Keluarga, Hulu Sikap Antikorupsi

Wakil Ketua KPK Bambang Widjoyanto saat berbecara di depan mahasiswa yang tergabung dalam Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia (JKAI), di Bale Sawala Unpad Jatinangor, Rabu (10/10).

JABARTODAY.COM – JATINANGOR

Suasana di Bale Sawala Unpad Jatinangor, Rabu (10/10), siang gelap gulita. Layaknya di gedung theater yang tengah memutarkan film yang menyedot perhatian penonton, saat itupun di Bale Sawala yang biasanya dijadikan perhelatan seminar dan panggung yang serbailmiah lainnya, dipertontonkan sajian film.

Namun, tunggu dulu. Film yang diputar di Bale Sawala bukan sembarang film. Tayangan berdurasi sekitar 30 menit itu mengusung tema seputar korupsi. Kendati judulnya tetap terdengar populer, Selamat Siang , Risa, film pendek yang disutradarai Ine Febrianti dan dibintangi Tora Sudiro itu membahas tema serius, pantang disogok kendati kesulitan hidup menghadang di depan mata.

Intinya, film itu berceritera, keluarga adalah hulu untuk mencegah munculnya korupsi. Keluarga Risa adalah keluarga sederhana. Ayah Risa yang diperankan oleh  Tora Sudiro, hanyalah pegawai kecil di sebuah perusahaan yang menanggujawabi bagian gudang. Ceritera yang berlatar kehidupan tahun 1974-an itu, menyuguhkan dilematika saat Ayah Risa menghadapi persoalan sulit.

Saat putra keduanya yang berusia balita terserang penyakit, keluarga itu tak memiliki biaya untuk berobat. Tak hanya itu, sekadar untuk membeli beras pun sulitnya minta ampun. Pada waktu bersamaan datanglah seorang saudagar beras. Lalu munculllah dialog, “Pak dua hari lagi harga beras naik. Saat ini saya memiliki tonan beras. Bila dijual saat ini, keuntungan yang didapat sedikit. Namun, bila beras itu untuk sementara disimpan di gudang di perusahaan tempat Bapak bekerja dan dijual setelah harga beras naik, keuntungan yang saya dapat berlipat,” kata si saudagar itu.

Selepas si saudagar itu bicara, gepokan uang sogokan pun disodorkan kepada Ayah Risa. Namun, dia bergeming. Kendati kesulitan hidup ada di depan mata, semua iming-iming itu pun diabaikan. Ayah Risa yang dikenal jujur, tak mau disogok.

Alur ceritera itulah yang kemudian disetting sebagai kenangan yang begitu berbekas di pikiran Risa, putra pertama dalam keluarga itu, yang dibintangi Ine Febrianti saat dewasa. Keluarga yang menyemaikan benih-benih kejujuran dan antikorupsi begitu membekas dalam pikiran Risa.

Begitu film pendek itu berakhir, sekitar 200 penonton yang sebagian besar berasal dari organisasi kemahasiswaan yang menghimpung mahasiswa jurusan antropologi se-Indonesia, Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia (JKAI) tertegun. Bisa jadi, alur ceritera film itu meresap di benak mereka yang saat itu tengah menggelar pertemuan tahunan JKAI yang diikuti perwakilan mahasiswa jurusan antropologi dari pergururuan tinggi seluruh Indonesia.

Setidaknya itu diungkapkan Dina Aulia, mahasiswa jurusan Antropolgi Universitas Sumatera Utara (USU).

“Inti dari film ini adalah keteguhan untuk tidak mau disogok dengan alasan apapun, termasuk alasan susahnya menghadapi kesulitan hidup. Itu hal yang sungguh sulit untuk dilakukan pada zaman ini,” kata Dina.

Mahasiswa lain, Gede Kusuma dari jurusan Antropologi Universitas Udayana, mengungkapkan, sesuai dengan pesan yang disampaikan film pendek itu, keluarga adalah penyemai benih-benih antikorupsi.

“Keluarga yang teguh untuk mendidik hidup jujur kepada putra-putrinya adalah cikal bakal munculnya sikap antikorupsi,” ujar Gede.

Tapi, sebenarnya, aktor paling utama dari pemutaran film Selamat Siang , Risa itu, bukan berasal dari aktor yang berperan dalam tayangan itu. Yang justru menjadi pusat perhatian dalam perhelatan itu yaitu Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Wodjoyanto. Dia diundang oleh JKAI untuk menyampaikan kuliah umum bertema “Korupsi dan Budaya”. Ikhwal untuk menayangkan film itu juga datang dari mantan Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu.

Seusai penayangan film itu, perhatian hadirin di Bale Sawala kembali terfokus kepada Bambang Widjoyanto. Maklum saja, saat ini KPK tengah dilanda gonjang-ganjing menyusul penangkapan penyidik KPK, Komisaris Novel Baswedan oleh Polri. Bambang adalah motor terdepan saat membela Novel ketika berhadapan dengan Polri.

Namun, ya begitu, kehadiran Bambang kali itu tak hendak mengupas soal Novel Baswedan. Seiring ditayangkannya film Selamat Siang, Risa, mungkin dia hendak berujar, keluarga adalah benteng terjadinya korupsi.

“Ya, memang, keluarga memiliki pengaruh besar terhadap hadirnya korupsi. Keluarga yang menyemaikan bibit-bibit antikorupsi, akan membekas kepada si anak hingga besar. Sebaliknya, keluarga yang mengabaikan pentingnya kejujuran dalam menjalani hidup, anak-anaknya pun bisa jadi sangat rentan terlibat dalam berkorupsi ria,” kata Bambang.

Menurut Bambang, sikap permisifisme masyarakat saat ini demikian akut. Kata dia, ada 3 jenis korupsi yaitu kategori terpaksa yang biasa dilakukan orang-orang kecil yang menganggap menilep uang recehan umum dilakukan oleh kebanyakan orang. Itu biasa dilakukan oleh orang berekonomi lemah.

Kedua yaitu korupsi memaksa yang dilakukan oleh pejabat yang menyalahgunakan fasilitas yang dimilikinya. Dan ketiga, korupsi dipaksa yaitu korupsi yang muncul karena sistem yang dibuat membuka peluang terjadinya korupsi.

“Akhirnya korupsi dianggap hal biasa saat ini. Jika anggota keluarga tidak dibekali nilai-nilai antikorupsi, akan mudah tergelincir perilaku bobrok itu,” ujar Bambang. (DEDE SUHERLAN)

 

Related posts