JABARTODAY.COM – JAKARTA
Pada prinsipnya, secara fiqhiyyah, kulit hewan itu bisa dimanfaatkan. Sekalipun bangkai, hewan mati atau disembelih secara tidak syar’i, maka ia bisa dimanfaatkan untuk kepentingan non-konsumtif, dengan syarat sudah disamak, dengan proses penyamakan yang sesuai kaidah syariah. Sedangkan kulit dari hewan yang halal dan disembelih secara syar’i, bukan hanya boleh dimanfaatkan, tetapi boleh juga untuk dikonsumsi. Misalnya untuk sop kulit, gulai kikil, kerecek, kerupuk kulit, dll. Demikian dijelaskan Sekretaris Komisi Fatwa (KF) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr.H.M. Asrorun Niam Sholeh, M.A., dalam perbincangan dengan Usman Effendi AS, dari majalah Halal dan situs Halalmui, usai sidang Komisi Fatwa (KF), 10 Oktober 2012 lalu di Jakarta.
Namun, “Kalau hewan yang pada asalnya haram dan najis ketika masih hidup, seperti anjing dan babi, maka matinya pun tetap najis, dan tidak boleh dimanfaatkan,” ujarnya Jadi fungsi penyamakan kulit hewan itu hanya berlaku pada hewan yang pada saat hidup dianggap suci. Sedangkan kalau pada saat hidup ia dianggap najis, maka, ia menandaskan, matinya juga najis. Walaupun disamak, tetap juga najis.
Sepatu Dari Kulit Babi?
Paparan ini dikemukakannya menanggapi pengaduan dan pertanyaan yang diajukan ke pimpinan MUI tentang kebolehan bagi umat Islam, menggunakan kulit babi untuk sepatu. Penanya itu mengemukakan, di pasar ia menemukan ada yang menjual sepatu dari kulit babi ini.
Maka, Sekretaris KF MUI ini mengingatkan lagi tentang tinjauan anjing dan babi dari sisi fiqhiyyah. Kalau terkena air liurnya, atau menjilat bejana, maka dalam ketentuan fiqh ditetapkan sebagai terkena najis Mughollazoh, najis berat. Harus dibersihkan dengan dicuci sebanyak tujuh kali, satu diantaranya harus dicampur dengan tanah. Di dalam Al-Quran disebutkan pula keharaman babi secara eksplisit: Hurrimat ‘alaykumul maytatu, wad-damu wa lahmul-khinzir…
Dari sini maka Jumhur ulama menetapkan, keharaman babi itu bersifat mutlak. Yakni tidak boleh ada intifa’, tidak boleh ada pemanfaatan. Jangankan untuk menjadi bahan baku, seperti kulit babi untuk sepatu, sebagai bahan penolong sekalipun, tetap tidak boleh. Karena itu berarti ada unsur intifa’, pemanfaatan yang dilarang tadi.
Secara umum, “Kita di LPPOM MUI maupun Komisi Fatwa MUI, sudah punya patokan,” katanya lagi. Yaitu bahwa mulai dari bahan baku, bahan tambahan, bahan gunaan, yang dikonsumsi atau dipergunakan, maka itu semua perlu diteliti dalam proses sertifikasi halal.
Selanjutnya, sebagai perbandingan, ia pun menjelaskan pula tentang kulit buaya. Sekalipun ia tidak boleh dimakan, karena ‘illat hukumnya adalah binatang buas, akan tetapi ia dianggap tetap suci. “Buaya hidup itu suci, tetapi tidak boleh dikonsumsi karena ia termasuk binatang yang buas,” ujarnya mantap.
Menanggapi pertanyaan bahwa buaya termasuk haram dikonsumsi, maka dijawabnya dengan lugas. Memang, tidak semua hewan yang dianggap suci itu, halal untuk dikonsumsi. Dalam hal ini, suci itu terkait dengan relasi, sedangkan halal terkait dengan konsumsi. Banyak hewan yang suci, tetapi haram dikonsumsi. Sebagai contoh sederhana adalah kucing. Ia adalah binatang yang suci. Boleh dipegang dan dielus-elus. Tetapi dagingnya tidak boleh dikonsumsi.
Bersifat Ta’abbudi
Kalau ada yang kemudian mempertanyakan, mengapa demikian? Maka “Kita menjawab, keharaman babi itu bersifat Ta’abbudi. Bukan Ta’aqquli. Ta’abbudi itu sendiri, jelasnya lagi berarti sebagai ibadah yang harus diterima dan tidak memerlukan penalaran. Seperti ketentuan tentang sholat Shubuh harus dua rakaat, maka itu harus diterima dan diamalkan. Karena telah diperintahkan demikian, tidak memerlukan penalaran lagi.
Bahwa kemudian ada temuan ilmiah yang menyatakan bayak penyakit yang ditimbulkan dan dibawa oleh babi, maka itu bukan sebagai faktor penentu keharamannya. Tetapi hal itu sebagai bagian dari hikmah. Danhikmah itu sendiri tidak mempengaruhi ketentuan hukumnya, melainkan hanya memperkuat saja sifatnya. Atau sebaliknya, kalau dianggap karena ada penyakit, lalu sumber penyakitnya itu dapat dihilangkan, lantas babi dianggap menjadi halal, maka tidak demikian! Beda halnya dengan ‘illat dalam hukum. Karena ‘illat itu akan mempengaruhi ada atau tidaknya hukum. (Usm).
Sumber: www.halalmui.org