Kemiskinan Daerah: Antara Narasi & Substansi

Oleh UKAS SUHARFAPUTRAPemerhati isu sosial dan ekonomi, Wakil Ketua ICMI Kabupaten Kuningan, tinggal di Winduhaji, Kuningan.

Menurut BPS, angka kemiskinan Jawa Barat (Jabar) tahun 2021 mencapai 8,40%.  Angka ini naik dibandingkan pada 2019 dan 2020, yaitu 6,91% dan 7,88%. Setiap tahun angkanya naik. Trend yang sama berlangsung di daerah wilayah Ciayumajakuning (Cirebon-Indramayu-Majalengka-Kuningan). Yang menarik dan memprihatinkan, dari “the big five”, 5 besar daerah dengan angka kemiskinan tertinggi di Jabar, 4 daerah ada di kawasan Ciayumajakuning semua. Yaitu Kabupaten Kuningan (13,10%), Kabupaten Indramayu (13,04%), Kabupaten Majalengka (12,33%), dan Kabupaten Cirebon (12,30). Posisi puncak dipegang oleh Kota Tasikmalaya (13,13%). Terpaut sedikit di atas Kuningan. Jadi, dianalogikan seperti kejuaraan, Ciayumajakuning menjadi juara umum pentas kemiskinan tingkat Jabar, dengan Kabupaten Kuningan sebagai “champion”-nya.

Kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap penanggulangan kemiskinan, yang mencakup faktor sosial, budaya dan ekonomi. Faktor yang paling kuat dan cepat pengaruhnya adalah kebijakan pemerintah, dari tingkat makro, anggaran, sampai dengan program dan aksi. Karena, langkah pemerintah adalah pangkal dari gerak dan berfungsinya berbagai variabel penanggulangan kemiskinan.

Euforia Narasi

Pada tingkat narasi kebijakan, kemiskinan adalah “isu idola”. Dari tingkat nasional sampai lokal jadi diksi sentral dalam agenda kebijakan baik jangka panjang, menengah maupun pendek. Presiden RI menempatkan kemiskinan di “headline” kebijakan nasional, dengan menetapkan kemiskinan ekstrim harus lenyap jadi nol dari Bumi Indonesia. Bak gaung, merambat sahut-menyahut, provinsi, kabupaten, dan kota pun menempatkan kemiskinan di tangga pertama “setting agenda” kebijakan mereka. Jika dibuka dokumen perencanaan makro dan mikro daerah-daerah, khususnya di Kawasan Ciayumajakuning, kesan itu sangat nampak. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja (tahunan) Pemerintah Daerah (RKPD), dan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) di kawasan tersebut, padat dengan artikulasi soal kemiskinan.

Juga pada tingkat narasi publik, komunikasi pemerintah dengan rakyatnya, kemiskinan jadi tema utama. Dalam pidato kepala daerah, diskusi panas eksekutif-legislatif, wawancara, dan berita media massa, kemiskinan menjadi pokok pemikiran dan pembicaraan. Terlebih selama 3 tahun terakhir ini. Hantaman Pandemic Covid-19 terhadap ekonomi rakyat, membuat diskursus kemiskinan daerah semakin menguat. Covid jadi alibi atas semakin merebaknya kemiskinan. Semua dinamika itu memberikan kesan yang sangat kuat bahwa soal kemiskinan begitu diprihatinkan dan dipedulikan oleh negara dan publik. Narasi kita adalah narasi yang sangat memulyakan ikhtiar melenyapkan kemiskinan.

Kontradiksi Substansi

Bagaimana kiranya keadaan  di tingkat substansi? Yakni di tingkat implementasi dan aksi? Apakah sejalan dan sekuat dengan hingar-bingar di level narasi? Data di atas memberikan gambar pantul, seperti apa sesungguhnya ikhtiar pelenyapan kemiskinan daerah di tingkat aksi. Dari sana kita bisa tahu sejauh apa jarak antara omongan dan perbuatan pemerintah daerah (pemda) dalam hal pelenyapan kemiskinan.

Selama 3 tahun terakhir masa pandemik, saat euforia narasi kebijakan kemiskinan sedang kenceng-kencengnya, angka kemiskinan Jabar malah naik terus. Jika di selami ke dalam 27 kabupaten/kota di Jabar, juga sama saja. Semua kabupaten/kota di Jabar mengalami kenaikan angka kemiskinan rata-rata 1 digit, di masa itu. Kenaikan paling signifikan dialami oleh kabupaten/kota 5 besar itu. Yang 4 daerah darinya semuanya berada di Ciayumajakuning. Bagaimana bisa narasi kepedulian dan komitmen yang demikian kuat berbunga-bunga terhadap kemiskinan, justru berujung pada perparahan angka kemiskinan? Ini kontradiktif. Narasi kebijakan ke utara tapi hasilnya malah ke selatan.

Jawaban keliru

Menjawab ini semua, bisa ditebak pandemik jadi alibi dan justifikasi. Pemda-pemda seperti bernyanyi “koor”, bahwa pembatasan aktivitas ekonomi dan pemangkasan anggaran oleh pusat (refocusing) untuk menangani pandemik jadi biang keladi. Pembatasan aktivitas menyusutkan peluang pendapatan masyarakat sehingga jadi miskin. Dan di sisi lain refocusing anggaran membuat kemampuan pemda mengatasi kemiskinan jadi merosot. Cukup logis. Tapi benarkah?

Tentu benar pandemi punya pengaruh pada peningkatan kemiskinan. Namun kalau disebut sebagai variabel biang kerok (utama), tunggu dulu. Di masa sebelum pandemik, saat ekonomi dan anggaran masih normal angka kemiskinan Jabar dan kabupaten/kota ternyata signifikan juga. Selain itu, lonjakan angka kemiskinan selama pandemik antar kabupaten/daerah bervariasi juga. Dengan kondisi terparah dialami daerah 5 besar itu. Artinya, kalau memang pandemik itu faktor dominan dari pemiskinan, mestinya di masa sebelum pandemik angka kemiskinan jauh lebih kecil (nyatanya tidak). Dan lonjakan kemiskinan antar daerah di masa pandemik mestinya relatif seragam (nyatanya tidak juga). Jadi, ada hal lain yang tidak beres yang membuat angka kemiskinan daerah jadi lebih parah. Di luar sekedar soal Pandemik Covid-19.

Anggaran daerah (APBD) adalah senjata fiskal yg menjadi kunci dari percepatan penanggulangan kemiskinan. Tata kelola dan pelaksanaan anggaran daerah lah yang sebenarnya lebih tepat ditunjuk sebagai biang keladi kemandekan penanggulangan kemiskinan di daerah. Pertama, penyerapan anggaran (realisasi sisi belanja pada APBD) tidak maksimal bahkan underperformed. Saat masyarakat ditekan pandemi dengan kelangkaan pekerjaan dan kesempatan ekonomi, pengeluaran dan belanja pemda di berbagai sektor adalah solusi. Ini bisa langsung menggeliatkan ekonomi yang beku melalui kegiatan padat karya dan investasi sektor riil. Jadi mestinya jumlahnya diperbesar, bahkan bila perlu menerapkan “defisit fiskal”: yakni jumlah realisasi belanja/pengeluaran lebih besar dari anggaran yang tersedia (melalui pinjaman daerah).

Kenyataannya realisasi belanja APBD daerah selama pandemi malah banyak yang tidak mencapai target. Penyerapannya di bawah 100%, lebih kecil dari jumlah anggaran yang tersedia. Maka wajarlah jika ekonomi rakyat minim geliat dan kemiskinan-pun meningkat. Ini terbukti. Ke-5 daerah juara kemiskinan Jabar di atas, memiliki “postur” APBD yang tidak jauh berbeda dengan daerah lain yang angka kemiskinannya di bawah. Nilai APBD mereka berada dalam kisaran sama 2-3 Trilyun rupiah di tahun 2021, dengan jumlah penduduk yang juga tidak terpaut jauh. Namun, daerah 5 besar termiskin itu memiliki penyerapan anggaran (realisasi belanja) yang terendah dibanding daerah lain: rata-rata hanya 80%-an. Bagaimana bisa daerah ini menggeliatkan ekonomi rakyat dengan maksimal? Cukup masuk akal jika mereka menjadi daerah termiskin di Jawa Barat.

Kedua, alokasi anggaran daerah untuk program dan aksi penanggulangan kemiskinan tidak proporsional dan tidak akurat menyasar lokasi dan kelompok miskin. Dari sisi belanja/biaya, anggaran bisa dibagi dua: biaya pokok dan biaya umum/pendukung. Contoh: biaya pengadaan bahan sembako, bahan bangunan rutilahu adalah biaya pokok. Karena terkait langsung dengan kemiskinan. Biaya distribusi sembako, rapat persiapan distribusi, dan perjalanan dinas petugas monitoring adalah biaya pendukung. Karena tidak terkait langsung dengan kemiskinan. Idealnya dan menurut ketentuan umum, biaya pendukung ini maksimum 10% dari jumlah anggaran. Ini hasil kalkulasi standar dan pasti mencukupi. Namum kenyataan, umumnya biaya pendukung ini jauh melampaui batasan itu. Data dari salah satu daerah menunjukkan fakta dramatis. 71% dari kegiatan APBD untuk penanggulangan kemiskinan memiliki biaya umum jauh di atas 10%. Sebagian di antaranya bahkan mencapai hampir 50%. Ironis. Ini seperti mengantarkan beras sekarung ke orang miskin dengan menyewa truk tronton. Padahal kalau menyewa kol bak saja, bisa hemat dan jumlah beras bantuannya bisa jauh diperbanyak.

Ini diperberat lagi dengan penentuan sasaran lokasi aksi dan orang miskin yang tidak akurat. Kebiasaan dan kemalasan birokrasi daerah yg mencantumkan kata “lokasi tersebar” pada rencana kegiatan jadi pangkalnya. Maka pemilihan lokasi dan kelompok pun tak terkontrol. Tidak terarah, tidak mengena pada lokasi desa miskin dan data primer orang miskin. Padahal data itu rujukan resmi yang tersedia di masing-masing daerah.

Kedua kegagalan tata kelola dan pelaksanaan anggaran itu berujung pada “mubazir anggaran” dan hampir “sia-sia anggaran”. Seperti menembakan seribu peluru pada sasaran yang keliru. Duit lewat buruan tak didapat. Cukup masuk akal jika ke-5 daerah itu jadi “champion” termiskin di Jawa Barat. Wallhu ‘alam. []

Related posts