“Kalau Di-Blues-in, Enak Nih”

aJABARTODAY.COM – BANDUNG Industri musik blues di Indonesia sudah semakin berkembang tinggal event organizer menggarapnya secara serius dan nantinya membuat kepopuleran blues setara dengan jazz. Hal itu dilontarkan oleh pengamat musik Bens Leo saat ditanya perkembangan musik asli warga kulit hitam Amerika Serikat di tanah air.

Bens menambahkan, di Bandung sendiri blues sangatlah berkembang, dikarenakan adanya komunitas musik tersebut yang dipelopori oleh Time Bomb Blues. Meski sempat vakum dan berganti personel, pecahan grup lain dijamin tidak akan beranjak jauh dari genre yang sebelumnya mereka bawakan.

“Bandung dikenal sebagai kota musik, karena musik di Indonesia dipimpin 3 kota besar, Bandung, Jakarta, dan Surabaya. Kenapa saya sebut Bandung? Karena band-band besar banyak di Bandung dibanding Jakarta. ada Purwacaraka, Elfa Secioria, Time Bomb Blues tadi, terus ada The Rollies, Giant Step. Bandung adalah gudangnya musik, termasuk di dalamnya blues tadi,” papar Bens saat dihubungi, Jumat (5/4).

Bens menyebutkan, tiap tahunnya mahasiswa Sastra Universitas Indonesia mengadakan festival blues tahunan yang diikuti tidak hanya oleh mahasiswa UI sendiri, tapi juga orang luar. “Kalau disebut blues ada penggemarnya, ada, walaupun tidak sebesar jazz,” ujarnya.

Menurutnya, jazz berkembang sejak pengusaha Peter F. Gontha mengadakan Java Jazz Festival yang akhirnya memunculkan 41 titik festival jazz di tiap kota di Indonesia dan hal ini yang harus ditiru pelaku musik blues. “Kalau itu bisa dilakukan, ga ada cerita musik blues ga dikenal masyarakat,” ucapnya yakin.

Kalau bisa, Bens berpendapat, kreator musik blues tidak hanya musisi lokal. Ia mencontohkan, Gugun Blues Shelter dapat diterima oleh masyarakat luar salah satu sebabnya adalah kehadiran sang bassist, Jono, yang notabene orang Inggris. Itu kelebihan blues yang tidak dimiliki pelaku musik jazz nasional saat ini.

Dirinya menuturkan, pada awalnya musik jazz kurang diterima masyarakat, salah satu faktornya adalah harga tiket pertunjukan yang mahal. “Dulu kalau mau nonton Jack Lesmana, Yopie Item, kita harus bayar mahal. Sekarang di Java Jazz kita bisa lihat musisi internasional, musisi muda dengan harga terjangkau,” katanya.

Dirinya mengakui, di industri rekaman blues belum begitu diterima, karena pasarnya belum luas laiknya jazz, bahkan Gugun Blues Shelter pun merilis albumnya secara indie. Hanya saja, masyarakat sudah dapat menerima blues. “Kalau saya mendengar rekaman lagu pop indonesia, sering kali ada kalimat ‘wah kalau ini di-blues-in enak nih’, dan adanya kalimat itu berarti orang udah mengerti dan blues bisa diapresiasi. Saya malah belum mendengar ‘kalau ini di-jazz-in enak nih’,” imbuh Bens.

Sekarang, tegas Bens, tinggal spirit dari pelaku musik blues, juga EO untuk menyelenggarakan acara blues secara rutin, seperti halnya Java Jazz, Jak Jazz atau Jakarta Soulnation. Blues sendiri bukan tidak memiliki agenda yang dikenal masyarakat, tiap tahunnya ada Jakarta Blues Festival yang dipelopori oleh INA Blues. “Tinggal dari EO untuk menghadirkan yang asalnya ga ada menjadi ada,” tutupnya. (VIL)

Related posts