintah Pusat. “Harus ada inovasi mendorong keterbukaan informasi, sekecil apapun,” tegas dia.
Ari berpendapat Komisi Informasi tidak cukup hanya membuat instalasi organisasi terkait akses informasi. “Kalau tak ada maknanya bagi reformasi birokrasi dan kebijakan, percuma,” tegas dia. Ari pun menegaskan Komisi Informasi bukanlah instrumen tunggal untuk menjamin keterbukaan informasi publik. Tapi lembaga ini harus mengambil peran sebagai motor keterbukaan tersebut, untuk mewujudkan kebebasan yang bermakna.
“Kalau Komisi Informasi aktif tapi tak ada respons publik, percuma,” imbuh Ari. Dia pun mendorong Komisi Informasi membangun roadmap menuju keterbukaan informasi, yang dibuka ke publik. Tujuannya adalah menginformasikan langkah yang sudah, sedang, dan akan digarap, dengan tujuan yang hendak diwujudkan. Implementasinya pun harus dipastikan melibatkan lembaga sipil, membangun jejaring sebagai pondasi keterbukaan informasi.
Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Freddy H Tulung, menyatakan edukasi publik merupakan langkah prioritas dan strategis untuk mewujudkan keterbukaan informasi. “Tidak bisa hanya mengandalkan Pemerintah,” tegas dia.
Hal pertama yang harus menjadi sasaran bidik keterbukaan informasi, ujar Freddy, adalah mengubah pola pikir tentang informasi publik. Sosialisasi mengenai keterbukaan informasi, termasuk soal UU 14/2008, harus terus dilakukan dan tak hanya mengandalkan kementerian. “Harus ada sinergi, dengan pemerintah daerah maupun civil society. Saya butuh komitmen daerah juga,” tegas dia.
Freddy tidak membantah upaya kementeriannya mendorong implementasi UU 14/2008 belum optimal. Dia pun tak menampik masih ada resistensi terhadap penerapan UU tersebut. “Bahkan di tingkat kementerian,” aku dia merujuk data belum semua badan publik menunjuk pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID) sekalipun sudah lewat tenggat waktu.
Kementerian Komunikasi dan Informatika, kata Freddy, saat ini menyiapkan dan melakukan beragam terobosan untuk mendorong penerapan UU 14/2008. Khusus mendorong penerapannya di daerah, kementeriannya menggandeng Sekretariat Kabinet untuk mengundang jajaran Sekretariat Daerah. Pembicaraan dengan Kementerian Dalam Negeri terkait kelembagaan Komisi Informasi di daerah juga dilakukan.
Pedoman permohonan informasi pun, tambah Freddy, sedang disiapkan di kementeriannya untuk mempermudah publik dalam mengajukan permohonan informasi publik. Dia mengatakan UU 14/2008 sudah merupakan terobosan keterbukaan informasi di Indonesia, namun kendala mindset, kelembagaan, kompetensi sumber daya manusia, serta dukungan sarana dan prasarana merupakan tantangan yang harus terus dicari solusi. “Resistensi terhadap keterbukaan informasi sudah jamak muncul, bahkan di negara seperti Inggris dan India,” ujar Freddy.
Diskusi panel yang menjadi salah satu agenda Rapat Koordinasi Nasional Komisi Informasi di Bandung ini, seharusnya juga menghadirkan narasumber dari Komisi I DPR dan Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Namun narasumber dari kedua institusi batal hadir.