JABARTODAY.COM – BANDUNG
Tingginya angka kematian ibu (AKI) di Jawa Barat bukan melulu tanggung jawab institusi dan profesi kesehatan. Kematian ibu bisa terjadi di lingkungan keluarga, selama perjalanan, maupun di tempat pelayanan kesehatan. Karena itu, perlu kerjasama semua pihak, terutama masyarakat, untuk bersama-sama menekan AKI.
Demikian salah satu simpulan diskusi Tim Tim Penggerak PKK Jawa Barat dan Tim Koordinasi Program EMAS (Expanding Maternal and Neonatal Survival) terkait kesehatan ibu dan bayi baru lahir di Gedung Negara Pakuan, Jalan Oto Iskandardinata, Bandung, Sabtu (22/9). Diskusi diikuti sejumlah asosiasi profesi yang terkait dengan kesehatan, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Dokter Umum Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Dokter Anak, dan lain-lain.
Provincial Team Leader Program EMAS Djoko Soetikno mengungkapkan, setiap tahunnya terdapat 700-800 ibu yang meninggal saat melahirkan. Banyak ibu melahirkan meninggal karena tidak ditolong tenaga kesehatan atau sulitnya akses menuju tempat pelayanan kesehatan. Sementara jumlah bayi yang tidak tertolong mencapai 4.000-5.000 orang per tahun. Sebagian besar bayi meninggal akibat sesak dan kekurangan berat badan.
Menengok data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, pada 2010 kematian ibu melahirkan berjumlah 794 kasus. Sementara jumlah kelahiran hidup berjumlah 685.247 orang. AKI tersebut menurun dibanding 2009 sebanyak 814 kasus, namun naik dibanding tiga tahun sebelumnya. Pada 2006 lalu, jumlah kematian ibu melahirkan masih di bawah 700 kasus.
Dilihat penyebabnya, sebagian besar kematian ibu di Jawa Barat terjadi akibat pendarahan (35 persen). Kemudian sekitar 23 persen akibat hipertensi dalam kehamilan, partus lama dan abortus masing-masing 1 persen, infeksi sekitar 5 persen, dan 35 persen lainnya akibat kasus beragam.
Kantung-kantung kasus pendarahan terdapat di Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasik, Indramayu, Karawang, Kota Bandung. Sementara kasus hiperensi dalam kehamilan terdapat di Bogor, Cianjur, Bandung, Tasik, Cirebon, Indramayu, Karawang. Adapun kasus lainnya terdapat di Bogor, Cianjur, Bandung, Ciamis, Cirebon, Purwakarta, Indramayu, Karawang, Bandung Barat, Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Tasikmalaya.
“Program EMAS dilaksanakan di Kabupaten Bandung, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Indramayu. Lima daerah ini dipilih karena memang memiliki AKI paling tinggi di Jawa Barat. Kami mengembangkan model untuk kemudian dijadikan contoh bagi daerah lainnya. Program baru dimulai, sehingga belum bisa dievaluasi,” kata Djoko.
Di tempat yang sama, Project Officer Program EMAS Reza Alwan Sovnidar mengungkapkan, sejauh ini pemahaman tentang pentingnya penanganan kematian ibu melahirkan masih berkutat di kalangan terbatas. Dalam sejumlah kesempatan, pihak yang terlibat hanya pada level-level tertentu.
“Ketika ada diseminasi, yang datang eta deui-eta deui. Memang ada tokoh, tapi tokoh itu lagi-tokoh itu lagi. Di sisi lain, masyarakat atau pelaku di level bawah tidak memahami karena ternyata tokoh-tokoh tadi tidak menyampaikan kembali kepada masyarakat. Akibatnya, partisipasi sangat kurang,” papar Reza.
Reza menekankan pentingnya internalisasi setiap program kepada masyarakat. Hanya dengan cara itu kesadaran akan tumbuh bersama-sama. Saran Reza ini tidak lepas dari hasil penelitian mengenai indeks masyarakat sipil (IMS) yang dilakukan Muhammadiyah di Kabupaten Cirebon. Hasil penelitian menunjukkan masih rendahnya angka partisipasi itu.
“Secara umum, nilainya memang di atas 1, artinya cukup. Ada juga yang di atas dua, tapi sedikit,” kata Reza.
Kolaborasi PKK
Seruan untuk melibatkan lebih banyak kalangan juga datang dari Ketua TP PKK Jawa Barat Netty Prasetiyani Heryawan. Netty yang membuka sekaligus menutup diskusi tersebut menegaskan pentingnya kader PKK terlibat dalam upaya menekan AKI maupun kematian bayi baru lahir. PKK sangat tepat karena selama ini para kader bersentuhan langsung dengan masyarakat.
“Program EMAS sangat beririsan kuat dengan program PKK. Apalagi, PKK sendiri adalah gerakan sosial yang berasal dan untuk masyarakat. Peluang PKK ini sangat besar untuk dimanfaatkan. PKK memiliki data dan penyebaran kader hingga ke tingkat akar rumput,” ujarnya.
Bagi Netty, progam ini juga sejalan dengan upaya revitalisasi posyandu yang terus digenjot sejak 2009 lalu. Secara konkret, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menggelontorkan dana Rp 50 miliar untuk membantu operasional 50.026 posyandu di Jawa Barat. Salah satunya dengan memberikan insentif kepada setiap kader sebesar masing-masing Rp 800 ribu.
“Kemarin waktu saya cek di Ciamis, Alhamdulillah seluruh kader posyandi menerima. Tidak ada potongan, semua sampai kepada mereka. Setiap penyimpangan dana ini akan ditindak secara tegas. Belum lama ini ada yang mencoba menyelewengkan di Garut, sekarang sudah divonis masuk penjara,” tegas Netty.
Sadar akan pentingnya pengembangan kapasitas kader, TP PKK Jawa Barat tengah melakukan serangkaian pelatihan bagi kader posyandu. Belum lama ini, pihaknya sudah melatih sekitar 6.000 kader. Jumlah yang sama akan kembali mengikuti pelatihan pada Oktober mendatang.
“PKK ini juga memiliki kader-kader (posyandu) sebagai sarana untuk penyebarluasan informasi dan tindakan preventif. Bahkan, kita bisa melakukan intervensi apapun melalui posyandu, termasuk menurunkan kematian ibu dan anak khususnya di Jabar,” terang Netty.
Lebih lanjut Netty berharap ketika ada program apapun dari siapapun hendaknya memiliki pemahaman dan pengetahuan mengenai daerah tersebut, baik sosiokultural, demografis, dan lain-lain. Dia mencontohkan, budaya patriarki memiliki hubungan langsung dan tidak langsung dengan angka kematian ibu dan bayi baru lahir. Karena itu, diperlukan pendekatan sosiokultural kepada masyarakat.(NJP)