Anggota Pembina FGD Insan Cipta Mandiri
Akhir-akhir ini, saya banyak mendapat kabar dari sahabat saya, terkait Pemilu Presiden Organisasi di tingkat kampus. Serasa bernostalgia, saya jadi teringat suatu masa ketika saya masih berperan sebagai sosok mahasiswa yang aktif di beberapa organisasi. Suatu masa ketika jam kuliah sering “terganggu” oleh aksi dimana saya harus bergabung di dalamnya. Suatu masa ketika tugas-tugas perkuliahan terbengkalai karena amanah di kepanitiaan. Bahkan, saya teringat saat saya pertama kali masuk kuliah dan dihadapkan pada banyak pilihan organisasi, selayaknya anak polos yang dihadapkan pada berbagai pilihan gadget : celingak-celinguk tidak mengerti apa-apa, tapi satu yang pasti, saya merasa senang.
Suka dan duka saya lalui bersama kawan-kawan seperjuangan dalam organisasi dimana saya menempa diri, baik di organisasi tingkat himpunan, tingkat universitas pun organ-ekstra kampus. Dalam organisasi, banyak hal yang saya dapatkan, melebihi apa yang bisa saya raih dari bangku kuliah saja. Meskipun, tak saya pungkiri bahwa gara-gara itu saya tidak lulus dengan nilai sempurna dan ‘cepat’. Tapi terlepas dari semua ‘efek sampingnya’, sungguh, berorganisasi telah meninggalkan kesan yang sangat berarti dalam hidup saya.
Ah, masa lalu memang selalu nikmat untuk dikenang. Namun waktu nyatanya demikian buas_menggilas siapa saja yang berpikir stagnan. Oleh karena itu, mari kita kembali pada topik hangat yang sedang berlangsung di tempat dulu sewaktu saya menjadi mahasiswa, yakni UPI Kampus Bumi Siliwangi. Dalam pengamatan saya semenjak awal tahun 2007_atau mungkin pula sejak tahun-tahun sebelumnya, pemilihan presiden selalu menjadi satu sorotan utama bagi beberapa kalangan. Akan tetapi, hal ini tak berlaku jika ukurannya adalah seluruh mahasiswa UPI. Artinya, sepanjang yang saya amati, sebagian besar mahasiswa tidak merasa bahwa pemilihan presiden adalah suatu hal yang penting. Bahkan, mungkin saja banyak diantara mahasiswa yang menganggap pemilihan presiden hanya sebagai angin lalu, seraya berkata dalam hati: “Lah mau siapa aja yang jadi presiden, gak bakalan ngaruh buat kuliah gue.”
Ada banyak hal yang membuat sebagian besar warga kampus menjadi tidak responsif terhadap siapa yang kelak memimpin organisasi tingkat kampus di mana mereka kuliah. Jika dihubungkan dengan apa yang sedang berlangsung di UPI saat ini, saya rasa ada tiga hal yang patut jadi sorotan. Pertama, perkara kepemimpinan mahasiswa. Kedua, intelektualitas para organisator. Dan, ketiga, regulasi kepemimpinan.
Mengenai perkara kepemimpinan mahasiswa, saya rasa sudah banyak yang menjadikan ini sebagai topik perbincangan utama. Kepemimpinan yang baik tentu akan membuat sebuah organisasi menjadi baik. Dan sebuah organisasi yang baik, tentu akan mampu merangkul semua golongan. Apakah yang baru saja saya ucapkan terdengar utopis? Bisakah hal ini terwujud dalam kenyataan? Saya yakin bisa! Katakanlah benar bahwa yang dapat menjadikan banyak kalangan itu berafiliasi dalam satu bendera adalah “kepentingan”, maka bila demikian, kepentingan apa lagi yang mesti diperjuangkan para aktifis kampus selain dari kebaikan bagi para mahasiswa, kampusnya, dan Indonesia? “Kepentingan” itulah yang semestinya membuat aktifis mahasiswa sadar tentang hakikat keberadaannya.
Intelektualitas adalah modal utama mahasiswa dalam bergerak. Intelektualitas adalah unsur pembeda antara gerakan mahasiswa dengan gerakan lain. Ketika gagasan cerdas yang mencerahkan dari para aktifis kampus dipadupadankan dengan idealisme yang kuat, maka gerakan yang muncul akan menjadi satu kebanggaan para “intelegensia muda”. Bila sudah seperti ini, maka para kaum muda yang terdidik dan tercerahkan ini akan menjadi subjek atas segala kebijakan, dan bukan hanya sebagai objek alias “mainan” dari kepentingan-kepentingan tertentu. Akan tetapi, bila para mahasiswa justru terlanjur menjadi “mainan” itu, maka pasti yang kemudian lahir hanyalah “para aktifis yang tumpul otaknya”, yang seperti kerbau dicocok hidung. Sekarang, mari kita tanya diri kita sendiri, masih layakkah para aktifis kampus disebut sebagai “intelegensia muda”?
Dalam demokrasi, regulasi kepemimpinan adalah suatu hal yang keberadaannya menjadi sebuah keniscayaan, baik saat berjalannya kepemimpinan, maupun saat proses pemilihan pemimpin. Proses pemilihann pemimpin membutuhkan regulasi, artinya harus ada aturan tegas dan objektif yang mana jika regulasi itu sehat, maka akan membuahkan kepemimpinan yang sehat pula. Sebaliknya, jika regulasi proses pemilihan pemimpin tersebut tidak sehat, maka pasti kepemimpinan yang dihasilkan pun akan tidak sehat pula. Lantas, kenapa bisa seperti itu? Mungkin kita sering mendengar istilah “hukum sebagai panglima dalam negara”. Dan ya, adalah haram apabila hukum yang dibuat adalah hukum berdasarkan ego. Sebab hukum mesti dibuat berdasarkan akal sehat, dalam rangka melegitimasi kepentingan untuk memelihara dan membangun negara.
Dalam demokrasi, khususnya demokrasi kampus, siapapun boleh ikut serta menjadi calon pemimpin asalkan memiliki kualitas kepemimpinan yang baik, ditunjang dengan syarat-syarat administratif pun dukungan basis masa. Saat seseorang ingin menjadi pimpinan tertinggi dalam organisasi tingkat kampus, maka ia mesti melatih dirinya agar memiliki kualitas kepemimpinan yang mumpuni serta memberikan sumbangsih nyata di tengah masyarakat kampus. Ketika banyak orang berhasrat untuk menjadi pemimpin, maka akan terjadi kompetisi. Hasil dari perpaduan ini (hasrat berkompetisi serta regulasi yang baik dalam proses pemilihan pemimpin) nantinya akan membuahkan suatu tatanan organisasi yang baik. Hal pertama dan kedua yang sebelumnya saya bahas, sangat berkaitan dengan yang terakhir ini.
Jika dihubungkan dengan apa yang terjadi di kampus UPI Bumi Siliwangi saat ini, dalam proses pemilihan pemimpin yang berlandaskan demokrasi langsung, maka yang sangat berperan aktif adalah para perangkat pemilu: KPU (Komisi Pemilihan Umum) REMA (Republik Mahasiswa) UPI, MPU (Mahkamah Pemilihan Umum) REMA UPI, serta DPPU (Dewan Pengawas Pemilihan Umum) REMA UPI. Ketiga perangkat-perangkat tersebut memiliki fungsi masing-masing, sebagai eksekutor lapangan, pengawas, dan penghukum. Siapa yang nanti akan terpilih, tidak akan lepas dari seberapa baiknya para perangkat pemilu dalam menjalankan tugasnya. Perangkat pemilu tentu saja harus independen, menjadikan hukum yang telah dibuat bersama menjadi pegangan utama. Dan, jangan lupa pula, mereka harus cerdas dalam bertindak, sehingga tidak mudah diintervensi oleh pihak luar yang memiliki kepentingan berbeda dengan kepentingan ideal mahasiswa.
Jika benar asusmi saya bahwa proses pemilihan pemimpin akan membuahkan suatu tatanan organisasi yang baik, maka begitu juga sebaliknya. Sekarang pertanyaannya, apabila kepemimpinan mahasiswa yang selama ini ada dirasa kurang baik, apakah ini dikarenakan proses pemilihan kepemimpinan—via demokrasi itu—tidak berjalan sebagaimana mestinya? Tentu saja banyak faktor, tapi saya yakin kita sendiri dapat menjawabnya.
Tulisan ini hanya sebuah opini kecil yang saya rangkum berdasarkan kabar yang saya dengar dari tempat nan jauh, sebuah tempat dimana saya bertugas sebagai pendidik, sebuah tempat yang beratus-ratus kilo meter jaraknya dari Bandung, dari sebuah kota dimana UPI berada. Saya sendiri sudah bertahun-tahun tidak terlibat secara langsung dalam organisasi kampus. Tentu saja banyak ketidaksesuaian antara apa yang ada dalam tulisan saya dengan apa yang terjadi di lapangan. Dan sepenuhnya saya meyakini itu_yakin bahwa masalah dalam organisasi kampus saya hari ini jauh lebih pelik dari apa yang saya tahu. Namun demikian, saya pun yakin bahwa mahasiswa bisa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa campur tangan pihak mana pun yang berniat mengintervensi, karena seperti yang telah saya katakan, hanya mahasiswa yang layak disebut sebagai “inteligensia muda”. Wallahu a’lam bishawab…